Fikih Dorar: Definisi Al-As-aru atau Sisa Makanan/Minuman dan Hukumnya
Pembaca rahimakumullah, pernah dengar istilah Al-As-aru (الأَسْآرُ)? Kalau belum, pasti pernah lihat makanan sisa atau minuman sisa, kan? Nah itu maksudnya. Yuk cari tahu apa itu Al-As-aru dan hukumnya. Semoga bermanfaat!
DEFINISI AL-AS-ARU
Secara bahasa, bentuk jamak dari As-aru adalah Su-rin, yaitu sesuatu yang tersisa atau berlebih.[1]
Al-As-aru secara istilah berarti, “Apa yang tersisa di dalam wadah dan sejenisnya dari makanan dan minuman.”[2]
KESUCIAN SISA MANUSIA
Sisa manusia itu suci, baik dia seorang Muslim atau kafir, dalam keadaan junub atau haid.[3]
Dan ini disepakati oleh empat mazhab fiqih: Hanafi,[4] Maliki,[5] Syafi’i,[6] dan Hanbali,[7] serta merupakan mazhab Zhahiri,[8] dan merupakan pendapat mayoritas ulama.[9]
DALIL DARI SUNAH
1 – Dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu yang berkata:
Nabi Muhammad ﷺ datang ke Madinah saat aku berusia sepuluh tahun, dan beliau wafat saat aku berusia dua puluh tahun. Ibu-ibuku mendorongku untuk melayani beliau. Suatu ketika, beliau datang ke rumah kami. Kami memerah susu seekor kambing yang ada di rumah dan mencampurnya dengan air dari sumur yang berada di rumah. Rasulullah ﷺ meminumnya. Lalu Umar dan Abu Bakar yang berada di sebelah kiri beliau berkata, “Wahai Rasulullah, berikanlah kepada Abu Bakar.” Namun, beliau memberikannya kepada seorang Arab badui yang berada di sebelah kanannya. Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Yang kanan dulu, lalu yang kanan berikutnya,’ (Sahih Bukhari: 6452).
2 – Bahwa Nabi ﷺ ketika mendapat hadiah susu, beliau berkata kepada Abu Hurairah:
Pergilah kepada Ahlus-Shuffah dan panggil mereka untukku
Abu Hurairah berkata: “Aku pun mendatangi mereka dan memanggil mereka. Mereka datang, meminta izin, dan beliau mengizinkan mereka. Mereka duduk di tempat yang telah disediakan di rumah.
Rasulullah ﷺ berkata, ‘Wahai Abu Hirr!’ Aku menjawab, ‘Aku penuhi panggilanmu, wahai Rasulullah.’
Beliau berkata, ‘Ambillah dan berikan kepada mereka.’ Aku mengambil bejana dan memberikannya kepada setiap orang. Masing-masing meminum hingga kenyang, lalu mengembalikan bejana kepadaku. Aku terus memberikan kepada orang berikutnya, hingga semuanya meminum sampai kenyang. Kemudian aku sampai kepada Nabi ﷺ, dan semua orang telah kenyang.
Beliau mengambil bejana, meletakkannya di tangannya, memandangku, lalu tersenyum, dan berkata, ‘Wahai Abu Hirr!’ Aku menjawab, ‘Aku penuhi panggilanmu, wahai Rasulullah.’ Beliau berkata, ‘Tinggal aku dan engkau.’ Aku berkata, ‘Engkau benar, wahai Rasulullah.’ Beliau berkata, ‘Duduklah dan minumlah.’ Aku duduk dan meminum. Beliau berkata, ‘Minumlah lagi,’ lalu aku meminum. Beliau terus berkata, ‘Minumlah.’
Hingga aku berkata, ‘Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak menemukan tempat lagi (di perutku).’ Beliau berkata, ‘Berikan kepadaku.’ Aku pun memberikan bejana itu kepadanya. Beliau memuji Allah, menyebut nama Allah, lalu meminum sisanya,’ (Sahih Bukhari: 6452).
3 – Dari Aisyah Radhiyallahu Anha yang berkata:
Aku pernah minum ketika sedang haid, lalu aku memberikan (bejana) itu kepada Nabi ﷺ. Beliau meletakkan mulutnya di tempat aku minum, lalu beliau meminumnya, (Sahih Muslim: 300).
