Pembaca yang semoga dirahmati Allah, apa definisi nafkah? Siapa penerima nafkah? Siapa pemberi nafkah? Apa yang membuat nafkah terputus? Berikut adalah terjemahan dan penjelasan dari Minhajul Muslim karya Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi rahimahullah.
Pasal Kedelapan: Tentang Nafkah
DEFINISI NAFKAH
Nafkah adalah segala sesuatu yang diberikan berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal kepada orang yang berhak menerimanya.
SIAPA PENERIMA/PEMBERI NAFKAH?
Siapa yang berhak mendapatkan nafkah, dan dari siapa nafkah itu diwajibkan?
Nafkah wajib diberikan kepada enam golongan berikut:
1 – Istri oleh suaminya,
Baik dalam ikatan pernikahan yang sah maupun dalam masa iddah[1] talak raj’i,[2] sesuai dengan sabda Nabi ﷺ:
Hak mereka atas kalian adalah memperlakukan mereka dengan baik dalam hal pakaian dan makanan mereka, (Sunan At-Tirmidzi: 1163).
2 – Perempuan yang ditalak secara bain[3] oleh suaminya selama masa iddah, jika sedang hamil
Allah ta’ala berfirman:
Dan jika mereka sedang mengandung, maka berikanlah nafkah kepada mereka hingga mereka melahirkan kandungannya, (QS. At-Talaq: 6).
3 – Orang tua oleh anaknya
Allah ta’ala berfirman:
Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, (QS. Al-Baqarah: 83).
Rasulullah ﷺ bersabda ketika ditanya tentang siapa yg paling berhak mendapat perlakuan baik:
Ibumu. Ibumu. Ibumu. Ayahmu, (Sahih Bukhari: 5971).
4 – Anak kecil oleh ayahnya
Allah ta’ala berfirman:
Berikanlah mereka rezeki di dalamnya, pakaian, dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik, (QS. An-Nisa: 5).
Rasulullah ﷺ bersabda:
Anak berkata, ‘Berilah aku makan, kepada siapa lagi engkau akan meninggalkanku?’[4]
5 – Pembantu oleh majikannya
Sesuai sabda Nabi ﷺ:
Hak seorang budak adalah mendapatkan makanan dan pakaian yang baik,[5] serta tidak dibebani pekerjaan yang tidak mampu dia lakukan, (Sahih Muslim: 1662).
6 – Hewan ternak oleh pemiliknya
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
Seorang wanita masuk neraka karena seekor kucing yang dia kurung hingga mati kelaparan. Dia tidak memberinya makan dan tidak membiarkannya mencari makan dari serangga di tanah, (Sahih Bukhari: 3482).[6]
KADAR NAFKAH YANG WAJIB
Kebutuhan dasar seperti makanan yang layak, minuman yang baik, pakaian untuk melindungi dari panas dan dingin, serta tempat tinggal untuk kenyamanan dan stabilitas wajib dipenuhi tanpa perdebatan.
Namun, perbedaan pendapat muncul dalam banyak atau sedikitnya nafkah, bagus atau buruknya nafkah, yang tergantung pada 1) kondisi pemberi nafkah, longgar atau sempit, serta 2) kondisi orang yang dinafkahi.
Oleh karena itu, yang pantas adalah membiarkan hal ini kepada para hakim Muslim; karena merekalah yang menentukan dan menilai berdasarkan 3) kondisi umat Islam yang beragam, keadaan mereka, dan 4) kebiasaan mereka.
KAPAN NAFKAH GUGUR?
Nafkah dapat gugur dalam keadaan berikut:
1 – Bagi istri, jika dia durhaka (nusyuz)[7] atau menolak ajakan suami untuk hubungan badan (padahal tidak memiliki uzur).
Syaikh menjelaskan:
Sebab nafkah itu sebagai imbalan dari menikmati hak-hak tersebut, dan ketika hal itu tidak mungkin, maka nafkah itu gugur.
2 – Bagi perempuan yang ditalak raj’i, jika masa iddahnya telah selesai.
Karena dengan berakhirnya masa iddahnya, dia telah terpisah darinya.
3 – Bagi perempuan yang hamil, setelah dia melahirkan kandungannya.[8]
Namun jika dia menyusui anaknya, maka wajib baginya mendapatkan upah menyusui; berdasarkan firman Allah Ta’ala: Maka jika mereka menyusui (anak-anak)mu untukmu, berikanlah kepada mereka upahnya dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik, (QS. At-Talaq: 6).
4 – Bagi orang tua, jika mereka telah cukup atau anaknya tidak memiliki kelebihan harta untuk diberikan.
5 – Bagi anak-anak, jika laki-laki telah dewasa atau perempuan telah menikah.
Syaikh menambahkan:
Dan dikecualikan dari itu jika anak laki-laki telah mencapai usia tua atau mengalami gangguan mental, maka nafkah ayahnya untuknya tetap berlanjut.
CATATAN
- Kewajiban Menyambung Silaturahmi
Seorang Muslim wajib menyambung silaturahmi, yaitu hubungan kekerabatan dari pihak ayah maupun ibunya.
Jika ada kerabat yang membutuhkan makanan, pakaian, atau tempat tinggal, maka ia wajib memberinya makan, pakaian, atau tempat tinggal, jika memiliki kelebihan harta. Hendaknya ia memulai dari kerabat yang paling dekat, kemudian yang lebih jauh.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, “Tangan pemberi adalah tangan yang lebih baik (lebih tinggi). Mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu: ibumu, ayahmu, saudara perempuanmu, saudara laki-lakimu, kemudian kerabat yang lebih dekat dan seterusnya,” (Sunan An-Nasai: 2531).
