Market Holding and (Indonesian Translation of Warren J. Keegan’s “Global Marketing Management”)
Market Holding seringnya diadopsi oleh perusahaan-perusahaan yang hendak menjaga saham pasarnya. Dalam konteks pemasaran tunggal-negara, strategi ini sering melibatkan reaksi terhadap perubahan harga-harga yang dilakukan oleh pesaing. Contoh, ketika suatu maskapai penerbangan menawarkan tarif khusus, maskapai lainnya juga harus berpikir bagaimana untuk menyesuaikan diri atau jika tidak, mereka akan kehilangan para penumpangnya tentunya. Dalam konteks pemasaran global, perubahan-perubahan harga terjadi karena adanya fluktuasi nilai tukar uang.
Strategi Maket Holding menyakini bahwa apresiasi terhadap nilai tukar uang negara asal (perusahan-perusahaan dengan jangkauan pasar global) tidak lantas membuat harga-harga naik. Jika situasi kompetitif di negara-negara pasa mudah terpengaruh oleh perubahan-perubahan harga (price sensitive-penerjemah), suatu perusahaan harus mampu menyedot harga dari apresiasi nilai tukar uang dengan menerima marjin yang lebih rendah dengan harapan dapat menjaga harga-harga tetap kompetitif dalam pemasaran antar negara.
Nilai tukar uang yang kuat di negara asal dan naiknya harga-harga di negara asal juga bisa menjadi dorongan bagi suatu perusahaan untuk memindahkan sumber pendapatannya (sourcing) ke negara ketiga yang memproduksi atau memiliki lisensi, daripada mengekspor dari negara asal, untuk menjaga penguasaan pasar (market share). IKEA, sebuah perusahaan perabotan rumah tangga asal Swedia, meraup sumber pendatan sebesar 50% dari penjualan produk-produknya di Amerika Serikat pada tahun 1992 – bandingkan dengan tahun 1989 yang hanya 10 %.
Chrysler-Daimler dan BMW sempat membangun pusat produksi dan perakitan Mercedes dan BMW jenis sports dan kendaraan sport berkusi dua di Amerika Serikat untuk dipasarkan di Amerika sendiri dan di seluruh dunia. Hal ini bertujuan untuk memperlebar ekspansi kapasitas produksi dua perusahaan tersebut. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa Market Holding berarti bahwa suatu perusahaan harus sangat hati-hati dalam memeriksa semua biaya untuk menjamin tetap kompetitifnya harga di pasar yang menjadi target. Dalam kasus perusahaan otomotif Jerman, ekspansi produksi di luar Jerman dimaksudkan bahwa perusahaan tersebut tidak lagi terikat secara eksklusif terhadap total biaya produksi di Jerman.
Ketika nilai tukar uang suatu negara melemah, harga-harga produk impor akan sulit bersaing. Namun, negara dengan nilai tukar uang yang lemah akan menjadi “mangsa empuk” bagi perusahaan-perusahaan dengan jangkauan pasar yang mendunia. Ketika nilai tukar Rupiah anjlok dari 2,400 menjadi 18,000 dan menguat hingga di bawah 18,000 terhadap dolar AS sepanjang Asian Flu di tahun 1990an, perusahaan internasional yang beroperasi di Indonesia meraih untung yang bukan kepalang. Biaya produksi mereka di Indonesia meningkta hingga 100% namun nilai produksi mereka dalam dollar – atau mata uang lain yang lebih tahan goncangan – justru naik hingga 300 bahkan 700 persen. Pada akhirnya, ketika suatu negara – dalam hal ini Indonesia – sedang dalam kondisi krisis, perusahaan internasional justru mengalami masa-masa keemasaanya di Indonesia.
Perusahaan-perusahaan yang sedang/baru merintis pasa ekspor biasanya menggunakan strategi yang disebut sebagai ongkos-tambahan dalam penentuan harga. Hal ini bertujuan untuk meraih batas ambang minimal dalam pasar global. Dalam konteks ongkos-tambahan itu sendiri mengenal adanya dua metode yakni metode ongkos laporan bersejarah (historical accounting cost method) dan metode ongkos masa depan yang telah diperhitungkan (estimated future cost method). Metode pertama mendefinisikan ongkos sebagai jumlah biaya pengeluaran dengan biaya produksi langsung dan tak-langsung.
