Khutbah
Khutbah Jumat: Pengaruh Dosa dan Maksiat bagi Kehidupan Seorang Hamba
إِنَّ الحَمْدَ ِللهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أنْفُسِنَا وَسَيِّئاَتِ أعْمَالِنا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِياً مُرْشِدًا، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه، بَلَّغَ الرِّسَالَةَ، وَأدَّى الأمَانَةَ، وَنَصَحَ الأمَّة، وَجَاهَدَ فِى اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ حَتىَّ أتَاهُ اليَقِيْن. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسلم وَبَارك عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمّدَ، وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهمْ بِإحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّينِ،
أمَّا بَعْدُ، فَياَ عِباَدَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قال تعالى يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ (١٠٢)
Kaum Muslimin Sidang Jum’at Rahimakumullah..
Marilah kita jadikan pertemuan kita di tempat yang mulia ini, di hari yang mulia ini, dan di waktu yang mulia ini, sebagai penumbuh dan penambah iman dan takwa kita kepada Allah Ta’ala. Karena iman dan takwa adalah sebaik-baik bekal kita untuk mengharungi kehidupan dunia ini sebelum kehidupan akhirat kelak. Firman Allah,
وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰۚ وَٱتَّقُونِ يَـٰٓأُوْلِى ٱلۡأَلۡبَـٰبِ (١٩٧)
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa” (Al-Baqarah: 197)
Kaum Muslimin Sidang Jum’at Rahimakumullah…
Sudah menjadi ketentuan di dalam kehidupan, bahwa kita sebagai makhluk diberikan dua potensi oleh Sang Khaliq, yaitu potensi fujur (kecenderungan berbuat maksiat dan dosa) dan potensi takwa. Dua keniscayaan yang sangat berpengaruh terhadap gerak dan langkah kita, terhina dalam kubangan dosa karena fujur yang terpelihara di dalam diri kita, atau kebahagiaan yang tiada tara dan tiada hingga karena takwa yang senantiasa terjaga dalam jiwa. Begitulah manusia dengan fitrahnya.
Potensi yang terdapat pada diri seorang hamba itulah yang kemudian berkembang dari hari ke hari, mulai dari perkembangan pada individu maupun perkembangan secara sosial. Bersyukurlah kita, apabila yang berkembang di dalam diri setiap individu adalah ketakwaan yang akan berpengaruh positif bagi kehidupan.
Sebaliknya, hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla kita mampu berlindung ketika yang berkembang pada diri setiap individu adalah sifat fujur yang akan tampak melalui kemaksiatan-kemaksiatan yang menodai kehidupan kita. Karena sesungguhnya kemaksiatan itu hanya akan memurukkan kita ke dalam lembah kahinaan dan kenistaan. Ia akan menjadikan kita menjadi sesosok hamba yang tidak berharga di hadapan Sang Khaliq maupun makhluk. Kemaksiatan juga yang akan memporak-porandakan kehidupan yang semestinya kita hiasi dengan ketakwaan.
Implikasi dari kemaksiatan yang dilakukan dalam kehidupan sesungguhnya akan sangat berpengaruh dalam keseharian kita, baik pengaruh yang dirasakan oleh individu secara langsung maupun pengaruh di tengah kehidupan. Ada banyak pengaruh yang cenderung dirasakan oleh mereka yang membiasakan dirinya larut dalam kemaksiatan. Pengaruh ketika mereka dikucilkan di tengah-tengah lingkungan dan pengaruh ketika mereka menghadapi konflik dalam bathin mereka karena keringnya ruh interaksi dengan Rabb-nya. Begitulah kemaksiatan berpengaruh dalam kehidupan. Dimulai dari kerugian tidak mendapat ilmu, tidak mendapat rezeki, kerisauan dan kesepian hati, kegelapan di dalam hati, melemahkan hati dan badan, mengurangi umur dan mengikis berkah, dan yang paling jelas tampak pada diri seorang pelaku maksiat adalah kehilangan ketaatan yang membuat mereka lupa dengan posisinya sebagai makhluk di sisi Khaliq-nya. Jika kondisinya demikian, maka kehancuran dan kebinasaan lebih dekat kepada dirinya daripada tangan dan mulutnya sendiri.
