Fiqih

Definisi Riba dan Dalilnya

Ma’asyiral muslimin, rahimakumullah. Dosa besar nomor 7 dalam rangkaian al-Kabair atau dosa-dosa besar adalah memakan harta riba. Riba termasuk dosa besar karena terdapat banyak ancaman yang berasal dari Allah secara langsung maupun dari Rasulullah .

Dalil Riba dalam Quran

Allah mengancam pelaku riba dalam firmanNya:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا ٱتَّقُوا ٱللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman, (QS Al-Baqarah: 278)

فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ۖ
وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَٰلِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya, (QS Al-Baqarah: 279)

Allah ta’ala juga berfirman tentang keadaan pemakan riba di akhirat nanti:

ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ ٱلرِّبَوٰا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى
يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيْطَٰنُ مِنَ ٱلْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوٓا
إِنَّمَا ٱلْبَيْعُ مِثْلُ ٱلرِّبَوٰا ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا
ۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ
وَأَمْرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ
هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya, (QS Al-Baqarah: 275).

BACA JUGA:  Khutbah Jumat: Keistimewaan Salat Subuh

Dalil Riba dalam Hadis

Ma’asyiral muslimin, rahimakumullah. Riba masuk kategori dosa besar juga karena ancaman dari Rasulullah .
Ada banyak hadis yang menunjukkan betapa Rasulullah
sangat membenci praktik riba, sehingga beliau sangat mewanti-wanti umatnya agar tidak terlibat dalam transaksi ribawi.

Rasulullah bersabda:

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا
هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ
اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ
وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ
الْغَافِلَاتِ

“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa saja, ya Rasulullah?” Kemudian Rasulullah bersabda, “Syirik terhadap Allah, melakukan praktik sihir, membunuh nyawa yang diharamkan oleh Allah tanpa adanya vonis pengadilan Islam, memakan riba, memakan harta anak yatim, kabur dari perang, dan menuduh wanita beriman yang suci telah berbuat zina,” (Sahih Bukhari: 2766).

Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ

“Rasulullah melaknat orang yang makan dari hasil riba (kreditur/penarik hasil riba) dan mu’kilah-nya (korban riba, debitur, pemberi hasil riba),” (Sahih Muslim: 1597).

Imam At-Tirmizi meriwayatkan dengan penambahan:

وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ

“Juga saksinya dan pencatatnya,” (Sunan At-Tirmizi: 1206. At-Tirmizi: Sahih. Al-Albani: Sahih).

Dampak Riba bagi
Pribadi dan Masyarakat

Ma’asyiral muslimin, rahimakumullah. Dampak buruk riba di dunia itu bukan hanya khusus menimpa para pelakunya saja, tetapi juga bagi seluruh anggota masyarakat. Rasulullah bersabda tentang dampak buruk riba bagi
pelakunya:

مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنْ الرِّبَا إِلَّا كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ

“Tidaklah seseorang itu memperbanyak harta riba, kecuali kesudahan dari urusannya nanti adalah kerugian,” (Sunan Ibnu Majah: 2279. Al-Albani: Sahih. Abu Tahir Zubair Ali Zai: Sahih).

Rasulullah juga menyampaikan dampak buruk dari riba bagi masyarakat:

مَا ظَهَرَ فِي قَوْمٍ الرِّبَا وَالزِّنَا إِلَّا أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عِقَابَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Tidaklah nampak di suatu kaum maraknya riba dan zina, kecuali mereka sudah menghalalkan bagi diri mereka hukuman Allah azza wa jalla,” (Musnad Ahmad: 3809. Al-Arnauth: Sahih li Gairihi).

BACA JUGA:  Hadiah dari Bank untuk Nasabah, Bolehkah dalam Islam?

Definisi & Jenis Riba

Ma’asyiral muslimin, rahimakumullah. Setelah mengetahui betapa kerasnya ancaman bagi pelaku riba, yang harus kita lakukan adalah menjauhi segala macam praktik riba. Oleh karena itu, apa itu riba? Lalu apa saja macam-macam riba?