Penetapan harga dengan ongkos-tambahan berarti menambah keseluruhan biaya yang diperlukan untuk mengekspor produk tersebut yang meliputi biaya pengiriman, persentase keuntungan dan biaya-biaya lainnya. Keuntungan yang paling kentara dari penggunaan metode ini adalah batas ambangnya yang rendah. Hal ini dikarenakan mudahnya mencapai harga jual dengan menganggap biaya laporan telah siap tersedia. Kerugian dari penggunaan “historical accounting cost method” ialah tidak adanya pertimbangan terhadap permintaan pasar dan juga kondisi pasar yang kompetitif. Makanya, penerapan metode ini sering menyebabkan harga suatu produk menjadi terlalu murah atau terlalu mahal. Jika penggunaan metode ini berhasil, tidak lain tidak bukan hal tersebut hanya kebetulan saja.
Eksportir baru kadang tidak memperdulikan atau tidak reaktif terhadap pasar global. Namun, pelaku pasar yang telah berpengalaman tentunya telah menyadari bahwa penggunaan “historical accounting cost method” selamanya tidak bisa dijadika pertimbangan untuk penentuan harga.
Ekskalasi harga (price escalation) adalah naiknya harga produk-produk lantaran adanya biaya tambahan – seperti biaya angkut dan distribusi – yang harus ditanggung oleh perusahaan itu sendiri. Tabel 12-3 menunjukan gambaran ringkas bagaimana kenaikan harga dapa terjadi pada produk yang diekspor ke pasar global. Dalam tabel tersebut dijelaskan bagaimana suatu distributor peralatan pertanian yang bermarkas di Kansas mengirimkan satu kontainer peralatan pertanian ke Tokyo. Biaya angkut yang semula berada pada angka $30,000 kemudian naik hampir dua kali lipat menjadi $50,000.
Mari kita teliti proses pengiriman ini sehingga jelas kenapa hal tersebut bisa terjadi. Pertama, hal tersebut dikarenakan adanya ongkos pengiriman sebesar $5,453,07, yang berarti 18% dari total biaya ex-work (biaya yang langsung ditetapkan oleh pabrik-penerjemah). Komponen mendasar dari pengiriman ini adalah biaya total dari pengiriman darat dan laut yang menelan biaya sebesar $5,267,80. Faktor Penyesuaian Nilai Tukar (Currency Adjusment Factor-CAF) dibebankan lantaran adanya penguatan Dollar terhadap Yen. Sehingga, angka tersebut akan berfluktuasi menyusul perubahan nilai tukar Yen terhadap Dollar.
Seluruh biaya impor dapat ditaksir melalui harga proses pengiriman darat. Perlu dicatat bahwa dalam pengiriman peralatan pertanian ke Jepang tidak dikenakan kewajiban membaya bea maupun cukai. Penggelembungan sebesar 10% ($3,652) sebenarnya menunjukan angka 12% dari harga CIF di Yokohama. Hal ini terjadi karena adanya pajak penambahan nilai dan biaya muatan. Akhirnya, penggelembungan oleh pelaku pasar sebesar 25% menambah besar biaya hingga mencapai $10,042 – atau 33 persen dari CIF Yokohama.
Dampak keuntungan dari akumulasi tersebut yakni total harga eceran yang mencapai $50,210 di Tokyo – atau 166% dari harga ex-work yang ditetapkan oleh Kansas City. Inilah yang dinamakan kenaikan harga – price escalation. Faktor lain yang berkontribusi terhadap besarnya ekskalasi harga adalah lamanya distribusi. Selain itu, sistem distibusi di Jepang yang multilapis dapat juga menjadi penyebab naiknya harga CIF yang bisa mencapai 200%.
Para eksportir baru diharapkan dapat menggunakan analisis yang dipaparkan seperti di atas tadi. Contoh ongkos-tambahan adalah proses ekspor produk pembersih perabotan dari Amerika Serikat ke Amerika Selatan. Kenaikan harga bahkan hingga mencapai 300% lantaran adanya biaya angkut, muatan, bea, dan pajak. Hal ini kemudia menyebabkan produsen produk pembersih perabotan tersebut membuka cabang ke lokasi yang lebih dekat dengan harapan dapat memangkas biaya-biaya yang memungkinkan timbulnya pembengkakan harga. Pelaku pasar yang berpengalaman memandang harga sebagai strategi utama yang dapat membantu mencapai tujuan pemasaran dan bisnis.
Diterjemahkan oleh Irfan Nugroho dari:
Keegan, Warren J, 2002. Global Marketing Management: Seventh Edition (page: 366-368). Prentice Hall: New Jersey, USA.