Sabar Terhadap Ujian Lisan (Celaan, Hujatan, Hinaan)
Oleh Ust. Eman Badru Tamam
Hadist ini menceritakan tentang salah satu fragmen dalam ekspedisi jihad Perang Hunain. Perang Hunain sendiri terjadi sekitar akhir tahun delapan Hijriyah, menjelang tahun Sembilan Hijriyah setelah Fathul Mekkah.
Perang Hunain merupakan sebuah Ghazwah, yakni perang yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Muhammad salallahu’alaihi wasalam, karena memang ada beberapa peperangan yang tidak dipimpin oleh Rasulullah secara langsung.
Saat itu, pasukan kaum Muslimin dimenangkan oleh Allah dengan kemenangan yang besar, sehingga kaum Muslimin mendapat banyak sekali harta rampasan perang (Ghanimah).
Oleh karena saat itu posisi Islam belumlah kuat, maka Rasulullah – berdasar wahyu dari Allah dan mengingat kapasitasnya sebagai Panglima Perang dan utusan Allah – memprioritaskan pembagian ghaniman terhadap kaum bangsawan Arab yang dulunya adalah pemuka-pemuka kaum kafir di Hunain; diantaranya adalah Aqra bin Habist dan Uyainah bin Hishn.
Keduanya adalah pemuka bangsawan Arab yang baru saja menyatakan melepas diri dari kekafiran mereka, kemudian memutuskan masuk Islam.
Oleh karena itu, Rasulullah memberi keduanya dengan 100 ekor unta dengan tujuan untuk memantapkan hati orang yang baru masuk Islam tersebut.
Namun di sisi lain, ada seorang sahabat yang ternyata tidak terima dengan pembagian ghanimah seperti yang Rasulullah lakukan saat itu. Hingga kemudian ia berkata, “Demi Allah, pembagian semacam ini sama sekali tidak ada keadilan di dalamnya dan sepertinya tidak diniatkan untuk mencari ridha Allah.”
Dari pernyataan sahabat ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada indikasi dalam sahabat tersebut rasa tidak ikhlas dalam berjihad, dan ada indikasi bahwa sahabat ini hendak mencari dunia dari partisipasinya dalam perang Hunain.
Oleh karena ada rasa tidak ikhlas tersebut, maka kemudian syaithan mudah menghasut orang tersebut untuk mencela Rasulullah dengan menyebut Rasulullah telah berbuat tidak adil dalam pembagian harta rampasan perang Hunain.
Mendengar hal tersebut, sahabat Ibnu Mas’ud tidak lantas mengambil reaksi terhadap orang tersebut, melainkan melaporkannya kepada Rasulullah. Bayangkan jika yang mendengar celaan ini adalah Umar Ibn Khattab, maka mungkin orang ini akan langsung dihajar oleh sahabat Umar al-Faruq.
Ketika mendengar laporan dari Ibnu Mas’ud, wajah Rasulullah memerah, lantaran menahan amarah. Hingga kemudian beliau mengingat-ingat tentang pedihnya ujian lisan yang diberikan kepada Nabi Musa ketika menghadapi kaum paling menjengkelkan sepanjang sejarah, yakni Bani Israil.
“Semoga Allah merahmati Nabi Musa. Ia telah disakiti dengan cara yang lebih berat daripada (yang aku rasakan saat ini), tetapi ia bersabar.”
Pelajaran dari hadist ini
Ada beberapa pelajaran penting yang bisa diambil dari hadist tersebut di atas.
1. Semua yang dilakukan Rasulullah adalah benar
Rasulullah selalu bertindak berdasarkan wahyu dari Allah. Sehingga, Rasulullah tidak mungkin berbuat sesuatu berdasarkan hawa nafsunya.
Oleh karena itu, kebijakan Rasulullah untuk memberikan ghanimah yang besar kepada bangsawan Arab saat itu dikarenakan adanya tujuan untuk memantapkan hati para muallaf tersebut untuk menetapi Islam.
Hal itu mengingat kekuatan Islam saat itu belum terlalu besar, sehingga perlu ada upaya untuk menarik hati para bangsawan Arab saat itu untuk masuk Islam, dan membimbingnya dengan bimbingan Islam.
Hanya saja, hal tersebut tidak lagi berlaku ketika Islam telah mulia dan kuat, seperti ketika masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Sidiq.
2. Larangan Mencela Ulama Apalagi Rasulullah
Akhir-akhir ini, banyak para penuntut ilmu yang masih muda, yang semangatnya masih menggebu-gebu sehingga sering mencela ulama.
Para pemuda ini, yang dulunya ahli maksiat, ketika mendapat hidayah Islam, namun justru diarahkan pada kajian-kajian yang isinya didominasi dengan mengkritik, mencela, mengumpat, dan menghina beberapa ulama.
