Fikih Dorar: Air yg Bercampur Najis
Pembaca rahimakumullah, bagaimana hukum air yg bercampur najis? Berikut adalah terjemahan dari Mausuatul Fiqhiyah Dorar Saniyah > Kitab Taharah > Bab Air > Jenis Air dan Hukumnya > Air yg Bercampur atau Berubah > Air yg Bercampur atau Berubah dengan Najis. Teruskan membaca. Semoga bermanfaat!
A. JIKA AIR BERUBAH KARENA NAJIS
Jika air bertemu dengan najis, lalu mengubah salah satu sifatnya: rasa, warna, atau bau; maka air itu menjadi najis, baik sedikit maupun banyak.
Dalil dari Ijma
Telah dinukil ijma’ mengenai hal tersebut dari Imam Syafi’i, Ibnu al-Mundhir, Ibnu ‘Abd al-Barr, Ibnu Qudamah, dan Ibnu Taimiyyah.
Diriwayatkan dari Abdul Malik bin Al-Majshun, bahwa perubahan bau tidak merusak (keabsahan air), dan ini adalah pendapat yang ganjil, (Az-Zakhirah Li Al-Qarafi: 1/163).
Imam Syafi’i berkata: …Jika rasa air, baunya, atau warnanya berubah, maka air itu menjadi najis… ini adalah pendapat umum dan saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara mereka tentang hal ini, (Al-Umm: 1/43).
Ibnu al-Mundzir berkata, “Dan mereka (ulama) sepakat bahwa air dalam jumlah sedikit atau banyak jika terkena najis, lalu mengubah rasa, warna, atau baunya: maka air itu menjadi najis,” (Al-Ijma: 1/35).
B. AIR BANYAK, TETAPI TERKENA NAJIS
Jika air banyak lagi melimpah, maka tidak menjadi najis kecuali karena perubahan (sifatnya).
Dalil dari Ijma’:
Telah dinukil ijma’ mengenai hal tersebut dari: Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Abdul Barr, Ibnu Rusyd, Syamsuddin Ibnu Qudamah, dan Ibnu Taimiyyah.
Ibnu al-Mundzir berkata, “Mereka (ulama) sepakat bahwa air yang banyak dari Sungai Nil, laut, dan sejenisnya jika terkena najis, lalu tidak mengubah warna, rasa, atau baunya; maka air tersebut tetap dalam keadaan seperti semula dan dapat digunakan untuk bersuci,” (Al-Ijma: 35).
C. AIR MENGALIR YG TERKENA NAJIS
Jika air mengalir dan terkena najis, maka tidak menjadi najis kecuali karena perubahan (sifatnya). Ini adalah pendapat mayoritas: Hanafiyah, Malikiyah, dan merupakan pendapat lama dari Syafi’i yang dipilih oleh sebagian ulama Syafi’i, merupakan pendapat terkuat dari dua riwayat dari Ahmad, dipilih oleh Ibnu Qudamah dan Ibnu Taimiyyah, dan dinukil ijma’ mengenai hal tersebut.
Ibnu Qudamah berkata, “Berdasarkan hal ini, air yang mengalir tidak menjadi najis kecuali jika terjadi perubahan (sifatnya); karena pada dasarnya air itu suci, dan kita tidak mengetahui adanya nash atau ijma’ yang menyatakan bahwa air tersebut najis, sehingga tetap pada hukum asalnya yaitu suci,” (Al-Mughni: 1/25).
Dalil dari Sunah
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
Salah seorang dari kalian jangan mengencingi air yang menggenang, yang tidak mengalir, kemudian dia mandi di genangan air tersebut, (Sahih Bukhari: 239. Sahih Muslim: 282).
Argumentasi:
1 – Nabi Muhammad ﷺ membedakan antara air yang diam dan air yang mengalir dalam larangannya untuk mandi atau buang air di dalamnya; maka pemahaman dari hadits adalah bahwa air yang mengalir tidak dilarang untuk buang air di dalamnya, maupun untuk mandi darinya.
2 – Pada dasarnya, air yang mengalir adalah suci, dan jika tidak diubah oleh najis maka tidak ada alasan untuk menjadikannya najis; karena ia suci dengan pasti, dan tidak ada nash maupun qiyas yang menjadikannya najis, sehingga harus tetap dianggap suci selama sifat-sifatnya tidak berubah.
