Uncategorized

Sikap Syar’i terhadap buku-buku Sayyid Qutb, ambil atau tinggalkan?


Pertanyaan:

Bolehkah kita belajar dari buku-buku Sayyid Qutb di tengah fakta yang menyebutkan bahwa beberapa ulama telah memberi peringatan terhadap buku-buku beliau?
Jawaban oleh Tim Fatwa IslamQA, di bawah pengawasan Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid
Alhamdulillah.
Ustaz Sayyid Qutb bukanlah seorang ulama, dan beliau tidak dikenal karena kontribusi beliau dalam ilmu hadis, fikih, atau tafsir. Meski demikian, beliau adalah seorang sastrawan yang mencintai Islam, membela Islam, serta mendakwahkan Islam, dan beliau meninggal karena Islam – sebagaimana yang nampak kepada kita – dan kita memohon kepada Allah agar menerima beliau sebagai syuhada. 
Beliau menulis banyak buku, yang di dalamnya terdapat kebenaran dan juga kesalahan. Tentang para ulama yang terjatuh dalam kesalahan masalah akidah, hadis atau fikih, kita tidak berpikiran bahwa ada ulama yang mengatakan haram untuk belajar dari para ulama tersebut secara keseluruhan atau menahan diri dari mengutip semua (pendapat) mereka. Itu karena pada faktanya mereka menyerukan keyakinan mereka dan mahzab fikih mereka sendiri. Inilah contoh keadilan berpikir Ahli Sunah terhadap mereka yang berbeda. 
Ustaz Sayyid Qutb tidak dikecualikan dari cara berpikir Ahli Sunah yang adil seperti di atas. Maka dari itu, kita melihat para punggawa Ahli Sunah di zaman ini mengutip beberapa dari buku-buku beliau yang sesuai dengan keyakinan dan manhaj Ahli Sunah. Sebagai contoh: 
1. 
Syekh Muhammad Nasirudin Al-Albani Rahimahullah mengutip hampir tiga halaman dari Sayyid Qutb di dalam mukadimah buku beliau, Mukhtasar Al-Aluw, diawali dengan ungkapan: “Ustaz besar Sayyid Qutb Rahimahullah…” Semata mengutip dari beliau tidaklah dianggap sama dengan memuji beliau. Akan tetapi, pujian itu memang ada dalam bentuk kata-kata yang diucapkan oleh Syekh Al-Albani Rahimahullah, seperti: “ustaz,” “besar,” dan “Rahimahullah.” 
2.
Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Rahimahullah menulis empat kutipan dari beliau di dalam bukunya “At-Tahqiqat Al-Mardiyyah fil Mahabatil Fardiyyah,” halaman 21-24. 
Kedua: 
Para ulama kita belajar keadilan berpikir seperti ini dari ajaran Islam, dan mereka mengajarkannya kepada yang lainnya, serta menyeru tentang pentingnya sikap seperti ini. 
Baru disebut adil jika kita tidak membuang semua tulisan Sayyid Qutb, meski memang ada tuntutan agama untuk menyoroti kesalahan-kesalahan beliau agar orang lain yang membacanya tidak kebingungan dengan kesalahan-kesalahan tersebut. 
Akan tetapi, perilaku seperti ini tidak hanya terbatas pada sosok Sayyid Qutb. Perilaku seperti ini juga hendaknya diterapkan kepada siapa saja yang mengikuti jalan Ahli Sunah. 
Para ulama kita telah memperingatkan tentang bahaya mengikuti seseorang dalam perkara-perkara yang dia melakukan kesalahan di dalamnya. Para ulama di Lajnah Daimah telah mengeluarkan banyak fatwa yang memperingatkan tentang berbagai kesalahan dari beberapa orang di kalangan Ahli Sunah, dengan menyatakan bahwa orang-orang tersebut telah membuat kesalahan dalam memahami akidah Islam. 
Akan tetapi, yang sangat aneh adalah bahwa kita melihat beberapa dari mereka yang mengikuti Ahli Sunah mengutip berbagai kritikan yang dibuat oleh ulama-ulama besar terhadap karya tulis Sayyid Qutb, sembari mengabaikan perkataan para ulama dan para imam (Ahli Sunah) tentang kesalahan yang diperbuat oleh para Masayekh mereka sendiri! 
Jadi, mereka menerima apa-apa yang dikatakan oleh para ulama tentang beberapa person, tetapi menolak perkataan para ulama tentang person-person yang lainnya. Siapa saja yang ingin melihat contoh sikap menuruti hawa nafsu, inilah contoh yang sempurna. 
Ada beberapa komentar dari para ulama tentang karya tulis Sayyid Qutb, dan mereka memiliki kesamaan dalam hal ini, yaitu bahwa kita boleh menerima apa-apa yang sahih dan benar, dan kita hendaknya menolak apa-apa yang tidak sahih dan tidak benar; dan ini tidak hanya berlaku untuk buku-buku Sayyid Qutb. 

