Uncategorized
Thawus bin Kaisan Al-Yamani, Sikap Salaf terhadap Penguasa
Oleh: Ust. Hafidin Achmad Luthfie
Para ulama dalam sejarah Islam yang panjang adalah orang-orang yang punya karakter kuat. Menjadi penyambung lidah rakyat di hadapan penguasa kejam dan menindas.
Mereka merendahkan diri di hadapan manusia (tawadhu’) namun pantang menghinakan diri di depan penguasa. Mereka hidup sederhana dan kekurangan tetapi enggan mendatangi istana penguasa untuk memuji dan memberikan dukungan fatwa atas kezhalimannya. Tanpa basa basi mereka berani berkata lugas dan sampaikan teguran keras.
Di tengah rusaknya penguasa dengan kemewahan, kefujuran, dan kezhalimannya, para ulama tetap menjadi pengurus dan penjaga umat dengan keikhlasan, keteladanan, dan pengorbanan. Merekalah benteng umat yang kokoh. Merekalah pelanjut dakwah dan perjuangan Nabi saw. Merekalah wulaatul umuur yang sesungguhnya yang lebih layak didengar dan ditaati.
Simaklah kisah sebagian ulama dalam menegur, menasehati, memerintahkan yang baik dan melarang kemungkaran atas apa yang dilakukan penguasa. Dan bandingkan dengan kondisi ulama-ulama sekarang yang menjadi tameng dan perisai penguasa-penguasa buruk dan khianat melalui fatwa bathil dan tahrif pada ucapan ulama terdahulu.
Imam Abu Hamid Al-Ghazali rh dalam Ihyaa` ‘Uluum Ad-Diin (2/160) menyebutkan kisah Thawus bin Kaisan Al-Yamani rh, seorang tabi’i yang ahli tafsir dan murid sahabat yang mulia Ibnu ‘Abbas ra.
Bahwa Hisyam bin ‘Abdul Malik rh, khalifah Daulah Umawiyyah, melakukan haji ke Mekkah. Tiba di sana sang khalifah memerintahkan kepada pengawalnya untuk menghadirkan salah seorang shahabat.
Ia berkata, “Datangkanlah kepadaku seseorang dari shahabat”.
Pengawalnya menjawab, “Sesungguhnya mereka telah wafat semua, wahai amirul mukminin”.
Hisyam bin ‘Abdul Malik tak kendur keinginannya. Ia berkeras ingin bertemu dan dihadapkan padanya seorang ulama. Kalau shahabat ra sudah tak ada maka ulama dari tabi’in rhm juga boleh.
Ia berkata lagi pada pengawalnya, “Kalau begitu dari kalangan tabi’in saja. Datangkanlah kepadaku Thawus Al-Yamani”.
Tak berapa lama Thawus datang. Tapi Thawus masuk kemah atau istana sang khalifah dengan sikap ulama, bukan sikap budak dan penjilat. Ia berjalan dengan tenang dan percaya diri, tak terlihat kelemahan dan rasa takut di wajahnya.
Tak sampai disitu saja. Bahkan Thawus melepaskan sendalnya saat berjalan di atas karpet istana. Seolah-olah Thawus khawatir karpet itu mengotori sendalnya. Tentu saja Hisyam bin ‘Abdul Malik geram dan marah melihat ulah Thawus. Dipandangnya Thawus Al-Yamani rh telah menghina dan merendahkannya.
Bandingkan dengan sikap ulama-ulama sekarang. Mereka datang kepada penguasa dengan mental budak. Terlihat sumringah wajah mereka ketika dipanggil ke istana. Dengan bergegas mereka buru-buru masuk istana. Tiba di dalam mereka memeluk orang zhalim dan khianat lengkap dengan cipika pipi kanan dan kiri. Dan terkadang mereka membungkukkan badan dan mencium tangan yang berlumuran lumpur keburukan. Tak lupa berkata, “wahai waliyyul amri, semoga Allah swt menjaga diri Anda dan kekuasaan Anda. Anda adalah bayangan Allah swt di muka bumi”.
