Uncategorized

Pak Tani itu Tetap Mendatangi Shalat Jama’ah di Kala Sakit

Irfan Nugroho
Waktu itu menjelang shalat Subuh, dan seorang mu’adzin dengan jaket tebal, sarung di atas mata kaki, dan sehelai handuk kecil putih di lehernya mengumandangkan adzan memecah heningnya suasana pagi hari itu.

Wajah yang biasa teduh, kala itu terlihat pucat, suara beliau pun terdengar serak saat itu, sangat redam, dan seolah-olah sedang banyak cairan dahak yang menyumbat tenggorokan beliau.

Sesekali beliau membungkuk, memalingkan wajah dari microphone karena harus menyentak batuknya ketika harus berterial untuk adzan.

Meski begitu, tak ada pilihan lain baginya karena jika bukan beliau yang mengambil tugas adzan Subuh, pastilah shalat Subuh di kampung Karangasem, Kecamatan Bulu, Sukoharjo ini akan terlambat.

Memang ada beberapa mu’adzin di Masjid tersebut, namun telah sepuluh tahun lebih beliau selalu menjadi orang yang pertama kali membuka pintu Masjid tersebut untuk shalat subuh.

Beliau bernama Suratman. Seorang petani sederhana dari sebuah kampung di pedalaman Sukoharjo, sebuah teritorial di Jawa Tengah yang terkenal sebagai basis Mujahidin (namun lebih sering disebut basis teroris).

Perawakannya pendek, rambutnya cepak, dan kulitnya hitam seolah hangus karena terlalu sering terpapar sinar matahari di area persawahan miliknya.

Saat itu beliau sedang demam tinggi disertai gejala flu seperti batuk dan pilek, satu set penyakit yang umum diderita oleh kelompok manusia yang digolongkan Pert*mina sebagai ‘golongan tidak mampu.’

Sudah memasuki hari ketiga beliau menderita penyakit orang miskin tersebut, sehingga aktivitasnya mencari rumput, mencangkul, dan menyemai bibit harus tertunda selama tiga hari tersebut.

Namun begitu, beliau tetap istiqamah menjalankan shalat wajib lima waktu secara berjama’ah di Masjid, lebih-lebih shalat yang dirasa sangat berat oleh orang-orang munafik, yakni shalat Subuh.

Pernah suatu saat gejala sakit typhus-nya kambuh parah dan istrinya rewel meminta beliau untuk shalat di rumah saja, namun beliau tetap ngotot untuk berjama’ah ke Masjid.

Subhanallah..! Dari beliaulah kemudian kita bisa memahami makna dari pesan Rasulullah, “Shalat berjama’ah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat,” (Diriwayatkan secara muttafaq ‘alaih).

BACA JUGA:  Menegakkan Hukum Islam di Negara dengan Berbagai Ras

Dari lima shalat wajib yang secara konsisten beliau lakukan secara berjama’ah, shalat subuh adalah yang paling spesial.

“Dua raka’at sebelum shalat Subuh saja pahalanya lebih baik daripada dunia dan seisinya apalagi shalat subuhnya, berjama’ah shalat subuh pun pasti jauh lebih bagus pahalanya, kan?” katanya sambil tersenyum.

“Dua raka’at shalat sunnah Fajar (sebelum shalat wajib Subuh), lebih baik daripada dunia dan seisinya,” (HR Muslim dari Ibunda Aisyah).

Benar saja, nasihat Rasulullah itu benar-benar merasuk dalam hatinya.

Meskipun beliau tidak hafal matan, sanad, atau periwayat hadist tersebut, namun beliau mampu menjalankannya secara istiqamah selama lebih dari sepuluh tahun.

Dari beliaulah kita semua, termasuk engkau, nak… belajar mengenai keutamaan shalat berjama’ah, terutama shalat subuh.

Rasulullah pernah bersabda, “Andaikata mereka tahu betapa besar pahala dari shalat Isya’ dan shalat Subuh secara berjama’ah, niscaya mereka akan mendatangi kedua shalat itu meski harus merangkak,” (Diriwayatkan secara muttafaq ‘alaih). Wallahu’alam bish shawab. (25 Rabi’ul Akhir 1433 H).

Irfan Nugroho

Hanya guru TPA di masjid kampung. Semoga pahala dakwah ini untuk ibunya.

Tema Terkait

2 Comments

  1. Pernah suatu saat gejala sakit typhus-nya kambuh parah dan istrinya rewel meminta beliau untuk shalat di rumah saja, namun beliau tetap ngotot untuk berjama’ah ke Masjid.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button