Hadirin Rahimakumullah…
Akibat dari maksiat sesungguhnya menjadi sebuah momok yang menakutkan bagi seorang hamba, namun kenikmatan sesaat dalam melakukan kemaksiatan kadang menjadikan pelaku maksiat terbuai dan lalai dalam kehidupannya. Hal yang paling utama digerogoti oleh kemaksiatan adalah keimanan. Keimanan akan menurun bahkan hilang sama sekali disebabkan oleh kemaksiatan. Ketakutan terhadap ancaman-ancaman Allah hilang seketika dan berganti dengan pesona-pesona kenikmatan dunia yang menjadikan mereka menjadi makhluk hina. Tidak hanya cukup sampai di situ, tetapi Allah melaknat mereka dengan kematian hati mereka. Apalah artinya hidup ini, jika kita hanya menjadi seonggok daging yang berjalan di permukaan bumi ini dengan ketiadaan iman dan matinya hati menjadi keras membatu. Allah berfirman,
فَبِمَا نَقۡضِہِم مِّيثَـٰقَهُمۡ لَعَنَّـٰهُمۡ وَجَعَلۡنَا قُلُوبَهُمۡ قَـٰسِيَةً۬ۖ يُحَرِّفُونَ ٱلۡڪَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِۦۙ وَنَسُواْ حَظًّ۬ا مِّمَّا ذُكِّرُواْ بِهِۦۚ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَىٰ خَآٮِٕنَةٍ۬ مِّنۡہُمۡ إِلَّا قَلِيلاً۬ مِّنۡہُمۡۖ فَٱعۡفُ عَنۡہُمۡ وَٱصۡفَحۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
“Tetapi mereka melanggar janjinya, maka kami melaknat mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah firman Allah dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka. Engkau (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sekelompok kecil di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka. Sungguh menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Maa’idah: 13)
Hadirin Rahimakumullah…
Sesungguhnya kerasnya hati menjadi keras membatu merupakan implikasi dari kekotoran hati para pelaku maksiat. Kekotoran hati itulah yang kemudian menjadikan mereka tidak lagi mengenal dan menyeru kepada kebaikan dan tidak pula menjadikan mereka mengingkari kemungkaran. Karena itu, Allah memberikan hukuman atas kelupaan mereka dengan dua hukuman. Pertama, Allah melupakan mereka. Kedua, Allah menjadikan mereka lupa diri.
Allah melupakan mereka berarti Allah membiarkannya, meninggalkannya sendirian, dan menyia-nyiakannya. Jika kondisinya demikian, maka kehancuran dan kebinasaan lebih dekat kepada dirinya daripada tangan dan mulutnya sendiri. Sedangkan kelupaannya kepada dirinya sendiri berarti ia melupakan bagian-bagiannya atau hak-hak yang seharusnya ia raih. Hak-hak itu adalah bagian-bagian yang tinggi, faktor-faktor kebahagiaannya, kebaikan, dan kepentingan-kepentingannya, dan semua yang menjadi penyempurna dan pelengkap hidupnya di dunia dan akhirat lalu melupakan semua itu. Ia tidak lagi peduli dan ingat dengan faktor-faktor tersebut atau mengalihkan perhatian darinya. Akibatnya ia tak lagi senang dengan semua bagian kebaikan tersebut.