Keanehan Thawus rh terus berlanjut. Ia tak mengucapkan salam sambil menyebut panggilan “amirul mukminin” pada Hisyam. Sebaliknya ia berkata dengan penuh keyakinan dan kemantapan, “Assalamualaika, wahai Hisyam”. Thawus menyebut begitu saja namanya. Ia juga tak memanggil dengan menyebut kunyahnya yang bagi orang arab merupakan lambang kejantanan dan kemuliaan. Setelah itu ia langsung duduk di permadini punya Hisyam tanpa permisi dan minta ijin. Selanjutnya ia menyapa dan menanyakan kabar Hisyam, “Bagaimana kabarmu, wahai Hisyam?”.
Meledaklah kemarahan Hisyam bin ‘Abdul Malik. Dipikirnya Thawus adalah orang yang kurang ajar dan tak beradab. Dia pun mencabut pedang dan bermaksud membunuh Thawus rh.
Sayang Hisyam tak punya pendukung sesat seperti orang-orang jaman sekarang yang siap membully Thawus Al-Yamani rh dan menuduhnya khawarij. Juga siap memberikan pembelaan melalui radio, tv, medsos, website, kajian, dan tabligh akbar. Serta mengeluarkan fatwa bathil bolehnya membunuh seorang penentang penguasa karena hal itu mengindikasikan ia menganut manhaj dan aqidah khawarij.
Melihat situasi yang mencekam itu Thawus Al-Yamani rh tetap tenang hatinya dan yakin dengan keamanan yang diberikan oleh Allah swt. Dengan santai ia berkata, “Anda tengah berada di tanah haram yang keharamannya ditetapkan Allah dan rasul-Nya. Anda tak mungkin melakukan pembunuhan di sini”.
Hisyam pun tergetar hatinya. Ia terdiam. Kemudian ia menyarungkan kembali pedagangnya.
Bagaimanapun Hisyam bin ‘Abdul Malik rh adalah salah seorang khalifah yang besar dari Daulah Umawiyyah. Ia orang yang cerdas dan paham syariah. Imannya masih terjaga dan masih punya rasa takut kepada Allah swt. Dan syukur juga ia tak punya penasehat dan mufti haus darah yang akan mengatakan, “Wahai amirul mukminin, bunuh saja Thawus Al-Yamani itu. Dia sudah menampakkan penentangan. Dia orang khawarij. Dia pemberontak. Kalau tak anda bunuh nanti wibawa khalifah akan hilang. Orang juga akan melakukan hal yang sama. Anda juga tak perlu takut dosa. Anda adalah mujtahid. Kalau benar anda dapat dua pahala. Kalau salah anda tetap dapat satu pahala”.
Kemudian Hisyam rh bertanya pada Thawus rh, “Wahai Thawus, apa gerangan yang membuatmu bersikap seperti itu?”.
Thawus tetap cuek dan acuh. Bahkan ia balik tanya, “Memang saya sudah melakukan apa?”
Kemarahan Hisyam muncul lagi. Bahkan sekarang dia tambah marah. Wajahnya merah padam. Giginya gemerutukan. Dia gemas dengan sikap Thawus yang merasa tak bersalah apa-apa. Ia berkata, “Kamu melepas sendalmu saat jalan di karpet lantaiku. Kamu juga tidak mengucap salam dengan menyebut amirul mukminin. Kamu juga tak menyebut kunyahku. Dan kamu juga duduk di permadaniku tanpa seijinku lalu kamu bertanya, “Bagaimana kabarmu, wahai Hisyam ?”.
Thawus tetaplah Thawus murid Ibnu ‘Abbas ra. Dia telah mendapat tarbiyah dari sepupu Nabi saw. Dia telah mendalami tafsir Al-Qur`an dari pakarnya Al-Qur`an. Ia tak mau mengikuti kelompok penjilat yang biasa berkata manis pada penguasa dan memutarbalikkan kebenaran. Ia juga tak sudi memakai retorika kaum yang suka mendistorsi hakikat. Dan ia juga menolak mengikuti serimoni dan protokol yang menyesatkan yang lazim diikuti ulama-ulama sekarang.
Thawus rh pun menjawab dengan santai dan tenang. Ia berkata, “Adapun aku melepaskan sendal di karpet lantaimu maka sesungguhnya aku melepaskannya di hadapan Rabbul ‘izzah tiap hari lima kali. Meski begitu Dia tak mencelaku. Dia tak marah padaku”.
