Fikih Dorar: Jika tidak bisa Membedakan Air Suci atau Najis
Pembaca rahimakumullah, bagaimana jika tidak bisa membedakan Air Suci atau Najis? Berikut adalah terjemahan dari Mausuatul Fiqhiyah Dorar Saniyah > Kitab Taharah > Bab Air > Bab Ragu-ragu > Jika tidak bisa Membedakan Air Suci atau Najis. Semoga bermanfaat. Teruskan membaca!
Orang yang tidak bisa Membedakan Air Suci atau Najis
Gambarannya seperti ini:
Ada beberapa wadah yang berisi air suci, dan beberapa wadah lain yang berisi air najis. Kemudian, wadah-wadah tersebut tercampur sehingga seseorang tidak bisa membedakan mana air yang suci dan mana air yang najis.
Kesamaran ini mungkin terjadi pada orang yang menganggap bahwa air sedikit menjadi najis hanya karena tersentuh, meskipun tidak berubah.
Kesamaran ini juga mungkin terjadi pada orang yang menganggap bahwa air tidak menjadi najis kecuali jika ada perubahan (seperti) jika sebagian dari air tersebut bercampur dengan tanah yang najis dan sebagian lagi dengan tanah yang suci, sehingga dia tidak bisa membedakan antara keduanya.
Bagaimana Jika tidak bisa Membedakan Air Suci atau Najis? Tertulis di dalam Mausuatul Fiqhiyah Dorar Saniyah:
Seseorang yang tidak bisa membedakan antara air suci dengan air najis, maka dia harus At-Taharriyu[1] dan bersuci dengan air yang menurutnya suci menurut persangkaannya.
Ini adalah pendapat mazhab Syafi’i,[2] dan juga yang dikatakan oleh Dawud al-Zahiri, Abu Tsaur, Sahnun al-Maliki, serta dipilih oleh Ibnu al-Arabi dan Ibnu Utsaimin.
Dalil dari Sunah
Hal ini didasarkan pada keumuman hadis Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:
Jika salah seorang dari kalian ragu dalam salatnya, maka hendaklah dia mencari yang benar, (Sahih Bukhari: 401. Sahih Muslim: 572).
Kedua: bahwa itu adalah jalan yang dapat dicapai melalui istidlal (penarikan kesimpulan), maka boleh melakukan ijtihad di dalamnya, seperti ijtihad ketika arah kiblat menjadi samar, (Al-Majmu li An-Nawawi: 1/180).
Ketiga: bahwa salah satu kaidah yang disepakati oleh para ulama adalah: ketika keyakinan tidak bisa dicapai, maka kembali kepada prasangka kuat. Di sini, karena keyakinan tidak bisa dicapai, kita kembali kepada prasangka kuat, yaitu al-Tahari (upaya mencari yang benar), (Syarh Al-Mumti li Ibni Utsaimin: 1/62). Wallahua’lam
Karangasem, 11 Januari 2025
Irfan Nugroho (Semoga Allah memudahkan urusannya. Aamiin)
CATATAN KAKI
[1] At-Taharriyu artinya:
Mencari kebenaran, dan menyelidiki tujuan yang dimaksud, (Al-Majmu li An-Nawawi: 1/169).
[2] Bahkan mazhab Syafi’iyah lebih dari itu, yaitu boleh berwudu dengan air yang samar (air yang diragukan kesuciannya), meskipun dia mampu untuk bersuci dengan air yang diyakini suci, seperti berada di tepi sungai, atau air tersebut mencapai dua qullah dengan cara dicampur. Mereka menyatakan (bolehnya berpindah ke yang diragukan kesuciannya meskipun ada yang diyakini suci) bahwa para sahabat Radhiyallahu Anhum mendengar dari satu sama lain meskipun mereka mampu mendengarnya langsung dari Nabi ﷺ, (Al-Majmu’ li An-Nawawi: 1/180, Mughnil Muhtaj li Asy-Syarbini: 1/26, lihat juga: Al-Hawi Al-Kabir li Al-Mawardi: 1/344, 345).