Fikih Dorar: Hukum Merintih dan Berharap Mati
Pembaca rahimakumulllah, kali ini kita akan belajar tentang hukum merintih dan berharap mati. Ini adalah lanjutan dari Kitab Salat Bab Janaiz bagian ketiga dari Ensiklopedia Fikih Dorar Saniyah. Semoga bermanfaat.
Hukum Merintih dan Berharap Meninggal
HUKUM MERINTIH
Merintih bukanlah sesuatu yang makruh bagi orang sakit; hal ini dinyatakan oleh para ulama Syafi’iyah,[1] merupakan salah satu riwayat dari Ahmad,[2] dan dipilih oleh Ibnu Baz.[3]
Dalil-dalil:
Pertama: Dari Sunnah
Dari al-Qasim bin Muhammad, dia berkata bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
“Aduh kepalaku!” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika hal itu terjadi saat aku masih hidup, aku akan memohonkan ampunan untukmu dan mendoakanmu.” Lalu Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Watsukliyah![4] Demi Allah, aku yakin engkau ingin aku mati. Jika itu terjadi, engkau akan menghabiskan sisa harimu bersama sebagian istrimu.” Nabi ﷺ bersabda: “Namun, aku juga sedang sakit kepala! Sungguh aku berniat—atau ingin—mengutus seseorang kepada Abu Bakar dan anaknya, agar aku memberi wasiat; agar orang-orang yang bicara (tentang kepemimpinan) tidak berangan-angan. Lalu aku berkata: ‘Allah tidak menghendakinya dan kaum mukminin mencegahnya, atau Allah mencegahnya dan kaum mukminin tidak menghendakinya,’” (Sahih Bukhari: 5666. Sahih Muslim: 2387).
Indikasi Dalil:
1 – Bahwa Nabi ﷺ mengeluhkan rasa sakit dan kesusahannya, (Syarh Sahih Bukhari li Ibni Bathal: 9/385).
2 – Karena tidak terdapat larangan tegas mengenai hal ini, (Asna Al-Mathalib li Zakariya Al-Anshari: 1/295).
3 – Karena rintihan akibat penyakit dan keluhan kesakitan mungkin saja menguasai seseorang, dan dia tidak mampu menahannya, sementara Allah Ta’ala tidak membebani seseorang di luar kemampuannya. Tidak dalam kemampuan manusia untuk meninggalkan rintihan saat merasakan sakit yang berat dan penderitaan yang menimpa, (Syarh Sahih Bukhari li Ibni Bathal: 9/385)
HUKUM BERHARAP MENINGGAL
Berharap mati dimakruhkan jika disebabkan oleh musibah yang menimpa, namun jika karena takut fitnah dalam agama, maka tidak dimakruhkan. Hal ini berdasarkan kesepakatan dari empat mazhab fikih: Hanafi,[5] Maliki,[6] Syafi’i,[7] dan Hanbali.[8]
Dalil-dalil:
Pertama: Dari Al-Qur’an
Ucapan Maryam: “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, yang dilupakan.” (QS. Maryam: 23)
Indikasi Dalil:
Bahwa Maryam ‘alaihas-salam menginginkan kematian dari sisi agama; untuk dua alasan:
1 – Karena ia takut orang-orang akan berpikir buruk terhadap agamanya dan mencelanya; sehingga bisa menjadi fitnah bagi dirinya.
2 – Supaya kaumnya tidak jatuh ke dalam tuduhan palsu dan menisbatkan perbuatan zina, (Tafsir Al-Qurtubi: 11/92).
Kedua: Dari Sunnah
1 – Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
“Janganlah salah seorang dari kalian berharap mati karena musibah yang menimpanya. Jika dia tetap ingin (berharap mati), hendaklah dia berdoa: ‘Ya Allah, hidupkanlah aku selama kehidupan itu baik untukku, dan wafatkanlah aku jika kematian itu lebih baik untukku,’” (Sahih Bukhari: 5671. Sahih Muslim: 2680)
Indikasi Dalil:
Bahwa sabda beliau, “Janganlah salah seorang dari kalian berharap mati karena musibah yang menimpanya,” mengandung larangan untuk berharap mati karena musibah yang datang.