ARGUMENTASI DALIL
1 – Bahwa ketika Nabi Muhammad ﷺ memerintahkan untuk mengedarkan bejana di antara orang-orang yang hadir dengan sabdanya: “Yang kanan dulu, lalu yang kanan berikutnya,” hal itu menunjukkan kesucian bekas air minum (sisa minum).
2 – Bahwa para sahabat minum dari satu bejana, dan Nabi Muhammad ﷺ minum dari bekas air minum mereka; hal ini menunjukkan kesucian bekas air minum manusia.
3 – Bahwa Allah telah membolehkan menikahi wanita Ahli Kitab, dan tidak mungkin seseorang yang berinteraksi dengan mereka terhindar dari bekas air minum mereka. Namun demikian, seorang Muslim tidak diperintahkan untuk mencuci sesuatu yang terkena hal tersebut. Ini menunjukkan bahwa bekas air minum mereka adalah suci. Wallahua’lam
Karangasem, 25 Januari 2025
Irfan Nugroho (Semoga Allah mengampuni, merahmati, dan memberkahi dirinya, keluarganya, dan orang tuanya. Amin).
CATATAN KAKI
_____
[1] Al-Qamus Al-Muhit li Al-Fairuzabadi, hal: 403).
[2] Hasiyah Ibnu Abidin: 1/222, Syarh Al-Mumti li Ibni Utsaimin: 1/459. An-Nawawi berkata, “Yang dimaksud oleh para ahli fiqih ketika mereka mengatakan ‘sisa binatang itu suci atau najis’ adalah air liurnya atau sesuatu yang lembap di mulutnya,” (Al-Majmu: 1/172).
[3] Imam An-Nawawi berkata, “Para ulama berkata: Tidak makruh bagi suami tidur satu tempat tidur dengan istri yang sedang haid, tidak pula mencium istrinya, atau menikmati tubuhnya di atas pusar dan di bawah lutut. Tidak makruh juga jika tangan istrinya menyentuh cairan, mencuci kepala suaminya atau kepala selain suaminya dari kalangan mahramnya, serta menyisir rambutnya. Tidak makruh pula memasak, menguleni adonan, atau pekerjaan lainnya. Bekas air minumnya dan keringatnya suci. Semua ini telah disepakati oleh para ulama. Imam Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir telah menyebutkan dalam kitabnya tentang mazhab-mazhab ulama, bahwa seluruh kaum Muslimin telah sepakat tentang hal ini, dan dalil-dalilnya dari sunnah sangat jelas dan terkenal,” (Syarh An-Nawawi Ala Muslim: 3//207).
[4] Hanafiyah mengecualikan dua keadaan berikut: 1) Bekas air minum orang yang meminum khamar; 2) Orang yang mulutnya berdarah jika ia langsung meminum setelah itu, maka jika ia menelan ludahnya berkali-kali, mulutnya menjadi suci, (Lihat: Al-Bahr Ar-Ra’iq li Ibnu Nujaym: 1/133, Al-Fatawa Al-Hindiyyah: 1/123).
[5] Asy-Syarh Al-Kabir li Ad-Dardir: 1/34, 35, dan lihat juga: Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah li Ibnu Juzayy: 1/25.
[6] Al-Majmu li An-Nawawi: 1/171. Lihat juga: Al-Hawi Al-Kabir li Al-Mawardi: 1/317.
[7] Al-Inshaf li Al-Mardawi: 1/247. Syarh Muntaha Al-Iradat li Al-Bahuti: 1/109.
[8] Al-Muhala li Ibni Hazm: 1/138. Al-Fiqhu Al-Islamiy Wa Adilatuhu li Al-Zuhaili: 1/242.
[9] Ibnu Qudamah berkata, “(Yang pertama adalah) manusia, ia suci, dan bekas air minumnya juga suci, baik ia seorang Muslim maupun kafir, menurut mayoritas ulama. Namun, diriwayatkan dari An-Nakha’i bahwa ia memakruhkan bekas air minum wanita haid, dan dari Jabir bin Zaid bahwa ia mengatakan, ‘Tidak berwudhu dari air tersebut,” (Al-Mughni: 1/37).