Uncategorized

Prinsip Kemandirian dalam Keluarga Islami

Oleh Ust. Tri Asmoro Kurniawan
Secara umum manusia itu nyaman dengan kebiasaan-kebiasaan, maka satu yg sering dikhawatirkan adalah adanya fase-fase perubahan dari kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru.
Pernikahan adalah fase perubahan dari kebiasaan-kebiasaan masa lajang menuju kebiasaan-kebiasaan rumah tangga.
Nikah adalah kemandirian. Sepasang suami istri hendaknya tidak terlalu menggantungkan dirinya pada orang lain seperti teman, saudara atau orang tua.
Begitu kita menikah, maka kita harus memiliki pola pikir kemandirian. Bukan lagi anak yang terus minta uang dari orangtua, bukan lagi anak SMA yang hobi chattingan, bukan lagi bujangan yang bisa bermain futsalel empat kali seminggu sembari menelantarkan istri dan anak di rumah.
Dalam hal apa keluarga islamu harus mandiri:
1. Tempat tinggal
Beberapa kakek/nenek tidak senang melihat anak kecil menangis. Maka sebisa mungkin, pasangan suami istri hendaknya mengusahakan memiliki rumah sendiri.
Dalam banyak kasus, kakek/nenek punya pengaruh banyak dalam pendidikan anak. Kadang mereka tidak mencampuri pendidikan anak dengan kata-kata, melainkan dengan sikap.
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka,” (QS Ath Thalaq: 06).
Ini bukan berarti mutlak kita keluarga Muslim harus meninggalkan orangtua dan tinggal di rumah sendiri terpisah dari oranhtua. Boleh kita tetap tinggal bersama orangtua dengan alasan syar’i dan orangtua tersebut tidak akan mencampuri urusan pendidikan anak, atau jika orangtua kita punya kapasitas keilmuan yg tidak kita miliki.
2. Mandiri Finansial
Beberapa orangtua melarang anak anaknya segera menikah karena si anak tidak punya uang atau belum mapan secara finansial. Padahal, si orangtua tadi ketika menikah juga tidak punya apa apa atau belum mapan secara finansial.
“Barangsiapa yang bisa menjaminkan padaku bahwa dia tidak akan meminta-minta pada orang lain, maka aku jamin ia dengan surga,” (HR Abu Dawud – Shahih).
Di Indonesia, 70% dari 333.000 kasus perceraian tahun 2013 adalah gugat cerai, atau wanita meminta cerai. Dari sekian kasus, sebagiannya karena masalah finansial.
“Tidaklah orang yang memints minta ada di antara kalian kecuali ia akan bertemu dengan Allah dengan wajaj yang tidak berdaging,” (Hadist Shahih).
3. Mandiri dalam Mengatur Keluarga
Sebisa mungkin jangan libatkan orang lain dalam urusan dalam negeri keluarga Anda. Misal, banyak kasus di mana ikhwan sering ngeluh pada Ustadz, “Tadz, istri saya ga bisa masak! Gimana nih?” atau, “Tadz, suami saya marah nih.. Gimana?”
Contoh contoh ini adalah tanda bahwa suami dan istri tadi tidak bisa mandiri. Ia selalu merujuk pada orang lain, dan lupa bahwa Islam sudah punya solusi dan petunjuk dalam membangun dan mengatasi masalah dalam keluarga.
Selain Ustadz, pihak ketiga yang paling mungkin mencampuri urusan keluarga kita adalah orangtua. Banyak suami atau istri yang mengeluh pada orangtua mereka tentang kelemahan pasangan mereka. 
Selain itu, ada pula potensi gangguan dari saudara ipar. Ada juga potensi gangguan dari mantan pacar, maka yang musti diingat bahwa suami/istri kita sekarang adalah pasangan hidup kita, jangan berkhayal menjadi istri atau suami mantan kita dulu.

BACA JUGA:  Tanya-Jawab Islam: Membaca Doa Khatam Al-Quran di Dalam Shalat, Bid'ah, kah?

Irfan Nugroho

Hanya guru TPA di masjid kampung. Semoga pahala dakwah ini untuk ibunya.

Tema Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button