Oleh karena ia tidak memedulikan semua kebaikan tersebut, maka ia tidak pernah bermaksud melakukan semua itu atau tidak mendulukannya. Salah satu contoh makna lupa diri adalah ia melupakan aib, kekurangan dan penyakit pada dirinya. Akibatnya tak terlintas olehnya untuk memperbaiki atau menghilangkan hAl-hal tersebut. Ia juga lupa dengan penyakit-penyakit hatinya. Karena itu tak terbersit dalam dirinya untuk mengobati atau berusaha menghilangkannya. Padahal ia sakit dan terpenjara yang akan mengantarkannya kepada kebinasaan dan kehancuran.
Hadirin Rahimakumullah…
Setelah Allah mencabut keimanan dari para pelaku maksiat Allah juga dengan mudah akan menutup hati-hati mereka. Padahal kekuatan seorang mukmin terpancar dari kekuatan hatinya. Jika hatinya kuat maka kuatlah badannya. Tapi bagi pelaku maksiat, meskipun badannya kuat, sesungguhnya dia sangat lemah jika kekuatan itu sedang dia butuhkan, hingga kekuatan pada dirinya sering menipu dirinya sendiri. Lihatlah bagaimana kekuatan fisik dan hati kaum Muslimin yang telah mengalahkan kekuatan fisik bangsa Persia dan Romawi, dua kekuatan yang saling berkorelasi sehingga memunculkan akumulasi kekuatan yang didasari oleh ketaatan dan ketakwaan.
Selain dari melemahkan hati dari kebaikan, tertutupnya hati seorang hamba juga sebaliknya akan menguatkan kehendak untuk berbuat maksiat yang lain. Karena sesungguhnya kemaksiatan itu tak ubah seperti sebuah mainan baru yang menarik dan asyik bagi anak-anak, dan menjadi kebiasaan yang mengasyikkan bagi para pelakunya. Merasa enak melakukan sebuah perbuatan maksiat, sehingga terpancing untuk melakukan kemaksiatan yang lain hingga terakumulasi dalam sebuah kebiasaan yang tak tertinggalkan, dan pada akhirnya menjadi pemutus keinginan untuk bertobat. Inilah yang akan menjadi penyakit hati yang paling besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
كَلَّاۖ بَلۡۜ رَانَ عَلَىٰ قُلُوبِہِم مَّا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ
“Bahkan apa (dosa) yang selalu mereka usahakan itu telah menutupi hati-hati mereka.” (Al-Muthaffifin: 14)
Hadirin rahimakumullah…
Ada kerugian yang tidak kalah pentingnya diperhatikan oleh seorang pelaku maksiat, yakni tercabutnya ilmu dan hilangnya hafalan atau ingatan kepada pengetahuan. Ilmu adalah cahaya yang dipancarkan ke dalam hati. Namun, kemaksiatan dalam hati dapat menghalangi dan memadamkan cahaya tersebut. Ketika Imam Malik melihat kecerdasan dan daya hafal Imam Syafi’I yang luar biasa, beliau (Imam Malik) berkata, “Aku melihat Allah telah menyiratkan dan memberikan cahaya di hatimu, wahai anakku. Janganlah engkau padamkan cahaya itu dengan maksiat.”