“Orang ini (Sayyid Qutb) menulis buku berjudul “Al-Adalah Al-Ijtimaiyyah” (Keadilan Sosial), yang (menurut Syekh Al-Albani) tidak berharga, tetapi bukunya “Maalim Fi Thariq” (Milestones) mengandung banyak gagasan yang sangat berharga.” 

Rekaman No. 784, dari Silsilat al-Huda wa’n-Noor. 
Di rekaman yang sama, Syekh Al-Albani Rahimahullah berkata: 

“Saya yakin bahwa orang ini (Sayyid Qutb) bukanlah ulama, tetapi beliau mengucapkan kata-kata kebenaran, khususnya ketika beliau berada di dalam penjara, yang (mana kata-kata Sayyid Qutb itu mengandung) kebenaran, seolah-olah berdasarkan wahyu.” 

Akhir kutipan. 
Beliau juga berkata: 

“Orang ini bukan ulama, tetapi beliau menulis beberapa ungkapan yang bersinar dengan hidayah, dan mencerminkan ilmu, seperti di dalam frasa “Manhaj Al-Hayyat (Jalan Hidup). Saya percaya bahwa gagasan ini diadaptasi dari banyak saudara kita para Salafi, bahwa “Laa ilaaha illa Allah adalah jalan hidup.” Inilah yang saya katakan tentang beliau.” 

Akhir kutipan. 
2. Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah pernah ditanya: 
Sayyid Qutb adalah sosok yang menghasilkan banyak gagasan yang tersebar luas di dunia Islam, tetapi orang-orang berbeda (pendapat) tentang beliau. Ada beberapa yang mengagungkannya dan ada pula beberapa orang lainnya mengkritisi beliau dengan cara yang sangat keji. 
Kami mohon Syekh kami menjelaskan perkara ini kepada kami dan mengklarifikasinya. Seperti apa perilaku seorang Muslim terhadap beliau, karena Sayyid Qutb memiliki pengaruh di dunia Islam dan beliau telah meninggalkan warisan buku-buku dan karya tulis, dan kami ingin Anda memberi penjelasan. 
Beliau menjawab: 

“Saya tidak berpikir bahwa harus ada adu argumen atau perdebatan di kalangan umat Islam generasi muda tentang seseorang secara spesifik, baik itu Sayyid Qutb atau pun orang lain selain Sayyid Qutb. Sebaliknya, perdebatan itu hendaknya berkisar tentang ajaran Islam. Misal, kita hendaknya meneliti suatu pernyataan yang dibuat oleh Sayyid Qutb atau seseorang lainnya, dan berkata: “Apakah pendapat seperti ini benar atau salah?” 

“Sudah seharusnya kita meneliti hal semacam ini, dan jika benar, maka kita harus menerimanya, dan jika salah, kita harus menolaknya. Akan tetapi bagi para pemuda, adu argumen atau debat tentang menerima atau menolak seseorang secara spesifik adalah suatu kesalahan, dan merupakan kesalahan yang fatal.  