3 – Najis dalam air yang mengalir terpisah secara hukum dari apa yang ada di depannya dan di belakangnya dari aliran air, meskipun secara fisik bersentuhan; karena setiap aliran mengejar yang ada di depannya dan menjauh dari yang ada di belakangnya, sehingga najis tidak menempel pada air yang mengalir secara fisik, maka tidak bisa dianggap najis secara hukum.
4 – Air yang mengalir secara keseluruhan lebih dari dua kullah, ditambah lagi dengan kekuatan arusnya, dan setiap aliran bersifat mandiri sehingga najis tidak menetap bersamanya.
D. AIR SEDIKIT YG TERKENA NAJIS TETAPI TIDAK BERUBAH
Air sedikit yg terkena najis tetapi tidak berubah tidak menjadi najis, dan ini adalah mazhab Maliki, Zahiri, serta pendapat sebagian salaf, merupakan riwayat dari Ahmad, dipilih oleh beberapa Hanabilah, dipilih oleh Ibnu al-Mundhir, al-Ghazali, dan beberapa ulama Syafi’iyah, Ibnu Taimiyyah, al-Syaukani, al-Shan’ani, Ibn Baz, dan Ibn Utsaimin.
Dalil dari Al-Quran
1 – Firman Allah ta’ala:
Dan Kami turunkan dari langit air yang suci, (QS Al-Furqan: 48).
Argumentasi:
Air jika sifat-sifatnya tidak berubah; maka tetap suci, baik sedikit maupun banyak, dan tidak hilang sifat sucinya kecuali dengan bukti.
Dalil dari Sunnah
Dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:
Sesungguhnya air itu suci, tidak ada yang bisa menajiskannya, (Sunan Abu Dawud: 66. Sunan At-Tirmidzi: 66).
Argumentasi:
Ini adalah keumuman yang tidak ada pengecualian, kecuali jika berubah oleh najis, maka saat itu menjadi najis dengan kesepakatan ulama.
3 – Bahwa penyebab najis adalah kotoran, maka jika kotoran ada dalam sesuatu, itu adalah najis, dan jika tidak ada, maka tidak najis. Maka hukum mengikuti penyebabnya, ada atau tidak, dan tidak dihukumi najis kecuali jika ada zatnya (kotoran/najis). Jika air tetap suci sebagaimana adanya, maka tidak boleh mencabut sifat aslinya hanya karena dugaan najis akibat pertemuan semata.
E. YG BERUBAH KARENA BERDEKATAN DENGAN NAJIS
Jika bau air berubah karena berdekatan dengan najis, maka hal itu tidak menghilangkan sifat kesuciannya; pendapat ini dinyatakan oleh mayoritas ulama: Maliki, Syafi’i, dan Hanbali; dan disebutkan bahwa tidak ada perbedaan pendapat tentang hal ini; karena apa yang berubah karena berdekatan bukan karena pencampuran, tidak mempengaruhi air; karena tidak ada perpindahan zat najis ke dalamnya.
F. MENYUCIKAN AIR YANG TERKENA NAJIS
Kapan saja perubahan air najis hilang dengan cara apapun, bahkan dengan cara modern, maka air tersebut menjadi suci, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara air sedikit dan banyak, ini adalah mazhab Malik secara umum, dipilih oleh Ibnu Hazm, al-Syaukani, Ibn Baz, dan Ibn Utsaimin, dan dengan ini dikeluarkan keputusan Majma’ Fiqih yang tergabung dalam Rabithah Alam Islami.
Dan itu karena:
1 – Bahwa jika hukum tetap karena suatu sebab, maka ia hilang dengan hilangnya sebab tersebut, dan hukum najis air mengikuti maknanya ada atau tidaknya, maka di mana terdapat najis, hukum najis tetap, dan ketika hilang dengan cara apapun, maka hilang juga hukumnya.
2 – Bahwa zat najis jika sifat-sifatnya berubah, maka namanya yang menjadi dasar hukum tersebut batal, dan berubah menjadi nama lain yang dianggap halal dan suci, maka itu bukanlah yang najis atau haram, tetapi telah menjadi sesuatu yang lain dengan hukum yang lain, maka hukum-hukum itu berdasarkan nama-nama, dan nama-nama itu tergantung pada sifat-sifat.
Demikin pembahasan tentang air yg bercampur najis. Semoga bermanfaat. Wallahua’lam
Karangasem, 14 Desember 2024
Irfan Nugroho (Semoga Allah mengampuni merahmati dan memberkahi dirinya keluarganya dan orang tuanya. Aamiin)