Fikih Dorar: Hukum Transplantasi Organ dan Membedah Mayat
Pembaca rahimakumullah, apa hukum transplantasi organ dari orang yang sudah mati? Yaitu, seseorang meninggal dunia, lalu diambil salah satu organ tubuhnya untuk dipasang di tubuh orang lain yang masih hidup? Berikut adalah terjemahan dari Mausuatul Fiqhiyah Dorar Saniyah > Kitab Salat > Bab Janaiz > Hukum Orang Sakit dan Sekarat > Hukum Orang Sekarat ? Hukum transplantasi organ dari orang yang sudah mati. Semoga bermanfaat!
Hukum Transplantasi Organ dari Orang Mati dan Membedah Mayat
A – Hukum Transplantasi Organ dari Orang Mati
Boleh memindahkan organ atau bagian lain dari seorang yang telah meninggal kepada seorang Muslim jika diperlukan.[i]
Hal ini telah diputuskan oleh Dewan Ulama Senior di Kerajaan Arab Saudi[ii] dan Majma Al-Fiqhi Al-Islamiyah,[iii] serta difatwakan oleh Komite Fatwa di Mesir[iv] dan Komite Fatwa di Kuwait.[v]
Dalil dari Al-Kitab
Allah ta’ala berfirman:
Barangsiapa dalam keadaan terpaksa tanpa menginginkan dan tanpa melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya, (QS Al-Baqarah: 173).
Allah ta’ala berfirman:
Dan sungguh, Dia telah merinci apa yang Dia haramkan atas kalian, kecuali apa yang kalian terpaksa melakukannya, (QS Al-An’am: 119).
Argumentasi:
1 – Bahwa keadaan darurat dikecualikan dari larangan, dan siapa yang membutuhkan transplantasi organ akan dianggap dalam keadaan darurat.[vi]
2 – Bahwa kepentingan orang yang hidup dengan menyelamatkan nyawanya lebih besar daripada kepentingan orang yang meninggal dengan melanggar kehormatan tubuhnya, karena ruhnya telah meninggalkannya. Prinsipnya adalah bahwa bahaya harus dihilangkan, dan keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang.[vii]
3 – Bahwa menghidupkan dan menyelamatkan nyawa adalah kewajiban syar’i; sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan semua manusia, (QS Al-Maidah: 32).
B – Hukum Membedah Mayat
Tentang hukum membedah mayat, dalam hal ini terdapat empat pembahasan, yaitu sebagai berikut:
1 – Membedah jenazah untuk tujuan pendidikan
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum membedah jenazah untuk tujuan pendidikan. Ada dua pendapat utama:
1 – Pendapat pertama: Boleh membedah jenazah untuk tujuan pendidikan kedokteran dan mempelajarinya. Hal ini telah diputuskan oleh Majelis Fikih Islam di Mekkah dan difatwakan oleh Komite Fatwa Al-Azhar.
Karena kebutuhan mendesak untuk mempelajari ilmu kedokteran demi pengobatan manusia, yang menjadikan membedah jenazah sebagai manfaat yang lebih besar daripada kerugian melanggar kehormatan jenazah.
Prinsip-prinsip agama Islam didasarkan pada menjaga maslahat yang lebih besar dan menanggung bahaya yang lebih ringan untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar.
2 – Pendapat kedua: Jika jenazah tersebut adalah seorang yang dihormati semasa hidupnya, baik Muslim maupun non-Muslim, maka tidak boleh membedahnya.
Namun, jika jenazah tersebut adalah seorang yang tidak dihormati, seperti murtad atau musuh perang, maka diperbolehkan membedahnya untuk tujuan medis.
Pendapat ini dipegang oleh Ibn Baz dan Haiah Kibar Al-Ulama.
Karena membedah jenazah yang dihormati semasa hidupnya dianggap sebagai penghinaan dan pelanggaran terhadap kehormatannya. Sedangkan jenazah yang tidak dihormati, seperti murtad dan musuh perang, boleh dibedah untuk kepentingan medis.[viii]
2 – Membedah Jenazah untuk Tujuan Investigasi Tindak Kejahatan
Boleh membedah mayat untuk tujuan investigasi tindak kejahatan. Pendapat ini dipegang oleh Ibn Baz, Ibn Utsaimin, dan telah diputuskan oleh Majelis Fikih Islam, Haiah Kibar Al-Ulama, dan hal ini juga difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Daimah.
Mereka berpendapat bahwa manfaat besar dalam bidang keamanan dan keadilan yang dihasilkan dari membedah jenazah adalah lebih besar daripada kerugian yang muncul akibat tidak membedahnya.
3 – Membedah Jenazah untuk Mengetahui Penyebab Kematian
Boleh membedah jenazah untuk mengetahui penyebab kematian dan memastikan adanya penyakit menular yang menuntut adanya tindakan bedah.
Hal ini telah diputuskan oleh Majelis Fikih Islam dan Haiah Kibaril Ulama.
