Uncategorized
Renungan untuk para Penulis dan Penuntut Ilmu
Oleh Ust Salim A Fillah
Apa yang mau kita sombongkan; jika Imam An Nawawi menulis Syarah Shahih Muslim yang tebal itu sedang beliau tak punya Kitab Shahih Muslim?
Apa yang mau kita sombongkan; jika Imam An Nawawi menulis Syarah Shahih Muslim yang tebal itu sedang beliau tak punya Kitab Shahih Muslim?
Beliau menulisnya berdasar hafalan atas Kitab Shahih Muslim yang diperoleh dari Gurunya; lengkap dengan sanad inti & sanad tambahannya.
Sanad inti maksudnya; perawi antara Imam Muslim sampai Rasulullah. Sanad tambahan yakni; mata-rantai dari An Nawawi hingga Imam Muslim.
Jadi bayangkan; ketika menulis penjabarannya, An Nawawi menghafal 7000-an hadits sekaligus sanadnya dari beliau ke Imam Muslim sekira 9-13 tingkat Gurunya; ditambah hafal sanad inti sekira 4-7 tingkat Rawi.
Yang menakjubkan lagi; penjabaran itu disertai perbandingan dengan hadits dari Kitab lain (yang jelas dari hafalan sebab beliau tak mendapati naskahnya), penjelasan kata maupun maksud dengan atsar sahabat, Tabi’in, & ‘Ulama; munasabatnya dengan Ayat & Tafsir, istinbath hukum yang diturunkan darinya; dan banyak hal lain lagi.
Hari ini kita menepuk dada; dengan karya yang hanya pantas jadi ganjal meja beliau, dengan kesulitan telaah yang tak ada seujung kukunya.
Hari ini kita jumawa; dengan alat menulis yang megah, dengan rujukan yang garing, & tak malu sedikit-sedikit bertanya pada Syaikh Google.
Kita baru menyebut 1 karya dari seorang ‘Alim saja sudah bagai langit & bumi rasanya. Bagaimana dengan kesemua karyanya yang hingga umur kita tuntaspun takkan habis dibaca?
Bagaimana kita mengerti kepayahan pada zaman mendapat 1 hadits harus berjalan berbulan-bulan?
Bagaimana kita mencerna; bahwa dari nyaris 1.000.000 hadits yang dikumpulkan & dihafal seumur hidup; Al Bukhari memilih 6000-an saja?
Atas ratusan ribu hadits yang digugurkan Al Bukhari; tidakkah kita renungi; mungkin semua ucap & tulisan kita jauh lebih layak dibuang?
Kita baru melihat 1 sisi saja bagaimana mereka berkarya; belum terhayati bahwa mereka juga bermandi darah & berhias luka di medan jihad.
Mereka kadang harus berhadapan dengan penguasa zhalim & siksaan pedihnya, si jahil yang dengki & gangguan kejinya. Betapa menyesakkan.
Kita mengeluh listrik mati atau data terhapus; Imam Asy Syafi’i tersenyum kala difitnah, dibelenggu, & dipaksa berjalan Shan’a-Baghdad.
Kita menyedihkan laptop yang ngadat & deadline yang gawat; punggung Imam Ahmad berbilur dipukuli pagi & petang hanya karena 1 kalimat.
Kita berduka atas gagal terbitnya karya; Imam Al Mawardi berjuang menyembunyikan tulisan hingga menjelang ajal agar terhindar dari puja.
Mari kembali pada An Nawawi & tak usah bicara tentang Majmu’-nya yang dahsyat & Riyadhush Shalihin-nya yang permata; mari perhatikan karya tipisnya; Al Arba’in. Betapa barakah; disyarah berratus, dihafal berribu, dikaji berjuta manusia & tetap menakjubkan susunannya.
Maka tiap kali kita bangga dengan “best seller”, “nomor satu”, “juara”, “dahsyat”, & “terhebat”; liriklah kitab kecil itu. Lirik saja.
Agar kita tahu; bahwa kita belum apa-apa, belum ke mana-mana, & bukan siapa-siapa. Lalu belajar, berkarya, bersahaja.