Uncategorized

Jangan Salahkan Katak…

.fullpost { display: inline; } Kak Irfan Nugroho
Sebagian orang tua di jawa, khususnya mereka yang tinggal di pinggiran, punya ungkapan khusus untuk menghibur anak-anak mereka yang masih balita ketika jatuh atau terpeleset saat belajar berdiri atau berjalan.

Mereka biasa mengucapkan kalimat semisal, “Mpun… mpun.. Cup..! Kodok è mpun mlayu…” (Sudah sudah… Jangan nangis lagi. Kataknya udah lari..

Sekilas memang kita bisa berkilah, “Ah… Itu kan hanya sekedar cara orang tua menghibur anak-anak mereka ajah…” Disadari atau tidak, hal tersebut berarti bahwa sang orang tua sedang meng-install mental yang tidak baik bagi sang anak. Yakni mental menyalahkan orang lain, atau benda tertentu, ketika ditimpakan kepadanya ujian atau cobaan.

Hal ini kemudian berlanjut pada ketidakmauan untuk mengoreksi apa yang salah dengan diri sang anak itu sendiri.

Sebagai contoh, orang Jawa ortodok biasa membunyikan klakson motor atau mobil ketika mereka hendak melewati suatu jembatan atau kuburan. Maka, ketika mereka mendapati ban mereka bocor setelah melewati jembatan tersebut sontak mereka menyalahkan sang klakson motor.

Atau juga, orang Jawa akademis yang cenderung hanya menyalahkan alam ketika terjadi bencana alam atau musibah terjadi. Lihat saja bagaimana para ilmuwan mencoba mengkambing-hitamkan ‘lempeng bumi’ ketika terjadi gempa, dan terlalu larut di dalamnya, hingga kemudian lupa memberikan solusi yang tepat.

Padahal jelas Allah mengklaim – dan kita harus yakin bahwa Allah pasti benar – bahwa ‘gempa’ terjadi akibat adanya pendustaan terhadap perintah Allah. Kepada umat Nabi Syuaib, Allah menimpakan gempa lantaran mereka mendustakan kenabian Syuaib.

37.  Maka mereka mendustakan Syu’aib, lalu mereka ditimpa gempa yang dahsyat, dan jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat-tempat tinggal mereka. (Al-Ankabut: 37)

Sejarah juga mencatat bahwa gempa dahsyat pernah terjadi kepada kaum Nabi Saleh.

77.  Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan. dan mereka berkata: “Hai Shaleh, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang diutus (Allah)”.
78.  Karena itu mereka ditimpa gempa, Maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka. (Al-A’raaf: 77-78)

Nah kemudian, pernahkah kita menyalahkan diri kita sendiri ketika kita gagal, atau ketika bencana terjadi? Jika pernah, seberapa sering kita melakukan itu?

BACA JUGA:  Hukum Memperingati Maulid Nabi oleh Hasan Al-Husaini

Dengan berkaca pada dua ayat tentang gempa tersebut di atas, maka jelas bahwa sebab dari gempa adalah adanya pendustaan atau pengingkaran dari manusia kepada Allah ataupun utusan Allah.

Begitu pula dengan ujian yang lain yang mungkin lebih kecil seperti sakit punggung, yang oleh seorang teman dokter diklaim karena ruku’-nya tidak sempurna, atau sakit kepala yang bias jadi karena sujudnya terlalu cepat seperti ayam mematuk.

Jika memang seperti ini keadaannya (ujian keluar sebagai akibat dari dosa yang kita perbuat), maka kita harus segera bertaubat. Dan yakinlah bahwa itulah jalan keluar dari ujian yang sedang ditimpakan kepada kita.

Muhammad Husain Ya’qub dalam bukunya Berobat Kepada Allah – Karena Hanya Allah yang Menyembuhkan berkata bahwa ketika seseorang sedang diuji lantaran dosa-dosanya, maka hukum taubat adalah wajib saat itu.

Taubat itu sendiri diperoleh setelah melakukan serangkaian proses otak dan hati yang disebut dengan ‘muhasabah.’ Ya, mengingat-ingat apa dosa yang telah kita perbuat sehingga Allah menurunkan ujian kepada kita.

Akhirnya, dengan jalan hidup dan pola pikir seperti ini (ujian >> muhasabah >> taubat >> kasih sayang Allah), maka katak, lempeng bumi atau klakson sepeda motor menjadi bahagia lagi lantaran ia tidak lagi dijadikan kambing-hitam.

Menutup tulisan ini, Ibnu Qudamah dalam “Minhajul Qasidin” mengutip cerita mengenai sosok Taubah bin Ash-Shimmah.

Taubah Ash-Shimmah adalah orang yang sangat lembut. Dia biasa menghisab dirinya sendiri. Suatu hari dia menghitung-hitung selagi sudah berumur enam puluh tahun. Dia menghitung hari-hari yang pernah dilewatinya, yaitu sebanyak 11.500 hari.

Tiba-tiba dia tersentak dan berkata, “Aduhai celaka aku! Apakah aku harus bertemu Allah dengan membawa 11.500 dosa?!”

Setelah itu dia langsung pingsan dan seketika itu pula dia meninggal dunia. Pada saat itu orang-orang mendengar suara, “Dia sedang meniti jalan menuju surge Firdaus.” Wallahu’alam.

Irfan Nugroho

Hanya guru TPA di masjid kampung. Semoga pahala dakwah ini untuk ibunya.

Tema Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button