Bacalah Quran Agar Hati Menjadi Tenang
Irfan Nugroho
Pernahkah suatu saat kita merasa hampa, meskipun kita sedang berada di tengah keramaian.
Yah, situasi seperti ini biasa muncul ketika kita sedang memikul beban berat di pundak kita lantaran satu atau lain hal permasalahan.
Tidak jarang pula kita saksikan seorang kaya raya yang jatuh stress lantaran terus menerus kepikiran dengan hal-hal yang perlu dilakukan untuk menjaga kekayaannya atau bagaimana menambah jumlah hartanya.
Di lain sisi, banyak sosok penghibur semisal artis dan penyanyi yang seolah-olah bahagia dengan senantiasa tersenyum setiap diwawancarai oleh infotainment namun suatu ketika mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka kecanduan narkotika lantaran beban pikiran mereka terhadap dunia.
Atau, bagi kita yang sudah merasa menjadi Muslim yang baik dengan senantiasa menjaga shalat lima waktu namun masih juga merasakan penat dan adanya tekanan mental yang menyesakkan di dada lantaran suatu hal.
Lantas, seperti apakah bentuk penawar yang mujarab atas kondisi kejiwaan yang seperti ini?
Satu hal yang pasti, dan inshallah ini adalah penawar yang sangat mujarab bagi tekanan, kepenatan atau pun beban pikiran yang sering melanda jiwa adalah dengan membaca Al-Quran.
Allah dalam Surah Al-Israa Ayat 82 jelas-jelas mengatakan bahwa Quran adalah ‘penawar dan rahmat’:
“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian,” (Al-Israa: 82).
Atau simak juga Surah Al-Fusilat Ayah 44 dimana Allah sekali lagi menyatakan bahwa Quran adalah ‘penawar’ bagi orang-orang yang percaya.
“Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin,” (Al-Fusilat: 44)
Jelas sekali, bukan?
Maka kemudian, kenapa kita yang saat ini sedang dihantui rasa gundah dalam jiwa tidak juga lekas berwudhu dan kembali membuka lembaran-lembaran mulia kitab Quran Anda dan mulai membacanya?
Paling tidak, inilah satu dari sekian banyak hal yang mujarab untuk menenangkan jiwa dan hati ketika sedang penat dengan urusan kerja, kuliah, keluarga, dan urusan duniawi lainnya.
Itulah kenapa saya tidak pernah melewatkan tadarus sepuluh lembar Mushaf Uthmani setiap pagi agar hati, jiwa, dan pikiran menjadi siap ketika harus ‘tercabik-cabik’ oleh urusan dunia dalam satu hari tersebut.
Tadarus sepuluh lembar mushaf Uthmani setiap hari pun ternyata tidak ada apa-apanya ketika dibandingkan dengan kebiasaan para ulama pendahulu seperti Ulama Mujahid asal Libya, yang syahid pada tahun 1930an, Omar Mukhtar yang ‘hobby’ mengkhatamkan Quran dalam tujuh hari.
Apalagi jika kita membaca sejarah mengagumkan pada sosok Imam Asy-Syafi’ie yang setiap bulan Ramadhan senantiasa mengkhatamkan Quran dua kali dalam satu hari.
Maka tidak heran jika manusia-manusia pilihan tersebut tidak pernah merasakan sesaknya mencari penghidupan dunia pangkat ataupun harta karena hati mereka senantiasa ditaburi oleh ketenangan dari bacaan Quran mereka.
Selain itu, merekalah yang kiranya benar-benar memahami kebenaran sabda Nabi Muhammad ketika mengajari Sahabat Abdullah Bin Mas’ud sebuah doa:
“Allahumma inny abduk, wa ibny abdik, wa ibny amatik, nasiyaty biyadik, madin fiyya hukmuk, adlun fiyya qada’uk, as’aluka bikul ism huwa lak, samaita bihi nafsak, aw anzaltahu fii kitabik, aw allamtahu ahadan min khalqik, aw ista’tharta bihi fii ilmil ghaibi, indik, an taj’alal qurana rabia qalbi, wa nuura sadri, wa ja’ala khusni, wa dhahaba hammy.”
“Ya Allah, aku adalah hamba-Mu, putra dari hamba-Mu yang laki-laki (bapakku), dan putra dari hamba-Mu yang perempuan (ibuku), Engkau memiliki kontrol atas diriku, keputusan-Mu atasku telah terjadi, dan takdir-Mu atasku adalah sesuatu yang adil. Maka aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama yang Engkau sematkan pada-Mu, yang termaktub dalam kitab-Mu, yang diajarkan kepada setiap hamba-Mu, atau yang tersimpan secara rahasia dalam pengetahuan-Mu mengenai yang ghaib, jadikan (bacaan) Quranku sebagai penyejuk hatiku, sebagai cahaya di dadaku, sebagai penghilang kesedihanku, dan penghapus ketakutanku,” (HR Ahmad & Abu Hatim dalam Kitab “Fawaid – A Collection of Wise Sayings” Imam Ibnu Qayyim). (16 Dzulhijjah 1432 H).