Pembaca rahimakumullah, ikhtilaf harus dipahami dan disikapi dengan baik dan benar. Berikut adalah terjemahan dan ringkasan dari Al-Qowaidu Adz-Dzahabiyah fi Adab Al-Khilaf karya Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq. Semoga bermanfaat!
Ini adalah prinsip-prinsip yang saya kumpulkan mengenai adab yang wajib bagi umat Islam ketika terjadi perbedaan pendapat, sesuai dengan firman Allah, Yang Maha Suci dan Maha Tinggi:
Dan apa saja yang kamu perselisihkan tentang sesuatu, maka putusannya (terserah) kepada Allah, (QS Asy-Syura: 10).
Juga berdasarkan firmanNya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya,(QS An-Nisa: 59).
Juga berdasarkan firmanNya:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, (QS Ali Imran: 103).
1 – Ada tiga hal yang tidak mungkin mengalami kekeliruan
Apa tiga hal tersebut? Syaikh berkata:
Kitab Allah, Sunnah Nabi-Nya (saw), dan Ijma’ (kesepakatan) para sahabat, dan selain itu tidaklah ma’shum (terjaga dari kesalahan).
Konsekuensi dari keyakinan ini adalah:
A – Tidak boleh bagi siapa pun untuk keluar dari apa yang telah dipastikan maknanya dari Kitab Allah, Sunnah Rasul-Nya, dan apa yang diketahui dengan yakin bahwa umat telah sepakat atasnya.
B – Makna yang bersifat dugaan dari Al-Qur’an dan Sunnah dikembalikan kepada yang pasti, dan yang samar dikembalikan kepada yang jelas. Hal ini berdasarkan firman Allah:
Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepadamu. Di antara isinya ada ayat-ayat yang muhkamat (jelas), itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat (samar-samar). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal, (QS Ali Imran:7).
C – Apa yang diperselisihkan oleh umat Islam harus dikembalikan perbedaannya kepada firman Allah dan firman Rasul-Nya, sesuai dengan firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya,(QS An-Nisa: 59).
2 – Menolak hal2 yg sudah diketahui secara pasti dalam agama adalah kekufuran
Tidak boleh ada perbedaan pendapat dalam hukum-hukum yang sudah pasti dalam Islam, dan yang sudah pasti adalah yang disepakati secara ijma’ tanpa ada keraguan.[1]
3 – Perbedaan pendapat dalam perkara ijtihadiyah[2] hukumnya boleh
Tidak boleh menghakimi siapa pun yang mengikuti salah satu pendapat tersebut dengan kekafiran, kefasikan, atau bid’ah.
Bagi orang yang mencapai tingkat pengkajian dan ijtihad dapat memilih pendapat yang dianggap benar, dan bagi yang memahami dalil-dalil dan prinsip-prinsip fiqih dapat menilai mana pendapat yang lebih kuat. Tidak masalah untuk mengatakan ini benar dan itu salah, serta menyatakan bahwa ini lebih kuat dan itu lebih lemah.
4 – Terjadinya perbedaan pendapat kadang-kadang menjadi rahmat dan kelapangan
Perbedaan pendapat dalam perkara ijtihad yang bersifat dugaan bisa terjadi di kalangan sahabat, tabi’in, imam, dan semua ulama serta orang-orang mulia dari umat ini.
Hal ini karena merupakan sifat dari yang tidak ma’shum, dan tidak ada yang ma’shum kecuali Rasulullah ﷺ.
Perbedaan pendapat yang diperbolehkan atau yang sah ini telah dinyatakan oleh banyak ulama salaf bahwa di dalamnya terdapat berbagai jenis rahmat bagi umat ini:
A – Rahmat dalam tidak adanya hukuman
Allah ta’ala berfirman:
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan, (QS Al-Baqarah: 286).
B – Rahmat dan kelapangan dalam diperbolehkannya mengambil pendapat ijtihadi
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
Kesepakatan mereka (para ulama) adalah hujjah yang pasti dan perbedaan pendapat mereka adalah rahmat yang luas.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
Seorang pria menulis sebuah buku tentang perbedaan pendapat, lalu Ahmad berkata: Jangan menyebutnya buku perbedaan pendapat, tetapi sebutlah buku kelapangan.
5 – Kita harus mengikuti apa yang menurut kita benar
Syaikh berkata:
Apa yang diperselisihkan oleh para sahabat dan imam-imam Islam setelah mereka, dan kemudian diketahui bahwa teksnya bertentangan,[3] maka kita harus mengikuti apa yang terbukti sesuai dengan dalil, dan tidak menuduh para pendahulu dengan kekafiran, kefasikan, atau bid’ah.
6 – Sebab-sebab perbedaan pendapat yang dapat dimaafkan
Apa saja contoh sebab perbedaan pendapat yang dapat dimaafkan? Syaikh berkata:
A – Pengetahuan sebagian mereka tentang dalil, ketidaktahuan sebagian lainnya,
B – Perbedaan pendapat tentang keabsahan dalil, kelemahannya
C – Perbedaan dalam menentukan apakah itu merupakan teks yang jelas tentang masalah atau hanya penafsiran,
D – Perbedaan pemahaman mereka tentang teks
E – Perbedaan mereka dalam mengutamakan sebagian dari makna teks di atas yang lain.[4]
7 – Sebab-sebab perbedaan pendapat yang tidak dapat dimaafkan
Apa saja sebab perbedaan pendapat yang tidak dapat dimaafkan? Syaikh berkata:
Hasad, kedengkian, riya, dan kemenangan diri sendiri.
