Bolehkah Bersedekah/ Berzakat kepada Keluarga Sendiri?
“Dari Abu Yazid Ma’an bin Yazid bin Al-Akhnas Radhiyallahu Anhum, ia dan ayahnya dan kakeknya termasuk sabahat Nabi. Ia berkata, “Ayahky Yazid biasa mengeluarkan beberapa dinar untuk disedekahkan, dan dipercayakan kepada seseorang di masjid untuk dibagikan. Aku pergi ke masjid lalu aku ambil dinar itu dan aku tunjukkan pada ayahku. Kemudian ayahku berkata, “Demi Allah, dinar itu tidak aku sediakan untukmu.” Peristiwa itu kemudian aku sampaikan kepada Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam, maka beliau bersabda, “Bagimu apa yang kamu niarkan, yaa Yazid, dan bagimu apa yang kamu ambil yaa Ma’an,” (HR Bukhari).
Penjelasan oleh Sheikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin
Penulis, Imam An-Nawawi, meriwayatkan hadist ini dari Ma’an bin Yazid dan ayahnya Radhiyallahu Anhum. Yazid memberikan beberapa uang dirham kepada seseorang di masjid agar disedekahkan kepada orang-orang miskin. Lalu anaknya, “Ma’an, datang untuk mengambilnya. Mungkin orang yang dititipi uang itu tidak tahu bahwa Ma’an adalah anak Yazid, maka dia pun memberinya karena menganggap termasuk orang yang berhak menerimanya.
Peristiwa itu kemudian sampai kepada Yazid (ayah Ma’an), sehingga dia berkata, “Saya tidak mau menyedekahkan uang dirham ini kepadamu.” Lalu dia pergi kepada Rasulullah dan beliau bersabda, “Bagimu apa yang kamu niatkan wahai Yazid; dan bagimu apa yang kamu ambil wahai Ma’an.”
Sabda Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam, “Bagimu apa yang kamu niatkan wahai Yazid,” menunjukkan bahwa amal perbuatan itu tergantung kepada niat. Jika seseorang berniat baik, maka dia akan mendapatkan pahala atas niatnya. Yazid tetap mendapatkan pahala sedekahnya walaupun dia tidak berniat agar uang dirham tersebut diambil anaknya. Anaknya mengambil uang itu karena dia termasuk orang yang berhak menerimanya. Uang itu bisa menjadi miliknya dan Yazid. Oleh karena itu, Nabi Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Dan bagimu apa yang kami ambil wahai Ma’an.”
Hadist ini, seperti yang disitir oleh pengarang (Imam An-Nawawi), menjadi dalil bahwa amal perbuatan itu tergantung kepada niatnya. Seseorang mendapat ganjaran berdasarkan niatnya walaupun realitas yang terjadi tidak seperti yang diniatkannya. Kaidah ini mempunyai beberapa cabang:
1. Seperti yang disebutkan para ulama, yaitu jika seseorang memberikan zakat kepada orang yang dikira berhak menerima zakat kemudian dia mengetahui bahwa ternyata orang tersebut tidak berhak menerima zakat karena kaya, maka zakatnya tetap sah dan dia terlepas dari tanggungjawab membayar zakat. Hal ini dikarenakan dia telah berniat memberikan zakatnya kepada orang yang berhak menerimanya. Jika seseorang berniat, maka dia akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya.
2. Jika seseorang mewakafkah sebuah rumah kecil seraya berkata, “Saya wakafkan rumahku yang besar ini,” tetapi di dalam hantinya tidak berniat seperti itu, maka wakafnya sesuai dengan niatnya, bukan berdasarkan apa yang diucapkan oleh lisannya.
3. Jika ada orang bodoh yang tidak mengetahui perbedaan antara umrah dan haji, lalu dia melaksanakan ibadah haji bersama manusia dengan berkata, “Labbaika hajjan,” padahal dia ingin mengerjakan umrah karena akan mengerjakan haji Tamattu’, maka dia akan mendapatkan pahala sesuai dengan niatnya, selama tujuannya adalah melaksanakan umrah. Walaupun dia mengatakan “Labbaika hajjan” bersama manusia. Dia tetap mendapatkan pahala atas niatnya; kesalahannya dalam melafalkan niat dengan lisannya tidak merusak niatnya.
4. Jika seorang suami berkata kepada istrinya, “Kamu bebas,” maksudnya bebas dari ikatan tali, bukan dalam arti bebas dari ikatan pernikahan, maka dia dihukumi berdasarkan niatnya sehingga istrinya tertalak.
Yang jelas, hadist ini memiliki faidah yang banyak sekali dan cabang yang menyebar dalam bab-bab fiqih. Di antara faidah tersebut adalah diperbolehkan bagi seseorang untuk bersedekah kepada anaknya, begitu juga sebaliknya.
Dalilnya dalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud ketika berkata kepada istrinya yang ingin bersedekah, “Suami dan anakmu lebih berhak daripada orang yang akan kamu beri sedekah.”
Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam memerintahkan agar bersedekah dan menganjurkannya. Anjuran tersebut mendorong Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud, untuk bersedekah dari hartanya. Kemudian, Ibnu Mas’ud berkata bahwa dia dan anaknya lebih berhak menerima sedekah dari Zainab tersebut dikarenakan dia adalah orang yang fakir. Akan tetapi, Zainab menolak seraya berkata, “Tidak, saya bertanya terlebih dahulu kepada Rasulullah.” Setelah itu, dia pun bertanya kepada Nabi Shalallahu’alaihi Wasallam dan beliau bersabda, “Abdullah benar, suami dan anakmu lebih berhak daripada kamu sedekahkan harta itu kepada mereka (fakir miskin yang bukan keluarga –edt).”
Faidah lainnya dari hadist ini adalah bahwa seseorang boleh memberikan zakatnya kepada anaknya, dengan syarat jangan sampai hal itu menggugurkan tanggungjawab terhadapnya.
Misalnya, seseorang ingin memberikan zakat kepada anaknya supaya nafkah yang diberikan kepadanya berkurang. Tindakan seperti itu tidak boleh karena dengan memberi zakat itu dia ingin menggugurkan tanggungjawabnya memberi nafkah.
Adapun jika dia memberi zakat kepada anaknya supaya si anak dapat membayar utang, maka itu boleh-boleh saja. Misalnya, seorang anak mengalami kecelakaan dan si ayah memberikan zakatnya kepada si anak untuk membayar dendanya, hal semacam itu tidak apa-apa dan diperbolehkan dalam berzakat. Hal ini dikarenakan si anak adalah orang yang paling dekat hubungannya dengan si ayah. Apa yang dilakukannya itu tidak bertujuan untuk menggugurkan tanggungjawabnya tetapi bertujuang untuk membebaskan tanggungjawab anaknya. Wallahu’alam bish shawwab.