Begitulah pesan agung sang imam kepada muridnya, pesan yang menyiratkan makna kekhawatiran yang mendalam terhadap pengaruh maksiat kepada ilmu pengetahuan. Pesan yang mengingatkan kita kepada ayat Allah,
وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِڪۡرِى فَإِنَّ لَهُ ۥ مَعِيشَةً۬ ضَنكً۬ا وَنَحۡشُرُهُ ۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِ أَعۡمَىٰ (١٢٤) قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرۡتَنِىٓ أَعۡمَىٰ وَقَدۡ كُنتُ بَصِيرً۬ا (١٢٥) قَالَ كَذَٲلِكَ أَتَتۡكَ ءَايَـٰتُنَا فَنَسِيتَہَاۖ وَكَذَٲلِكَ ٱلۡيَوۡمَ تُنسَىٰ (١٢٦) وَكَذَٲلِكَ نَجۡزِى مَنۡ أَسۡرَفَ وَلَمۡ يُؤۡمِنۢ بِـَٔايَـٰتِ رَبِّهِۦۚ وَلَعَذَابُ ٱلۡأَخِرَةِ أَشَدُّ وَأَبۡقَىٰٓ
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata, “Ya Tuhanku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulu aku dapat melihat?” Allah berfirman, “Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu mengabaikannya, jadi begitu pula pada hari ini kamu diabaikan.” dan demikianlah Kami membalas orang-orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Tuhannya. Sungguh, azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.” (Thaha: 124-127)
Demikianlah Allah Maha Teliti dengan kemaksiatan yang kita lakukan dan dengan apa yang telah dikaruniakan-Nya kepada makhluk-Nya. Tiada keraguan di sisi Allah untuk mencabut kembali apa yang telah diberikan kepada hamba-Nya, ketika sang hamba tidak lagi taat kepada-Nya, namun justru bermaksiat kepada-Nya.
Hadirin Rahimakumullah…
Telah banyak bukti yang Allah tunjukkan kepada kita akibat kemungkaran dan kemaksiatan umat terdahulu kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Kehancuran dan kebinasaan menjadi harga mati atas hukuman Allah kepada mereka. Maka sesungguhnya, tiada mustahil bagi kita di zaman sekarang ini mendapat ancaman serupa dari Allah atas kemaksiatan yang dilakukan umat pada hari ini. Hal itu disebabkan ulah umat manusia yang masih saja berbuat kemungkaran dan kemaksiatan yang menjadi warisan dari umat terdahulu yang telah mendapatkan kehancuran dan kebinasaan dari Allah.
Kita lihat saja misalnya, LGBT adalah warisan umat nabi Luth alaihissalam. Perbuatan curang dengan mengurangi takaran adalah peninggalan kaum Syu’aib alaihissalam. Kesombongan di muka bumi dan menciptakan berbagai kerusakan adalah milik Fir’aun dan kaumnya. Sedangkan takabur dan congkak merupakan warisan kaum Hud alaihissalam. Dengan demikian pelaku maksiat zaman sekarang adalah kaum yang memakai baju atau mencontoh kebiasaan umat terdahulu yang menjadi musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tidakkah kita pada zaman sekarang ini, terutama para pelaku maksiat merasa takut dengan dahsyatnya azab Allah yang telah diceritakan-Nya kepada kita di dalam Al-Qur’an yang agung melalui perantara Nabi-Nya yang dipercaya, Muhammad Salallahu ‘alaihi wasallam. Al-Qur’an surat Al-Ankabut telah bercerita kepada kita bagaimana kerasnya azab Allah bagi para pelaku maksiat dari umat terdahulu. Begitu juga dengan ayat-ayat Allah yang berada di sekeliling kita telah mengisyaratkan bahwa sesungguhnya kemaksiatan yang dilakukan oleh penduduk bumi ini telah menuai hasil dalam bentuk berbagai ujian dan cobaan dari Allah ‘Azza wa Jalla. Allah berfirman,
وَعَادً۬ا وَثَمُودَاْ وَقَد تَّبَيَّنَ لَڪُم مِّن مَّسَـٰڪِنِهِمۡۖ وَزَيَّنَ لَهُمُ ٱلشَّيۡطَـٰنُ أَعۡمَـٰلَهُمۡ فَصَدَّهُمۡ عَنِ ٱلسَّبِيلِ وَكَانُواْ مُسۡتَبۡصِرِينَ (٣٨) وَقَـٰرُونَ وَفِرۡعَوۡنَ وَهَـٰمَـٰنَۖ وَلَقَدۡ جَآءَهُم مُّوسَىٰ بِٱلۡبَيِّنَـٰتِ فَٱسۡتَڪۡبَرُواْ فِى ٱلۡأَرۡضِ وَمَا كَانُواْ سَـٰبِقِينَ (٣٩) فَكُلاًّ أَخَذۡنَا بِذَنۢبِهِۦۖ فَمِنۡهُم مَّنۡ أَرۡسَلۡنَا عَلَيۡهِ حَاصِبً۬ا وَمِنۡهُم مَّنۡ أَخَذَتۡهُ ٱلصَّيۡحَةُ وَمِنۡهُم مَّنۡ خَسَفۡنَا بِهِ ٱلۡأَرۡضَ وَمِنۡهُم مَّنۡ أَغۡرَقۡنَاۚ وَمَا ڪَانَ ٱللَّهُ لِيَظۡلِمَهُمۡ وَلَـٰكِن ڪَانُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ يَظۡلِمُونَ
