Uncategorized

Tabiin Iyas bin Muawiyah Al-Mazunni – Kecerdasan Logika yang Sahih

Namanya Iyas bin Muawiyah Al-Mazunni, seorang tabiin yang pernah bertemu dengan beberapa sahabat, salah satunya Anas bin Malik, (Basya, 2013: 69). Ia adalah qadi (hakim ketua) di Basrah, Irak, ketika umat Islam kala itu dipimpin oleh Ulil Amri kharismatik bernama Umar bin Abdul Aziz.

Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa buku yang membahas perbedaan fikih empat mahzab, dapat diketahui bahwa Irak (Madrasah Kufah) adalah kawasan perkembangan ilmu fikih yang cenderung menggunakan Qiyas (analogi) dan Illat (mencari sebab) daripada hadis-hadis Nabi صلى الله عليه وسلم.

Bukan berarti ulama Madrasah Kuffah menyingkirkan periwayatan hadis, hanya saja mereka sangat berhati-hati dalam menerima hadis karena jaraknya yang jauh dari Madrasah Ahlulhadis (Hijaz),” (Haidir, 2004). Oleh karena jarak ini pula, banyak beredar hadis-hadis palsu di kawasan Kuffah ini, (Shafwan, 2014).

Kembali ke Iyas bin Muawiyah Al-Mazunni, ketika beliau menjabat sebagai Qadi di Basrah, Irak, dirinya pernah ditanya oleh seorang Duhqan (semacam lurah di zaman Persia) tentang alasan logis kenapa khamar (minuman keras; anggur -KBBI) itu haram.

Duhqan: Wahai Abu Wa’ilah. Bagaimana pendapatmu tentang minuman yang memabukkan?

Iyas: Haram!

Duhqan: Kenapa haram? Padahal ia tidaklah lebih dari sekedar air dan buah yang dicampur. Kedua benda itu halal.

Iyas: Apakah engkau sudah selesai berbicara? Ataukah masih ada yang ingin kau utarakan?

Duhqan: Tidak. Aku sudah selesai.

Iyas: Baik, kalau aku mengambil air dan kusiramkan ke kepalamu, apakah kamu akan merasa sakit?

Duhqan: Tidak.

Iyas: Baik, kalau aku mengambil pasir dan kutaburkan ke kepalamu, apakah kamu akan merasa sakit?

Duhqan: Tidak.

Iyas: Baik, kalau aku mengambil semen dan kutaburkan ke kepalamu, apakah kamu akan merasa sakit?

Duhqan: Tidak.

Iyas: Baik, bagaimana kalau aku mencampur air, pasir dan semen itu, lalu kuaduk ketiganya, aku jemur sampai kering, lalu aku pukulkan ke kepalamu. Apakah kamu akan merasa sakit?

Duhqan: Tentu saja. Benda itu bahkan bisa saja membunuhku.

Iyas: Begitu pula dengan khamar. Saat kau kumpulkan bagian-bagiannya, lalu kau olah menjadi minuman yang memabukkan, maka ia menjadi haram.

BACA JUGA:  Calon pemimpin Muslim lebih diutamakan daripada nonmuslim

Selain kisah di atas, ada pula kisah lain yang menunjukkan kecerdasan logika Iyas bin Muawiyyah Al-Muzanni. Sebagaimana dikisahkan oleh Basya (2014: 67-68), Iyas ketika kecil pernah belajar matematika di sebuah sekolah yang dikelola oleh Yahudi kafir zimi.

Suatu ketika, murid-murid Yahudi di sekolah itu berkumpul bersama seorang guru Yahudi. Sang guru berkata, “Tidakkah kalian heran dengan kaum muslimin itu? Mereka berkata bahwa mereka akan makan di surga, tetapi tidak akan buang air besar/kecil.”

Mendengar hal tersebut, Iyas kecil meminta izin untuk turut nimbrung dan berargumen.

Iyas: Pak guru, apakah semua yang dimakan di dunia ini akan keluar menjadi kotoran?

Guru: Tidak.

Iyas: Lantas ke mana perginya makanan yang tidak keluar itu?

Guru: Terserap sebagai makanan jasmani.

Iyas: Lantas, dengan alasan apa kalian mengingkari? Padahal, makanan yang kita makan di dunia saja sebagian hilang diserap tubuh. Bukan tidak mungkin jika di surga nanti semua makanan akan diserap oleh tubuh dan menjadi makanan jasmani.

Sang guru pun malu, lalu mengusap kepala Iyas kecil sembari berujar, “Semoga Tuhan mematikanmu sebelum dewasa.”

Inilah sekelumit kisah tentang kecerdasan logika Iyas bin Muawiyah Al-Mazunni. Ada kalanya orang itu enggan menerima dalil-dalil syar’i yang bersumber dari Alquran dan sunah, apalagi mereka para penyembah logika dan nalar seperti orang atheis dan liberalis sekuler.

Oleh karena itu, kemampuan untuk berpikir logis yang sahih (sesuai Alquran dan Sunah yang sahih) adalah satu dari sekian kebutuhan bagi para pendakwah, selain kemampuan untuk melakukan pendalilan dalam suatu masalah seperti yang telah digariskan oleh para ulama di zaman dulu.

Mekanisme pendalilan, atau pengambilan hukum, di dalam Islam mencakup pengkajian terhadap Alquran, lalu Sunah yang sahih, lalu Ijma (konsensus) para ulama, lalu Qiyas (analogi) atau Illat (mencari sebab).

Jangan seperti mereka para atheis yang menagungkan ilmu pengetahuan tetapi menyingkirkan kalam Ilahi. Jangan pula seperti liberalis sekuler yang meski mengaku Islam, tetapi melulu mereka menggunakan Qiyas berdasar hawa nafsu, dan juga menyingkirkan nash-nash syar’i yang bersumber dari Alquran, Sunah dan Ijma ulama. Wallahu’alam bish shawwab.

BACA JUGA:  Tanya-Jawab Islam: Bagaimana Kita Mencintai Allah dan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam

Akhukum fillah,
Irfan Nugroho
Staf pengajar di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Nguter-Sukoharjo.

Referensi:
Basya, Abdurrahman Ra’fat. 2013. Mereka adalah para Tabiin. Solo: At-Tibyan

Shafwan, Muhammad Hambal. 2014. Intisari Sejarah Pendidikan Islam. Solo: Pustaka Arafah

Haidir, Abdullah. 2004. Mazhab Fikih – Kedudukan dan Cara Menyikapinya. Riyadh: Khalid bin Al-Waleed Pub.

Irfan Nugroho

Hanya guru TPA di masjid kampung. Semoga pahala dakwah ini untuk ibunya.

Tema Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button