Selanjutnya Thawus rh menjelaskan, “Adapun ucapanmu mengapa aku tak mengucapkan salam dengan menyebut amirul mukminin, maka aku tegaskan bahwa tak semua orang suka dengan kepemimpinanmu dan aku tak suka berbohong”.
Kalian lihat Daulah Umawiyyah yang menegakkan syariat Islam, berjihad terhadap musuh, mempertahankan tradisi-tradisi arab, melakukan futuhat yang hebat, tetapi karena banyak penguasanya yang zhalim rakyat pun banyak yang tak suka. Bagaimana kalau generasi tabi’in dan tabi’ut tabi’in melihat penguasa sekarang yang melakukan praktek kejawen, tidak menegakkan syariat Islam, syiar-syiar Islam berupaya dipadamkan, orang-orang kafir yang sangat keras permusuhannya pada Islam menjadi kepercayaannya, menerima ideologi komunisme, banyak melakukan kebohongan, berkhianat pada bangsa dan umat, menyengsarakan rakyat, dan menghancurkan negara, apakah mereka tetap memuji dan mewajibkan taat? Ataukah mereka akan berfatwa sebagaimana Ibnu Taimiyyah pada Ghazan dan Ibnu Katsir pada Ilyasiq? Kalau generasi pada jaman itu banyak yang tak suka pada Hisyam bin ‘Abdul Malik tentu lebih wajar dan lebih dimaklumi generasi sekarang banyak yang tak suka dengan penguasa sekarang. Thawus rh tak salahkan mereka. Namun ulama sekarang justeru menyalahkan umat yang tak suka dan mendukung penguasa bahkan mereka melakukan kezhaliman dengan menuduh secara bathil semata untuk menjilat dan mendapatkan kedekatan dengan penguasa. Umat yang tak suka dan melakukan kritik serta protes adalah khawarij dan halal ditembak mati. Allaahu musta’aan.
“Dan adapun ucapanmu mengapa aku tidak menyebut kunyahmu, alasannya karena Allah menyebut nama-nama nabi-Nya dan wali-Nya secara langsung. Allah berfirman, “Wahai Yahya, Wahai ‘Isa”. Justeru ketika menyebut musuh-musuh-Nya Allah menyebut dengan kunyah mereka. Allah berfirman, “Celakalah dua tangan Abu Lahab”.
Kemudian Thawus rh menuntaskan jawabannya, “Adapun ucapanmu mengapa aku duduk di permadanimu tanpa ijinmu, maka ketahuilah Hisyam banyak sesungguhnya aku telah mendengar amirul mukminin ‘Ali bin Abi Thalib ra berkata, “Apabila kamu mau melihat laki-laki dari penduduk neraka maka lihatlah kepada laki-laki yang duduk sementara orang-orang di sekelilingnya berdiri”.
Ucapan ‘Ali bin Abi Thalib ra tersebut kalau dalam pandangan ulama sekarang tentu dipandang mengandung aroma khawarij. Karena menyebut penguasa dengan kondisi tersebut sebagai calon penduduk neraka.
Tertunduklah Hisyam. Hilanglah kemarahanya. Selanjutnya ia minta diberikan nasehat. “Wahai Thawus, berikan nasehat kepadaku”.
Thawus rh masih tetap dengan sikapnya yang tegas. Dia memberikan peringatan dan ancaman pada sang khalifah seraya berkata, “Aku mendengar dari amirul mukminin ‘Ali bin Abi Thalib ra berkata: “Sesungguhnya di neraka jahanam ada ular-ular sebesar kayu gelondongan dan kalajengking-kalacengking sebesar bighal yang siap mematuk setiap penguasa yang tak berbuat adil pada rakyatnya”.
Begitu ulama salaf. Sikapnya agung. Berani memberikan peringatan dan ancaman pada penguasa zhalim. Jauh dari sikap penjilat dan pencari hormat. Siap sedia mendapat resiko karena keteguhan dan ketegasannya menyampaikan kalimat yang hak di depan penguasa.
Sesudah selesai menyampaikan peringatan Thawus rh pun berdiri dan langsung pergi. Tak perlu dia pamit dan menunggu amplop. Dan pertemuannya dengan khalifah tak perlu difoto lalu dishare di medsos atau dipajang di rumah agar semua orang tahu dia dekat dengan penguasa.
Semoga Allah swt memberikan rahmat-Nya pada Thawus bin Kaisan Al-Yamani.