Syaikh berkata:
Barang siapa yang memiliki motivasi ini dalam perbedaan pendapat, maka ia akan kehilangan taufik dan keadilan, dan tidak akan mendapatkan petunjuk kecuali untuk perselisihan dan perpecahan.
Allah ta’ala berfirman:
Dan tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang-orang yang telah diberi Kitab itu, setelah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata, karena kedengkian di antara mereka, (QS Al-Baqarah: 213).
8 – Wajib menaati imam dalam urusan umum meskipun dia berbuat salah selama tidak keluar dari Islam
Syaikh berkata:
Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah salat di belakang imam-imam yang zalim dan berjihad bersama mereka, meskipun mereka fasik, berpuasa dengan puasa mereka, berhaji dengan haji mereka, dan memberikan zakat kepada mereka.[5]
9 – Tidak boleh bagi imam untuk melarang penyebaran ilmu yang bertentangan dengannya
Syaikh berkata:
Tidak boleh bagi imam kaum Muslimin untuk melarang orang-orang menyebarkan ilmu yang bertentangan dengan pendapatnya atau mazhabnya.[6]
10 – Setiap Muslim berhak, bahkan wajib, mengingkari kemungkaran dan memerintahkan kebaikan
Syaikh berkata:
Ketika amar ma’ruf nahi munkar diwajibkan oleh Allah atas setiap Muslim, maka wajib bagi pemimpin untuk membiarkan Muslim melakukannya kecuali dalam hal-hal yang menjadi haknya seperti menegakkan hudud dan ta’zir.[7]
Wallahua’lam
Karangasem, 13 Januari 2025
Irfan Nugroho (Semoga Allah mengampuni, merahmati, dan memberkahi dirinya, keluarganya, dan orang tuanya. Aamiin)
CATATAN KAKI
[1] Hal-hal yang diketahui secara pasti dalam agama seperti iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, takdir baik dan buruk dari Allah Ta’ala, bahwa Al-Qur’an yang ditulis oleh para sahabat dan dibaca oleh semua umat Islam hingga hari ini adalah Kitab Allah yang tidak berkurang sedikit pun, shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadan, kewajiban zakat dan haji, haramnya riba, zina, khamr, dan perbuatan keji lainnya yang diketahui secara pasti dalam agama bahwa itu adalah bagian dari Islam. Semua itu tidak boleh ada perbedaan pendapat di antara umat, dan menolak hal-hal tersebut adalah kekufuran.
[2] Contoh perkara ijtihadiyah, menurut beliau, di antaranya, “Nabi ﷺ melihat Tuhannya pada malam Isra Mi’raj, membaca Al-Fatihah di belakang imam dalam shalat jahr, melafalkan Bismillah dalam shalat dengan keras atau pelan, dan menyempurnakan shalat saat bepergian.”
[3] Contohnya: meninggalkan shalat bagi orang junub yang tidak menemukan air sampai ia menemukan air, menukar dinar dengan dua dinar, nikah mut’ah, larangan tamattu’ dalam haji, kebolehan kadar yang tidak memabukkan dari khamr anggur, dan banyak lagi masalah serupa.
[4] Seperti mereka yang mengutamakan makna tersirat daripada makna lahiriah, dan ada pula mereka yang mengutamakan makna lahiriah daripada makna tersirat.
[5] Dalam shalat, umat Islam shalat di belakang orang-orang yang mengepung Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, dan para salaf shalat di belakang Al-Hajjaj, Al-Walid, dan Al-Mukhtar bin Abi Ubaid. Nabi ﷺ memerintahkan untuk shalat di belakang para pemimpin meskipun mereka menunda shalat dari waktunya. Dalam zakat, Nabi ﷺ bersabda:
Berikan hak mereka kepada mereka, dan mintalah hak kalian kepada Allah, (Muttafaq ‘alaih).
[6] Sebaliknya, ia harus membiarkan setiap Muslim dengan apa yang mereka yakini, sebagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu membiarkan Ammar dan lainnya menyebutkan apa yang mereka riwayatkan dari Rasulullah radhiyallahu ‘anhu tentang tayammum.
[7] Adapun yang berada di bawah kekuasaan Muslim, ini adalah haknya seperti mendidik istri dan anak dalam batas-batas yang ditetapkan oleh Allah dalam hal itu, serta mengingkari kemungkaran dengan lisan, meskipun itu adalah kemungkaran dari imam itu sendiri, sesuai dengan firman Allah Ta’ala:
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab, mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat oleh semua (makhluk) yang dapat melaknat, kecuali mereka yang telah bertobat, memperbaiki diri, dan menjelaskan (kebenaran), maka mereka itulah yang Aku terima tobatnya, dan Akulah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang,” (QS Al-Baqarah: 159-160).