Dan sabda beliau, “(Dan wafatkanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku)” menunjukkan bolehnya berdoa mengharapkan kematian, karena takut akan fitnah (ujian atau godaan) dalam agamanya, (Syarah Sahih Bukhari li Ibni Bathal: 10/111, Syarah An-Nawawi ala Muslim: 17/7)
2 – Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidak ada seorang pun yang amalnya bisa memasukkannya ke dalam surga.” Para sahabat bertanya: “Tidak juga dengan engkau, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tidak, termasuk juga aku, kecuali jika Allah meliputiku dengan karunia dan rahmat-Nya. Maka lakukanlah amalan dengan tepat dan mendekatlah pada yang benar, dan janganlah salah seorang di antara kalian mengharapkan kematian: Jika ia orang yang berbuat baik, semoga ia menambah kebaikan, dan jika ia orang yang berbuat keburukan, semoga ia mendapat kesempatan untuk bertobat,” (Sahih Bukhari: 5673. Sahih Muslim: 2816)
3 – Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tadi malam, Tuhanku yang Mahasuci dan Maha Tinggi datang kepadaku dalam bentuk yang paling indah… dan berkata: ‘Wahai Muhammad, apabila engkau selesai salat, maka ucapkanlah: ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu perbuatan baik, meninggalkan kemungkaran, cinta kepada orang-orang miskin, ampunan, serta rahmat-Mu. Dan jika Engkau menghendaki fitnah di suatu kaum, maka wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terkena fitnah,’” (Sunan At-Tirmizi: 3235).
Indikasi Dalil:
Sabda beliau, “Dan jika Engkau menghendaki fitnah di suatu kaum, maka wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terkena fitnah,” menunjukkan bahwa jika seseorang khawatir akan terkena fitnah dalam agamanya, maka dia boleh berdoa meminta kematian sebelum terkena fitnah tersebut, (Syarah Sahih Bukhari li Ibni Bathal: 9/389).
Ketiga: Dari Atsar (perkataan sahabat)
Dari Sa’id bin al-Musayyib, ia berkata:
“Ketika Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu kembali dari Mina, ia berhenti di al-Abthah, lalu mengumpulkan kerikil, membentangkan pakaian di atasnya, kemudian berbaring, mengangkat tangannya ke langit, dan berdoa: ‘Ya Allah, usia saya sudah tua, kekuatan saya melemah, dan rakyat saya telah tersebar. Maka wafatkanlah saya dalam keadaan tidak menyia-nyiakan dan tidak melalaikan tanggung jawab.’” Malik berkata, Yaha bin Sa’id berkata, Sa’id bin al-Musayyib berkata: “Tidak sampai Dzulhijjah berlalu, Umar radhiyallahu ‘anhu pun terbunuh.”[9] Wallahua’lam
Karangasem, 5 November 2024
Irfan Nugroho (Semoga Allah mengampuni, merahmati, dan menempatkan ibunya di surga. Aamiin)
Catatan Kaki:
[1] Al-Majmu lin Nawawi: 5/128, Mugnil Muhtaj lil Khatib Asy-Syarbini: 1/329
[2] ‘Uddatush Shabirin li Ibnil Qayyim: 271
[3] Fatwa Nur Alad Darbi li Ibni Baz: 13/428
[4] Watsukliyah bermakna:
هُوَ كَلَامٌ كَانَ يَجْرِي عَلَى أَلْسِنَتِهِمْ عِنْدَ حُصُولِ الْمُصِيبَةِ أَوْ تَوَقُّعِهَا
Ini adalah ungkapan yang biasa mereka ucapkan ketika terjadi musibah atau saat memprediksi musibah, (Fathul Bari: 10/125).
[5] Hasiyah Ibni Abidin: 6/419, Hasiyah At-Thahthawi: 415
[6] Syarh Az-Zarqani ala Mukhtashar Khalil: 2/166
[7] Al-Majmu lin Nawawi: 5/106, Mugnil Muhtaj lil Khatib Asy-Syarbini: 1/357
[8] Al-Furu’ li Ibni Muflih: 3/243, Kasyaful Qina lil Bahuti: 2/80
[9] Diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwaththa’ (2/824), Ibnu Sa’ad dalam At-Tabaqat (3/255), Al-Fakihi dalam Akhbar Makkah (1831), dan Ibnu Abi Dunya dalam Mujabu ad-Da’wah (24). Dinyatakan sahih oleh Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (23/92). Al-Bushiri berkata dalam Ithaf al-Khiyara al-Mahra (4/250): “Sanadnya perawinya adalah perawi-perawi sahih.”