- Kewajiban Memberi Makan Hewan Ternak:
Jika pemilik hewan enggan memberi makan hewan ternaknya, maka hewan tersebut dijual atas kehendaknya atau disembelih, agar tidak tersiksa oleh kelaparan. Menyiksa hewan hukumnya haram.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, “Seorang wanita masuk neraka karena seekor kucing yang ia kurung hingga mati kelaparan. Ia tidak memberinya makan, juga tidak membiarkannya mencari makan dari serangga di tanah,” (Sahih Bukhari: 3482. Sahih Muslim: 2242). Wallahua’lam
Karangasem, 26 Desember 2024
Irfan Nugroho (Semoga Allah mengampuni, merahmati, dan memberkahi dirinya, keluarganya, dan orang tuanya. Amin)
PENJELASAN
[1] Masa iddah talak raj’i bergantung pada kondisi istri yang ditalak. Berikut adalah rinciannya:
- Jika Istri Masih Mengalami Haid
Masa iddah: Tiga kali suci (quru’) setelah haid.
Dalil:
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’ (suci), (QS. Al-Baqarah: 228).
b.Jika Istri Tidak Lagi Haid (Karena Menopause)
Masa iddah: Tiga bulan.
Dalil:
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi di antara istri-istri kalian, jika kalian ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan, (QS. At-Talaq: 4).
- Jika Istri Dalam Keadaan Hamil
Masa iddah: Berakhir saat melahirkan.
Dalil:
Dan perempuan-perempuan yang hamil, masa iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya, (QS. At-Talaq: 4).
- Jika Istri Belum Pernah Disentuh (Belum Ada Hubungan Suami Istri)
Masa iddah: Tidak ada.
Dalil:
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka, maka tidak ada masa iddah atas mereka yang perlu kalian perhitungkan, (QS. Al-Ahzab: 49).
[2] Talak raj’i adalah talak yang memungkinkan suami mengembalikan istrinya ke dalam ikatan pernikahan tanpa akad baru selama masa iddah, dan hal ini berlaku pada talak pertama atau kedua saja, selama masa iddah belum selesai
[3] Talak bain adalah salah satu jenis talak dalam hukum Islam yang menyebabkan putusnya hubungan pernikahan antara suami dan istri secara definitif. Talak bain ini terbagi menjadi dua jenis:
- Talak Bain Sughra
Talak yang membuat hubungan suami-istri putus, tetapi mereka masih bisa rujuk melalui akad nikah baru. Contohnya adalah talak satu atau talak dua yang sudah habis masa iddahnya, sehingga rujuk hanya bisa dilakukan dengan akad baru dan mahar baru.
- Talak Bain Kubra
Talak yang membuat hubungan suami-istri benar-benar berakhir dan tidak bisa rujuk lagi kecuali setelah istri menikah dengan laki-laki lain secara sah, menjalani kehidupan rumah tangga, lalu berpisah (tanpa rekayasa). Talak ini terjadi setelah suami menjatuhkan talak tiga.
Talak bain berbeda dengan talak raj’i (talak yang masih memungkinkan rujuk tanpa akad baru selama masa iddah). Dalam talak bain, hubungan pernikahan secara hukum telah berakhir dan membutuhkan langkah tertentu untuk menyatukan kembali pasangan.
[4] Maksudnya, anak sangat bergantung kepada orang tua untuk nafkah dan pemeliharaan. Oleh karena itu, wajib bagi orang tua untuk menafkahi anaknya.
[5] Apa maksud pakaian yang baik? Tertulis di dalam Mausuatul Haditsiyah Dorar Saniyah:
Sekadar bisa mencegah bahaya, lumrah dengan adat yang berlaku di masyarakat negeri tersebut.
[6] Maksudnya, tidak memberi nafkah kepada hewan yang dikurung adalah bentuk penyiksaan terhadap hewan. Tertulis di dalam Mausuatul Haditsiyah Dorar Saniyah:
Menyiksa hewan mengakibatkan hukuman dan (ancaman) neraka.
Ingat, menghindarkan diri dari neraka adalah wajib. Maka, wajib pula memberi nafkah kepada hewan yang dikurung.
[7] Definisi Nusyuz adalah:
ketidaktaatan seorang wanita kepada suaminya dalam hal yang telah Allah wajibkan kepadanya untuk taat, dan wanita yang nusyuz adalah wanita yang meninggikan diri di atas suaminya, meninggalkan perintahnya, dan berpaling darinya, (Al-Mugni li Ibni Qudamah: 7/318).
[8] Ingat, nafkah kepada istri yang dicerai dan telah melahirkan memang selesai, tetapi suami/ayah tetap memiliki kewajiban memberi nafkah kepada anaknya sampai si anak mandiri. Syaikh Athiyah Saqir di dalam Mausuatul Usrah (6/353) berkata:
Jika dia memiliki anak dari wanita tersebut, dan setelah perceraian wanita tersebut mengasuh anak-anaknya, maka suami harus memberikan nafkah pengasuhan untuk melayani anak-anak tersebut. Ini adalah nafkah yang diberikan kepada anak-anaknya, dan nafkah anak-anak adalah kewajiban ayah mereka atau wali mereka, baik mereka berada bersamanya atau dengan orang lain.