Fikih Dorar: Jika Ragu Apakah Air itu Suci atau Najis?
Pembaca rahimakumullah, bagaimana jika ragu, apakah air itu suci atau najis? Berikut adalah terjemahan dari Mausuatul Fiqhiyah Dorar Saniyah > Kitab Taharah > Bab Air > Air yang Meragukan > Jika Ragu apakah Air itu Suci atau Najis. Semoga bermanfaat. Teruskan membaca!
Orang yang Ragu apakah Air itu Suci atau Najis
Siapa saja yang ragu[1] apakah air itu suci atau najis, maka dia kembali kepada (hukum) asalnya.
Maka jika yakin bahwa air itu suci, dan ragu bahwa air itu najis, air boleh digunakan; karena pada asalnya, air akan tetap suci.
Dan jika yakin bahwa air itu najis, dan ragu bahwa air itu suci, maka air itu tidak boleh digunakan; karena pada asalnya, air itu najis.
Ini berdasarkan kesepakatan empat mazhab fikih; Hanafiyah,[2] Malikiyah,[3] Syafiiah,[4] dan Hanabilah.[5]
DALIL DAR SUNAH
Dari Abdullah bin Zaid Al-Anshari Radhiyallahu Anhu yang berkata:
Dikeluhkan kepada Nabi ﷺ tentang seorang laki-laki yang merasa seolah-olah menemukan sesuatu dalam shalatnya, beliau bersabda:
Janganlah dia berpaling, sampai dia mendengar suara, atau menemukan bau,[6] (Sahih Bukhari: 137. Sahih Muslim: 361 dan redaksi ini milik Imam Muslim).
Argumentasi Dalil
1 – Bahwa mempertahankan asal, dan berpegang pada keyakinan; adalah prinsip yang diandalkan, selama tidak ada sesuatu yang lebih kuat yang bertentangan dengannya, (Syarah Nawawi Ala Muslim: 4/49).
2 – Qiyas (analogi) menetapkan bahwa sesuatu yang diragukan hukumnya dikembalikan kepada asalnya, dan asalnya air adalah suci, dan tidak hilang dengan keraguan. Jika yakin najisnya dan ragu tentang sucinya, maka itu najis; karena itu adalah asal dan keyakinan, dan kesuciannya diragukan, (Mawahibul Jalil li Al-Hattab: 1/74. Asy-Syarh Al-Kabir li Syamsudin Ibnu Qudamah: 1/46-47). Wallahua’lam
Karangasem, 8 Januari 2025
Irfan Nugroho (Semoga Allah mengampuni, merahmati, dan memberkahi dirinya, orang tuanya, dan keluarganya. Aamiin)
CATATAN KAKI
[1] Para ahli ushul fikih membedakan syak dengan dzan. Kata mereka, Syak jika:
Jika keduanya (ya/tidak, najis/suci, misalnya) seimbang, maka itu disebut syak.
Lalu jika keduanya tidak seimbang:
Jika tidak, maka yang lebih kuat disebut Dzan, sedang yang lebih lemah disebut Wahm, (Al-Majmu li An-Nawawi: 1/168-169).
[2] Al-Mabsut li As-Sarakhsi: 1/105 dan lihat: Bada’i’ As-Sana’i’ li Al-Kasani: 1/73. Namun, para ulama Hanafi mungkin lebih mengutamakan yang suci karena adanya indikasi. Lihat: Al-Mabsut: 1/83.
[3] Mawahib Al-Jalil li Al-Hattab: 1/246, dan lihat: Al-Fawakih Ad-Dawani oleh An-Nafrawi: 1/361.
[4] Al-Majmu’ li An-Nawawi: 1/167, Raudhatut Thalibin li An-Nawawi: 1/77.
[5] Al-Furu’ li Ibnu Muflih: 1/93, dan lihat: Asy-Syarh Al-Kabir li Syamsuddin Ibnu Qudamah: 1/46.
[6] Imam An-Nawawi berkata:
Hadis ini adalah salah satu dasar dari dasar-dasar Islam, dan kaidah besar dari kaidah-kaidah fikih; yaitu bahwa segala sesuatu dihukumi tetap pada asalnya sampai diyakini sebaliknya, dan keraguan yang muncul tidak merusaknya, (Syarah An-Nawawi ala Muslim: 4/49. Al-Majmu: 1/168).