Uncategorized
Khutbah Jumat 09 Januari 2015: Mutiara Nasehat Abu Bakar Ash-Shiddiq
Oleh Dr. Umar bin Abdullah bin Muhammad al-Muqbil
Terjemah oleh Muhammad Iqbal A. Gazali
Segala puji hanya untuk Allah Ta’ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihiwasallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.
Dia adalah khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Abdullah bin Abi Quhafah –namanya adalah Utsman- bin Amir al-Qurasyi, at-Taimy, nasabnya bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kakeknya buyutnya yang bernama Murrah.
Dilahirkan di Mekkah dan tumbuh sebagai salah seorang pemuka Quraisy, seorang saudagar kaya, ahli tentang nasab kabilah-kabilah, berita dan politik mereka, dan bangsa Arab memberinya gelar ‘Alim Quraisy’. Dia mengharamkan terhadap dirinya minuman keras di masa jahiliyah, maka dia tidak pernah meminumnya. Kemudian, di masa kenabian dan sesudahnya, dia menjadisaksi berbagai peristiwa penting, terlibat semua peperangan (bersama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) sabar menahan beban penderitaan, mengorbankan harta, dalam kitab–kitab hadits ia meriwayatkan 142 hadits. Dia yang pertama–tama mengumpulkan al-Qur`an.[1] Wafat pada sore hari di hariSelasa tanggal 22 Jumadil Akhir tahun 13 H. Masa kekhalifahannya berlangsung selama dua tahun seratus hari.
Siapa saja yang merenungkan nasehat-nasehat ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, ia akan mendapatkan mutiara nasehatnya yang bervariasi sesuai tuntutan kondisi, sebagaimana petunjuk Nabi MuhammadShallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memberi nasehat.[2]
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhumenyampaikan khuthbah kepada kaum muslimin, maka ia memuji Allah Shubhanahuwata’alladan menyanjung-Nya, kemudian ia berkata:
‘Sesungguhnya negeri Syam akan ditaklukkan untuk kalian. Kalian akan mendatangi bumi dataran tinggi, di tempat kalian diberi nikmat padanya berupa roti dan minyak zaitun, akan dibangun masjid masjid untuk kalian. Hati-hatilah, jangan sampai Allah Shubhanahu wa ta’alla mengetahui bahwa kalian mendatanginya hanya untuk melalaikan diri (dari ibadah kepada Allah ta’ala), sesungguhnya ia dibangun untuk berdzikir kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla.”
Ash-shiddiq radhiyallahu ‘anhuberkata[3]:
“Apabila suatu kaum melakukan perbuatan maksiat di hadapan orang orang yang lebih mulia dari mereka, namun mereka tidak mengingkarinya, niscaya Allah Shubhanahu wa ta’alla akan menurunkan bencana-Nya kepada mereka, kemudian –Diatidak mencabutnyadari mereka.’
Dan iaberkata –setelah memuji Allah Shubhanahu wa ta’alla dan menyanjungnya-“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian semua membaca ayat ini dan meletakkannya bukan pada tempatnya”
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْ لاَيَضُرُّكُمْ مَّنْ ضَلَّ إِذَااهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ﴾ [المائدة: 105]
Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka-Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. al-Maidah:105)
Dan sesungguhnya kami mendengar Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوْا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهَ بِعِقَابٍ » [ أخرجه فلان ]
“Sesungguhnya apabila manusia melihat orang yang zhalim dan tidak menghalanginya berbuat zhalim, hampir–hampir Allah Shubhanahu wa ta’alla menurunkan siksa-Nya secara merata.’