Secara bahasa, definisi riba adalah tambahan; sedangkan secara istilah, riba adalah tambahan dari modal pokok, dalam transaksi utang-piutang maupun tukar-menukar barang ribawi yang sejenis, akibat adanya penundaan/keterlambatan ataupun syarat penambahan.

Secara garis besar, riba ada dua (2). Dari dua jenis riba inilah kemudian beberapa
ulama membaginya menjadi 4, 5, atau 6, tetapi semua itu adalah turunan dari 2
jenis riba yang utama, yaitu 1) Riba Fadl, 2) Riba Nasiah.

Riba Nasiah

Riba Nasiah adalah tambahan dari modal pokok karena ada unsur penundaan atau
keterlambatan
.

Dalam utang-piutang, riba nasiah terjadi ketika riba diambil akibat ada keterlambatan dalam pelunasan utang yang sudah jatuh tempo.

Contoh: Si A meminjam uang Rp1.000.000 kepada si B, dengan tempo 1 minggu. Ketika perjanjian utang, Si B tidak meminta anakan, atau bunga, atau tambahan atau riba. Tetapi setelah satu minggu, Si B (Kreditur) menagih si A (Debitur) dengan menawarkan, “Kamu (A) bayar utang sekarang, atau ditunda pelunasannya tetapi kamu bayar Rp1.050.000.”

Ini juga sering disebut Riba Jahiliyah.

Dalam transaksi barter barang sejenis, yaitu tukar-menukar barang ribawi yang satu jenis tetapi salah satu pihak tidak menyerahkan barangnya saat itu. Ada unsur penundaan atau keterlambatan dalam penyerahan salah satu barang.

Contoh: X menukar uang Rp100.000 utuh dengan pecahan Rp50.000, Rp30.000, dan Rp20.000 milik si Y. Ketika transaksi, si X sudah menyerahkan uang utuh Rp100.000 miliknya ke Y, tetapi Y baru memberikan uang Rp50.000 dan Rp30.000 saat itu. Y bilang ke X bahwa yang Rp20.000 besok atau minggu depan. Ini ada unsur penundaan atau terlambat.

Ini juga sering disebut Riba Yad (Riba Lunas).

Riba Fadl

Riba Fadl adalah riba karena ada tambahan dari modal pokok dengan cara batil, yaitu karena ada penambahan tersebut menjadi syarat di awal transaksi.

BACA JUGA:  Khutbah Jumat: Tiga Sumber Kemaksiatan

– Dalam utang-piutang,
yaitu ketika riba diambil dengan mensyaratkan bahwa debitur (orang yang mengajukan pinjaman atau utang) harus mengembalikan utang sebanyak jumlah pokoknya, ditambah bunga atau anakannya.

Contoh: A mengajukan pinjaman ke Bank B sebesar Rp10.000.000. Ketika tanda tangan kontrak, Bank B mensyaratkan bahwa si A harus mengembalikan Rp10.000.000 plus bunga sebesar 1 persen, atau Rp100.000. Jadi si A harus membayar utang Rp10.100.000.

Ini juga sering disebut Riba Qard (riba utang-piutang).

Dalam transaksi barter barang ribawi sejenis, yaitu tukar-menukar barang ribawi yang satu jenis dengan jumlah atau bobot yang berbeda.

Contoh: X adalah orang kaya suka beras enak, tidak mementingkan banyaknya yang penting enak, kemudian Y adalah orang pas-pasan yang tidak peduli rasa beras, karena baginya, yang lebih penting adalah banyaknya. Si X punya beras bulog 100 kg, lalu menukar berasnya dengan beras Rojolele milik si B meski hanya 50 kg.

Irfan Nugroho

Hanya guru TPA di masjid kampung. Semoga pahala dakwah ini untuk ibunya.

Tema Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button