Maka hal ini adalah sebuah kawajaran. Jangankan ulama di masa sekarang, Rasulullah pun tidak lepas dari serangan lisan para pengumpat, bahkan dari kalangan kaum Muslimin itu sendiri seperti yang tertulis pada hadist di atas.
Maka sungguh, ada pelajaran penting dari hadist ini bahwa hendaknya seorang Muslim tidak mencela sesama Muslim, apalagi mencela seorang ulama.
Bukankah ulama adalah pemegang panji-panji Islam, hingga kemudian pantaskah kita menghina, mencela mereka yang memegang panji-panji tersebut? Bagaimana perasaan para musuh-musuh Islam jika memang sesama Muslim saja saling menghujat, saling mencela?
Bukankah daging seorang ulama adalah beracun? Dan bukankah meng-ghibah saudara sesama Muslim sama dengan memakan bangkai mayat saudara kita? Ingatkah kita?
Memang benar bahwa ulama pun juga manusia, yang tidak bisa lepas dari khilaf dan salah.
Namun, apakah pantas hingga kemudian ada seorang pemuda yang baru belajar Islam, yang belum bisa menulis sebuah buku, yang belum hafal Quran, yang belum pernah terluka karena jihad membela agama Islam, kemudian mencela ulama sekelas Sayyid Quthb, Yusuf Al-Qardhawi, Usamah Bin Ladin, Abdullah Azzam, atau Abu Bakar Ba’asyir?
3. Menanyakan sesuatu pada orang yang lebih ahli
Pelajaran ini diambil dari sikap Ibnu Mas’ud yang tidak semena-mena bereaksi terhadap saudaranya sesama Muslim yang meski ikut andil dalam Perang Hunain, namun telah berbuat dzhalim dengan mencela Rasulullah.
Dengan kapasitas keilmuannya yang tinggi di kalangan sahabat yang lain, sahabat Ibnu Mas’ud tidak lantas menghukumi saudaranya ini telah murtad atau kafir lantaran menghina Rasulullah dengan mengatakan bahwa Rasulullah telah berbuat tidak adil.
Meski begitu, Ibnu Mas’ud menyadari dengan pasti bahwa ada yang lebih ahli dan lebih berilmu darinya untuk kemudian dimintai petunjuk mengenai sikap sang lelaki penghujat Rasulullah tersebut.
Dan orang itu adalah Rasulullah Muhammad salallahu ‘alaihi wasalam.
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya,” (An-Nisa: 59)
4. Sabar Terhadap Ujian Lisan (Celaan, Hujatan, Hinaan)
Salah satu konsekuensi logis dari menjadi seorang aktivis Islam adalah mendapat celaan, fitnah, dan hujatan.
Maka reaksi yang tepat terhadap hal ini adalah dengan bersabar terhadapnya, toh asalkan apa yang kita dakwahkan adalah sebuah kebenaran yang nyata.
Nabi Musa telah berjuang keras membimbing Bani Israil dari keterpurukan di bawah pemerintahan Fir’aun menuju kemuliaan di bawah ajaran tauhid yang dibawa oleh Nabi Musa.
Bani Israil diberi banyak nikmat atas doa yang disampaikan oleh Nabi Musa kepada Allah, toh meski begitu, Bani Israil tetap durhaka kepada Nabi Musa.
Namun ingat, Nabi Musa pun tetap bersabar dengan ulah umatnya saat itu; dan dari sinilah kemudian Rasulullah Muhammad salallahu ‘alaihi wasalam mengambil pelajaran ketika mendapat hujatan dari salah seorang sahabatnya yang mengatakan bahwa Rasulullah telah berlaku tidak adil dalam pembagian harta rampasan perang.
“Mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka,” (Al-An’am: 90)
Bukankah menanggapi hujatan dan celaan yang tidak membangun justru akan menghabiskan waktu dan energi untuk suatu hal yang sebenarnya tidak perlu?
Dengan bersabar menghadapi ujian seperti ini ketika berdakwah (berjihad), maka derajat seorang Muslim justru akan meningkat di sisi Allah. Selain itu, dengan sabar pula Allah akan menghapus dosa orang yang sabar.
Atau, bukankah pahala orang yang mencela atau meng-gibah justru akan diberikan pada orang-orang yang di-ghibah? Wallahu alam bish shawab.
Dengan bersabar menghadapi ujian seperti ini ketika berdakwah (berjihad), maka derajat seorang Muslim justru akan meningkat di sisi Allah. Selain itu, dengan sabar pula Allah akan menghapus dosa orang yang sabar.Atau, bukankah pahala orang yang mencela atau meng-gibah justru akan diberikan pada orang-orang yang di-ghibah? Wallahu alam bish shawab.
Dalam islam kita sangat dianjurkan untuk bersabar
. . sabar itu adalah hal yg palink sulit. smoga aja aq bisa sabar. amieeeennnnnn . .