“Sayyid Qutb bukanlah sosok yang sempurna. Para ulama yang levelnya lebih tinggi dari beliau juga tidak sempurna, pun demikian dengan para ulama yang levelnya lebih rendah dari beliau juga tidak sempurna. Pendapat setiap orang bisa diterima atau ditolak, kecuali pendapat Rasulullah ﷺ.  Sabda beliau harus diterima di semua hal. 

“Oleh karena itu, saya katakan kepada para pemuda bahwa perdebatan mereka, perbedaan di antara mereka, hendaknya tidak difokuskan pada satu orang secara spesifik, siapa pun itu. Jika perdebatan mereka seperti itu, mungkin saja akan berakhir dengan menolak sesuatu yang sahih dan benar yang disampaikan oleh beliau, atau mungkin saja berakhir dengan mendukung sesuatu yang tidak sahih dan tidak benar yang disampaikan oleh beliau.  

“Sungguh, ini adalah bahaya yang sangat serius. Jika orang sudah mendukung satu figur secara membabi buta, lantas secara membabi buta pula mereka akan melawan yang bertentangan dengannya. Dia bisa saja menyematkan pada orang yang dia benci itu suatu perkataan yang tidak pernah beliau katakan, atau bisa saja secara disengaja memelencengkan apa-apa yang beliau katakan. Atau, dia bisa saja menolak apa-apa yang beliau katakan, atau bisa pula berusaha mencari cara untuk menafsirkan pernyataan beliau yang tidak sahih sedemikian rupa sehingga tampak benar.  

“Jadi saya katakan:  

“Tidak seharusnya kita berbicara tentang seseorang secara spesifik, dan tidak seharusnya pula kita mengikuti seseorang secara membabi buta. Sayyid Qutb telah meninggal dan Allah yang akan menghakimi beliau, dan hal ini juga berlaku untuk semua ulama lainnya.  

“Sedang apa saja selama itu sahih dan benar, maka itu harus diterima, entah itu dari Sayyid Qutb atau pun yang lainnya. Dan apa-apa yang tidak sahih atau tidak benar harus ditolak, entah itu dari Sayyid Qutb atau pun yang lainnya. Kita harus waspada terhadap berbagai gagasan yang tidak sahih dan tidak benar yang ditulis atau didengar, terlepas dari siapa pun gagasan itu berasal.  

“Inilah nasihat saya teruntuk para saudara saya. Diskusi dan debat, serta perkara menerima atau menolak, tidak seharusnya berkisar pada seseorang secara spesifik.  

“Tentang Sayyid Qutb, pendapat saya terkait warisan beliau, adalah bahwa warisan beliau sama halnya seperti warisan orang lain, yang bisa mengandung elemen kebenaran ataupun kesalahan, karena tak ada yang sempurna.  

“Akan tetapi warisan beliau tidak seperti, misalnya, warisan Syekh Muhammad Nasirudin Al-Albani. Perbedaan keduanya seperti langit dan bumi. Warisan Sayyid Qutb terdiri atas karya-karya umum, akademik, dan sastrawi, tetapi beliau tidak memiliki pengetahuan sedalam yang dimiliki Syekh Al-Albani.  

“Jadi, saya pikir apa-apa yang sahih dari siapa pun itu hendaknya diterima, dan apa-apa yang tidak sahih hendaknya ditolak, dari siapa pun itu. Kita tidak boleh, dan sungguh tidak diperbolehkan, untuk memfokuskan perdebatan atau adu argumen pada individu-individu tertentu; atau berpecah belah dan berkumpul berjamaah atas dasar (fanatisme) pada individu-individu tertentu.” 

Wallahu’alam bish shawwab.
Fatwa No: 107327
Tanggal: 15 April 2013
Sumber:
https://islamqa.info/en/107327
Penerjemah: Irfan Nugroho
Bukan simpatisan Ikhwanul Muslimin atau PKS, bukan pula penggemar Sayyid Qutb, hanya merasa aneh melihat sikap beberapa ikhwan terhadap beliau.

BACA JUGA:  Tanya Jawab Islam: Bolehkah Memberikan Zakat kepada Mujahidin?

Irfan Nugroho

Hanya guru TPA di masjid kampung. Semoga pahala dakwah ini untuk ibunya.

Tema Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button