Apa yang disebutkan oleh ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dalam dua nasehat di atas, didukung oleh nash–nash dari al-Qur`an dan sunnah. Firman Allah Shubhanahu wa ta’alla:
﴿ لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن بَنِى إِسْرَاءِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَّكَانُوا يَعْتَدُونَ {78} كَانُوا لاَيَتَنَاهَوْنَ عَن مُّنكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ {79}﴾ [المائدة: 78-79]
Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan ‘Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. (QS. 5:78) Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (QS. al-Maidah:79)
Dalam sunan at-Tirmidzi, ia berkata: hadits hasan- dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِي لَتَأْمُرُنَّ باِلْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشِكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلاَيُسْتَجَابُ لَكُمْ » [ أخرجه الترمذي ]
“Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kamu menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang mungkar, atau segera tiba waktunya Allah Shubhanahu wa ta’alla mengirimkan siksa-Nya kepada kalian, kemudian kalian berdo’a kepada-Nya, maka do’a kamu tidak dikabulkan.’
Bahkan, di antara perumpamaan yang paling mendalam yang menjelaskan pentingnya ihtisab (amar ma’ruf nahi munkar) dan bahaya meninggalkannya atau lalai darinya adalah sabda Nabi MuhammadShallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu:
“Perumpamaan orang orang yang melaksanakan hukum hukum Allah Shubhanahu wa ta’alla dan yang terjerumus padanya, adalah seperti perumpamaan suatu kaum yang melakukan undian di dalam kapal, maka sebagian mendapat bagian di atas dan yang lain di bawah. Maka orang orang yang berada di bawah apabila mengambil air, mereka melewati yang di atas. Mereka berkata: “Jikalau kita melobangi satu lobang di bagian kita dan kita tidak mengganggu mereka yang berada di atas kita.’ Maka jika mereka (yang di atas) membiarkan mereka (yang di bawah) melakukan yang mereka kehendaki, niscaya mereka binasa semuanya, dan jika mereka menghalangi mereka, niscaya mereka semuanya selamat.’ HR. Al-Bukhari 2493.
Sesungguhnya itu sesuatu yang pasti, demi Allah, sesungguhnya kita membaca nasehat nabi ini, kemudian nasehat ash-Shiddiq, hendaknya kita segera melakukan syi’ar ihtisab menurut kadar kemampuan kita masing-masing, sehingga kita tidak binasa dan perahu masyarakat kita tidak tenggelam.
Dari Zaid bin Aslam, dari bapaknya, ia berkata[4]: ‘Aku melihat Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu memegang lisannya seraya berkata: ‘Ini membawaku ke berbagai tempat.’Allah Maha Besar!! Ini adalah ucapan ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dari lisannya, maka apakah yang kita katakan? Kamu bisa membayangkan, wahai para pembaca, apakah beberapa kalimat yang dikhawatirkan oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu? Apakah penyebab ia mengungkapkan kata-kata ini? Sesungguhnya ia adalah rasa takut kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, yang membuat dia berpikir dalam kata-kata biasa yang dikatakannya dan tidak diperlukan, atau mengucapkan kata-kata bukan pada tempatnya namun hanya berdasarkan ijtihad dan ta’wil!
Demi Allah, kita lebih pantas dengan kalimat ini dari pada ash-Shiddiq! Kita yang lebih banyak berbicara dari pada bekerja (beramal) dan sedikit sekali selamat dari ghibah (menggunjing). Jika kita selamat darinya kita tidak selamat dari mendengarnya dan berdiam diri darinya!
Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuberkata[5]: ‘Sampai kabar kepada kami bahwa apabila hari kiamat, ada yang berseru: Di manakah orang-orang yang pemaaf, maka Allah Shubhanahu wa ta’allamemberi maaf kepadanya sesuai pemberian maafnya kepada manusia.’
