Uncategorized

Ini adalah Karunia dari Rabbku Sebagai Ujian Bagiku

قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

“Berkatalah Sulaiman, “Ini termasuk karunia Rabbku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia” (QS. An-Naml: 40)

Oleh Ust. Abu Umat Abdillah (Pemimpin Redaksi Majalah Arrisalah)
Tak ada manusia yang diberi karunia dunia lebih hebat dari apa yang diberikan kepada Nabi Sulaiman alaihis salam. Beliau menjadi raja diraja manusia, rakyatnya meliputi manusia, jin, burung dan hewan-hewan lainnya.

Angin juga ditundukkan oleh Allah untuk mengikuti perintahnya. Allah mengabulkan permohonannya,

“Rabbi, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi”. Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut ke mana saja yang dikehendakinya.” (QS Shad 35 – 36)

Istana beliau megah dan indah luar biasa. Imam al-Qurthubi menyebutkan riwayat dari Wahab bin Munabih, bahwa istana beliau seribu lantai tingginya, bagian bawahnya besi dan bagian atasnya terbuat dari kaca. (Tafsir al-Qurthubi 15/205)

Tidak Angkuh, Meski Kaya dan Bertahta
Siapa lagi yang memiliki kejayaan duniawi melebih beliau alaihis salam Pun begitu, beliau menyadari posisi dirinya sebagai hamba dari Penciptanya. Beliau tidak merasa jumawa dengan kekuasaan dan kekayaannya. Tak ada ucapan yang lebih bagus untuk diungkapkan oleh orang yang diberi limpahan dunia selain ucapan beliau,

“Ini termasuk karunia Rabbku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya).” (An-Naml: 40)

Begituah seharusnya akhlak seorang mukmin, Dia tidak mengklaim apa yang disandangnya sebagai indikasi kekuatan, kepintaran, keberaniannya, dan semisalnya. Bandingkanlah dengan sikap dan ucapan Qarun yang menyombongkan kemampuannya, seperti yang Allah l kisahkan:

“Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku’.” (QS. Al-Qashash: 78)

BACA JUGA:  Membangun Akidah Umat sebelum Menegakkan Syariat

Memang hartanya luar biasa banyaknya, karena kunci gudangnya hanya bisa diangkut oleh 40 bighal, atau 60 orang yang kuat-kuat. Namun tetap saja nilainya tidak seberapa besar bila dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh Sulaiman alaihis salam. Sementara sikapnya begitu angkuh kepada Rabbnya. Lebih fatal lagi, tidak sedikit manusia kini yang lebih tak tahu diri. Kekayaan mereka hanya ‘secuil’ saja dibandingkan dengan kekayaan Qarun, tapi ucapan dan kesombongannya laksana Qarun atau bahkan lebih angkuh lagi. Mereka berkata, “Harta ini saya peroleh semata-mata karena hasil kerja keras dan jerih payah saya sendiri!”

Padahal Allah Ta’ala berfirman,

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya). Dan bila kamu ditimpa oleh kemudaratan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (An-Nahl: 53)

Baru Ujian, Belum Indikasi Kesuksesan
Banyak manusia menilai, bahwa kekuasaan, jabatan, kekayaan maupun popularitas itu adalah indikasi kesuksesan. Padahal, hakikatnya pemberian itu baru sebatas ujian, belum menunjukkan hasil. Serupa dengan siswa sekolah yang disodori soal untuk dikerjakan, tergantung bagaimana ia mengerjakan, baru kemudian bisa dinilai, adakah ia sukses dalam ujian, ataukah gagal dalam mengerjakan. Maka alangkah aneh, jika ada siswa telah mengklaim atau dikalaim telah sukses sementara belum terbukti bagaimana ia menjawab soal yang diajukan.

Benar, hidup dengan berbagai corak dan warnanya adalah ujian. Senang atau susah, kaya atau miskin, menjadi pejabat atau rakyat, terkenal ataupun terasing dari keramaian orang. Sementara orang sepakat bahwa seseorang dianggap tengah menghadapi ujian saat ditimpa musibah ataupun kegagalan dalam meraih tujuan. Namun adakah pernah terlontar dari lisan kita, bahwa si Fulan sedang diuji, saat ia mendapat kucuran rezki dan kemudahan urusan? Padahal, keduanya sama-sama ujian.

Ujian kenikmatan memang enak, tapi ini tidak berarti ringan bila dilihat dari hasil yang diinginkan. Bahkan banyak di antara manusia yang lulus ujian kesabaran saat ditimpa kesusahan dan kesulitan, namun ia gagal saat diuji dengan kekayaan dan kemudahan urusan. Dengan tawadhu’nya, sahabat Abdurrahman bin ’Auf  radhiyallahu ‘anhu berkata,

BACA JUGA:  Puncak Agama Islam adalah Jihad

“Dahulu kami diuji bersama Rasulullah n dengan kesengsaraan, maka kami (mampu) bersabar. Kemudian setelah Nabi shallallahu alaihi wasallam meninggal kami diuji dengan kesenangan maka kami tidak mampu bersabar.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Di saat kran dunia dibuka lebar-lebar, manusia berlomba-lomba untuk memperebutkannya. Mereka fokus mengejar dunia, lalu lupa kepada Rabbnya, Dzat yang telah menganugerahkan rizki kepada mereka. Hal mana Nabi telah memberikan peringatan kepada umatnya,

مَا الْفَقْرُ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ 
قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا فَتُهلِكُكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُم

“Bukanlah kefakiran yang aku takutkan (terjadi) atas kalian. Tetapi aku khawatir akan dibuka lebar (pintu) dunia kepada kalian, seperti telah dibuka lebar kepada orang sebelum kalian. Lalu kalian akan saling berlomba untuk memperebutkannya sebagaimana mereka telah berlomba untuk memperebutkannya. Hingga (kemewahan) dunia akan membinasakan kalian sebagaimana ia telah membinasakan mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Maka sikap paling bijak merespon ujian kenikmatan adalah dengan dua hal seperti yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman alaihissalam. Pertama, mengakui bahwa segala yang kita sandang adalah semata-mata karunia dari Allah, seperti perkataan beliau, “haadza min fadhli Rabbi”, ini adalah karunia dari Rabbku. Sedangkan yang kedua adalah menganggapnya sebagai ujian, yakni dari sisi bagaimana seseorang mengelola karunia itu. Seperti yang diungkapkan oleh beliau, “liyabluwani a asykur an akfur”, untuk mengujiku apakah aku termasuk hamba yang bersyukur ataukah kufur.” Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan orang yang bersyukur, yang menggunakan nikmat sesuai dengan kehendak Allah, Aamiin.

*Tulisan ini diambil dari Majalah Arrisalah

Irfan Nugroho

Hanya guru TPA di masjid kampung. Semoga pahala dakwah ini untuk ibunya.

Tema Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button