Mereka berpendapat bahwa manfaat besar dalam bidang kesehatan dan pencegahan penyakit yang dihasilkan dari membedah jenazah adalah lebih besar daripada kerugian akibat tidak membedahnya.[ix]
4 – Orang yang Meninggal Dunia, dan di dalam Perutnya Terdapat Janin yang Bergerak
Barangsiapa yang meninggal dunia dan di dalam perutnya terdapat janin yang bergerak, maka perutnya harus dibedah jika diharapkan bahwa janin tersebut masih bisa hidup.[x]
Pendapat ini dipegang oleh mazhab Hanafi,[xi] Syafi’i,[xii] sebagian ulama Maliki,[xiii] dan Hanbali,[xiv] serta Ibnu Hazm,[xv] dan Ibn Utsaimin.[xvi]
Argumentasi:
Pertama: Karena mempertahankan kehidupan dengan mengorbankan bagian dari jenazah, mirip dengan jika seseorang terpaksa memakan bagian dari jenazah.[xvii]
Kedua: Karena kehormatan orang yang hidup adalah lebih besar daripada kehormatan orang yang meninggal.[xviii]
Ketiga: Karena janin adalah manusia yang dilindungi; maka wajib menyelamatkannya.[xix] Wallahua’lam
Karangasem, 15 Januari 2025
Irfan Nugroho (Semoga Allah memudahkan urusannya dan mengabulkan doa-doanya. Aamiin).
CATATAN KAKI
[i] Diperlukan izin dari dirinya atau dari ahli warisnya, karena menjaga kehormatannya adalah hak yang ditetapkan dalam syariat, yang tidak boleh dilanggar kecuali dengan izinnya. Ini adalah hak yang diwariskan, seperti halnya dalam tuntutan dari ahli waris dalam kasus pencemaran nama baik. Lihat: “Fiqhu An-Nawazil” li Bakr Abu Zaid: 2/45, Qararat Al-Majma’ Al-Fiqhi, hal. 158.
[ii] Majalatu Al-Buhuts Al-Islamiyah: 84/53. Keputusan ini dikeluarkan oleh mayoritas anggota dewan dan Syaikh bin Baz memilih diam.
[iii] Hal ini diputuskan dalam sidang kedelapan yang diadakan di Mekkah pada 28 Rabiul Akhir hingga 7 Jumadil Awal tahun 1405 H yang bertepatan dengan 19-28 Januari 1985. Mereka menetapkan syarat-syarat untuk kebolehan, di antaranya bahwa pemindahan organ harus untuk pengobatan penyakit, dan harus diyakini atau diperkirakan keberhasilan operasinya. Lihat: Qararat Majma Al-Fiqhi Al-Islami bi Makata Al-Mukaramah, hal. 158.
[iv] Majalah Al-Azhar: 20/742 tahun 1368 H, Komite Fatwa Al-Azhar, Fatwa Nomor 491, Dar Al-Ifta Mesir, Terdaftar No. 88 Seri 212, hal. 93.
[v] Fatwa yang dikeluarkan oleh Kantor Fatwa di Kementerian Wakaf dan Urusan Islam di Negara Kuwait, dengan nomor 97: ع/84 pada tanggal 22 Rabiul Akhir tahun 1405 H.
[vi] Mausuatu Al-Fiqhi At-Tibi: 2/952.
[vii] Fiqhu An-Nawazil: 2/45.
[viii] Majmu Fatawa Ibnu Baz: 13/366.
[ix] Abhats Haiah Kibar Al-Ulama: 2/84.
[x] Al-Mawardi berkata, “Jika seorang wanita meninggal dunia dan di dalam perutnya terdapat janin yang masih hidup, maka tidak ada teks dari Imam Syafi’i mengenai hal ini. Namun, Abu al-Abbas bin Suraij berkata, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah dan mayoritas ulama, bahwa perutnya harus dibedah dan janinnya dikeluarkan, karena kehormatan orang yang hidup lebih diutamakan daripada kehormatan orang yang meninggal,” (Al-Hawi al-Kabir: 3/62).
[xi] Al-Bahr al-Ra’iq li Ibn Nujaym: 2/203, Maraqi al-Falah li al-Sharnablali, hal. 222. Lihat juga: Tuhfat al-Muluk li al-Razi, hal. 239.
[xii] Al-Majmu li al-Nawawi: 5/302, Mughni al-Muhtaj li al-Sharbini: 1/367.
[xiii] Al-Dhakhirah li al-Qarafi: 2/479, Syarh Mukhtasar Khalil li al-Kharshi: 2/145.
[xiv] Al-Inshaf li al-Mardawi: 2/390, Jami’ al-Masa’il li Ibnu Taimiyyah: 4/173.
[xv] Al-Muhalla li Ibn Hazm: 3/395.
[xvi] Majmu’ Fatawa wa Rasail al-Utsaimin: 11/333.
[xvii] Al-Majmu li al-Nawawi: 5/301
[xviii] Majmu’ Fatawa wa Rasail al-Utsaimin: 11/334.
[xix] Majmu’ Fatawa wa Rasail al-Utsaimin: 11/334.