Sesungguhnya di antara mutiara nasehat ash-Shiddiq dalam bidang amal ibadah dalam kehidupannya adalah memberi maaf. Sesungguhnya saat ia bersumpah akan menghentikan tunjangan nafkah kepada putri bibinya Misthah bin Utsatsah radhiyallahu ‘anhu setelah ia ikut terlibat dalam peristiwa hadits ifk (berita dusta terhadap Aisyah radhiyallahu ‘anhu). Kemudian turun firman Allah ta’ala
﴿ وَلاَيَأْتَلِ أُولُوا الْفَضْلِ مِنكُمْ وَالسَّعَةِ أَن يُؤْتُوا أُوْلِى الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلاَتُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللهُ لَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴾ [النور: 22]
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu ? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. an-Nur:22)
Ia tidak mengungkapkan apa–apa selain: ‘Tentu, demi Allah.” Kemudian ia kembali memberi tunjangan nafkah kepada Misthah.Ketika engkau merenungkan sikap ini, sesungguhnya engkau akan merasakan sikap yang agung terhadap ucapannya ini.Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berkata[6]: ‘Wahai sekalian manusia, perhatikanlah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallampada ahli baitnya.’
Dalam Shahihaian, darinya radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Demi Allah, sesungguhnya kerabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih kucintai dari pada kerabatku sendiri.’[7]Ini adalah ungkapannya dalam memberi nasehat kepada manusia, mengingatkan mereka di atas minbar dan dalam berbagai kesempatan untuk menjelaskan kedudukan ahli bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam jiwanya, dan ia bersumpah –sedangkan dia seorang yang sangat jujur- bahwa ia menyambung silaturrahim kepada kerabat Nabi MuhammadShallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dicintainya dari pada kerabatnya sendiri, maka di manakah orang yang mencelanya dan menuduhnya memusuhi Ahli Bait yang suci lagi mulia?
Dan dia berkata[8]: ‘Manusia yang paling taat kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah yang paling benci terhadap maksiat.’Dan ini adalah makna yang sangat indah, sesungguhnya banyak orang yang melakukan sejumlah ketaatan, bahkan ia banyak sekali ibadah, akan ia lemah dalam melakukan perlawanan saat terjadi sebab-sebab maksiat. Maka siapa yang seperti itu, maka ketaatannya kurang, kewaliannya dalam hal itu tercemar.
Ini adalah makna ucapan Sahal bin Abdullah at-Tustari: ‘Amal–amal kebaikan dilakukan oleh orang yang shalih dan fasik, dan tidak menjauhi perbuatan maksiat kecuali orang yang shiddiq.’[9]Dan diaberkata dalam khuthbahnya[10]:“Ketahuilah, sesungguhnya orang yang paling cerdas adalah taqwa dan sesungguhnya orang yang paling bodoh adalah fasik, sesungguhnya orang yang paling kuat darimu di sisiku adalah orang lemah sehingga aku mengambil untuknya dengan haknya, dan sesungguhnya orang yang paling lemah darimu di sisiku adalah orang kuat sehingga aku mengambil yang hak darinya.
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku hanya mengikuti dan bukan melakukan sesuatu yang baru (bid’ah), jika aku baik maka bantulah aku dan jika aku menyimpang maka luruskanlah.’Dan ia berkata: ‘Kami mendapatkan kemuliaan dalam taqwa, kaya dalam keyakinan, dan kemuliaan dalam sifat tawadhu’ (rendah hati).’[11]
Dan kita tutup dengan satu do’a dari do’a do’anya, di mana ia berkata: ‘Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepadamu yang ia baik untuk kami pada akhirnya merupakan kebaikan, ya Allah, jadikanlah kebaikan terakhir yang engkau berikan kepada kami adalah keridhaan Engkau dan derajat yang tinggi dari surga yang penuh kenikmatan.’[12]
[1]Tarikh Islam 2/68
[2]Zuhud, karya Imam Ahmad, hal 93
[3]Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 10/50
[4]Zuhud, hal. 90
[5]Musnad ash-Shiddiq hal 73, karya Abu Bakar al-Maruzi.
[6]Mushannaf ibnu Abi Syaibah 6/374
[7]Al-Bukhari 3810 dan Muslim 1759
[8]Jamharah Khuthab Arab 1/446
[9]Hilyatul Auliya 13/211
[10]Ath-Thabaqah Kubra 3/183
[11]Ihya 3/343.
[12]Zuhud, karya imam Ahmad bin Hanbal hal. 93.