“Juga ingatlah kaum ‘Ad dan Tsamud, sungguh telah nyata bagi kamu (kehancuran mereka) dari (puing-puing) tempat tinggal mereka. Syetan telah menjadikan terasa indah bagi mereka perbuatan (buruk) mereka, sehingga menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam. dan ingat pula Qorun, Fir`aun dan Haman. Sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, namun mereka berbuat kesombongan di atas bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu) Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan. dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Al-Ankabuut: 38-40)
باَرَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِى القُرآنِ الكَرِيْم، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا ِفيْهِ مِنْ الآياَتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْم، وَتَقَبَّل مِنيِّ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْم. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا، وَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْم لِي وَلَكُمْ، وَلِسَائِرِ المسْلِمِيْنَ وَ المسْلِمَات، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah Kedua
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه، أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له جل في علاه، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله ومجتباه، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه حملة دعوته وهداه. أما بعد ـ أيها المسلمون ـ اتقوا الله حق التقوى، وراقبوه في السر والنجوى
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ
Kaum Muslimin yang berbahagia…
Mendengar kisah-kisah umat yang terdahulu, kelakuan mereka yang ingkar dan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta azab dan siksa Allah yang mendera mereka, tentu kita yang memiliki iman dan yang masih dapat melihat puing-puing keruntuhan umat tersebut, pasti merasa takut dan khawatir, jangan-jangan azab dan siksa Allah turun kepada kita. Atau jangan-jangan ajal menjemput di saat kita berbuat dosa, apa yang akan kita katakana nanti dan apa yang akan kita kemukakan nanti. Oleh itu, wahai saudara-saudaraku yang mulia, sudah saatnya kita berbenah diri. Sudah waktunya kita melakukan muhasabah, untuk segera kembali kepada-Nya, memohon ampun kepada-Nya serta meminta bimbingan dan hidayah. Sesungguhnya Allah sangat senang menerima hamba-hamba-Nya yang mau kembali dan bertaubat kepada-Nya. Kenapa tidak? Bukankah Dia sendiri yang memanggil hamba-hamba-Nya untuk bertaubat?
وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kamu semuanya kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, mudah-mudahan kamu beruntung” (An-Nuur: 31)
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ تُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ تَوۡبَةً۬ نَّصُوحًا
“Wahai orang-orang yang beriman, taubatlah kamu kepada Allah dengan taubat nasuha (yang sebenar-benarnya taubat) ” (At-Tahrim: 8)
Kaum Muslimin jamaah Jum`at yang berbahagia
Seperti amAl-amal yang lain, taubat yang benar ialah yang melengkapi syarat-syaratnya. Yaitu menyesali dosa-dosa yang telah dilakukan, berniat untuk tidak kembali melakukannya selama-lamanya dan serta merta meninggalkan maksiat yang sedang dilakukan itu. Apabila berkaitan dengan hak manusia, harus meminta maaf atau mengembalikannya. Ini tentu saja di saat pintu taubat belum tertutup, tatkala maut menjemput dan di saat matahari terbit dari arah barat.
Jamaah Jum`at rahimkumullah…
Agar kita selamat dari maksiat yang berujung pada siksa Allah, baik di dunia maupun di akhirat, ada beberapa langkah yang mesti kita lakukan, antara lain:
Pertama, membiasakan diri menaati aturan Allah dan Rasul-Nya, karena inilah puncak keselamatan dan kesuksesan. Allah berfirman,
وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُ ۥ فَقَدۡ فَازَ فَوۡزًا عَظِيمًا
“Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia mendapatkan keberuntungan yang besar.” (Al-Ahzab: 71)
Kedua, selalu melakukan amar ma`ruf nahi mungkar dalam masyarakat beriman secara khusus dan umat manusia secara umum. Sebab kalau tidak, maksiat akan semakin merajalela, sukar dihilangkan. Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda,
((وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ، لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشِكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَاباً مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلاَ يُسْتَجَابُ لَكُمْ)) أخرجه الترمذي
“Demi (Dzat) yang jiwaku berada di Tangan-Nya, kamu bersungguh-sungguh melakukan amar ma`ruf dan nahi mungkar, atau Allah benar-benar ember mengirimkan kepadamu siksaan dari sisi-Nya, kemudian kamu berdo`a kepada-Nya, namun (do`a) kamu tidak dikabulkan-Nya lagi.”
Ketiga, pemerintah kaum Muslimin wajib memainkan peran utama dalam mendirikan amar ma`ruf nahi mungkar dalam masyarakat, agar mereka menjadi masyarakat yang taat dan jauh dari maksiat, khususnya maksiat yang dilakukan dengan terang-terangan. Ulil amri wajib menegakkan aturan Allah di tengah-tengah masyarakat sehingga mereka terbiasa dengan peraturan-peraturan Allah.
Kaum Muslimin rahimakumullah…
Mudah-mudahan Allah selalu memberi kita kekuatan, kemauan dan keikhlasan dalam beribadah kepada-Nya, serta jauh dari berbuat maksiat dan ingkar kepada-Nya.
. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ وَرَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْ كُلِّ صَحَابَةِ رَسُوْلِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ. وَارْضَ عَن الخُلَفَاءِ الأرْبَعَة أبُو بَكْر وَ عُمَر وَ عُثمَانَ وَ عَلِي وَ عَنْ التَّابِعِيْن وَ تاَبِعِ التَّابِعِيْن وَمَنْ تَبِعَهُم بِإحْسَانٍ إلَى يَوْمِ الدَّيْنِ وَ ارْحَمْنَا مَعَهُمْ يَا أرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَات .
رَبَّناَ اغْفِرْ لَناَ وَلإخْوَانِناَ الَّذِيْنَ سَبَقُوْناَ بِالإيْماَنِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي قُلُوبِناَ غِلا لِلَّذِيْنَ آمَنُوا رَبَّناَ إِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ.
رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوبَنَا بَعۡدَ إِذۡ هَدَيۡتَنَا وَهَبۡ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحۡمَةًۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡوَهَّابُ
رَبنَّاَ ظَلَمْناَ أنْفُسَناَ وَإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَناَ وَتَرْحَمْناَ لَنَكُوْنَنَّ مِنْ الخَاسِرِيْنَ.
اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَناَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَ الَّتِى فِيْهَا مَعَاشُنَا وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِى فِيْهَا مَعَادُنَا وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شرٍّ
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِى ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةً۬ وَفِى ٱلۡأَخِرَةِ حَسَنَةً۬ وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ
عِباَدَ اللهِ،
إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَـٰنِ وَإِيتَآىِٕ ذِى ٱلۡقُرۡبَىٰ وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنڪَرِ وَٱلۡبَغۡىِۚ يَعِظُكُمۡ لَعَلَّڪُمۡ تَذَكَّرُونَ
اُذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَاسْألُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ، وَلِذِكْر اللهِ أكْبَر، وَالله ُيَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ، أقِيْمُوْا الصَّلاَة
Sumber: MinbarIndo.com