Fiqih

Fikih Dorar: Yang Sunah terhadap Orang Sekarat dan yang bukan

Pembaca rahimakumullah, apa yang sunah terhadap orang sekarat dan apa yang bukan? Inilah terjemahan dari Mausuatul Fiqhiyah Dorar Saniyah Kitab Salat > Bab Janaiz > Hukum Orang Sakit dan Sekarat > Hukum Sekarat > Apa yang Sunah terhadap Orang Sekarat dan yang Bukan. Teruskan membaca! Semoga bermanfaat!

مَا يُسَنُّ عَمَلُهُ لِلْمُحْتَضَرِ إِذَا نَزَلَ بِهِ الْمَوْتُ وَمَا لَا يُسَنُّ

YANG SUNAH TERHADAP ORANG SEKARAT DAN YANG BUKAN

Ada tiga hal yang akan dibahas di dalam pertemuan kali ini. Apa saja yang sunah terhadap orang sekarat dan yang bukan? Ini dia:

تَوْجِيهُ الْمُحْتَضِرِ إِلَى الْقِبْلَةِ

MENGHADAPKAN ORANG SEKARAT KE ARAH KIBLAT

لَا يُسَنُّ تَوْجِيهُ الْمُحْتَضَرِ إلَى الْقِبْلَةِ، وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ، وَبَعْضِ السَّلَفِ، وَاخْتَارَهُ الْأَلْبَانِيُّ؛ وَذَلِكَ لِأَنَّهُ لَا دَلِيلَ عَلَيْهِ، وَلَمْ يَكُنْ مِنْ عَمَلِ النَّاسِ

Tidak disunnahkan untuk menghadapkan orang sekarat ke arah kiblat. Ini adalah pendapat Imam Malik,[1] sebagian salaf,[2] dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Al-Albani;[3] karena tidak ada dalil yang mendukungnya,[4] dan itu bukan merupakan amalan yang dilakukan oleh orang-orang.[5]

سَقِيهِ الْمَاءِ

MEMBERINYA MINUM

اسْتَحَبَّ الْحَنَفِيَّةُ، وَالشَّافِعِيَّةُ، وَالْحَنَابِلَةُ أَنْ يُسْقَى الْمُحْتَضِرُ الْمَاءَ؛

Hanafiyah,[6] Syafiiah,[7] dan Hanabilah[8] menilai istihbab (sunah/disukai) untuk memberi minum kepada orang yang sekarat.

وَذَلِكَ لِأَنَّهُ يُطْفِئُ مَا نَزَلَ بِهِ مِنْ الشِّدَّةِ، وَيَسْهُلُ عَلَيْهِ النُّطْقُ بِالشَّهَادَةِ؛ لِأَنَّ الْعَطَشَ يَغْلِبُ حِينَئِذٍ لِشِدَّةِ النَّزْعِ

Hal itu karena memberi minum dapat meredakan kesulitan yang menimpanya,[9] dan memudahkan baginya untuk mengucapkan syahadat; karena dahaga bisa membuatnya kuwalahan di saat seperti itu saking beratnya sakaratul maut.[10]

تَلْقِينُ الْمُحْتَضَرِ

MENTALQIN ORANG SEKARAT

يُسَنُ تَلْقِينُ الْمُحْتَضَرِ الشَّهَادَةُ؛ وَذَلِكَ بِاتِّفَاقِ الْمَذَاهِبِ الْفِقْهِيَّةِ الْأَرْبَعَةِ: الْحَنَفِيَّةِ، وَالْمَالِكِيَّةِ، وَالشَّافِعِيَّةِ، وَالْحَنَابِلَةِ، وَحُكِيَ فِيهِ الْإِجْمَاعُ

Sunah mentalqin orang sekarat dengan syahadat.[11] Ini adalah kesepakatan empat mazhab fikih; Hanafiyah,[12] Malikiyah,[13] Syafiiah,[14] dan Hanabilah.[15] Bahkan disebutkan adanya ijma dalam hal ini.[16]

BACA JUGA:  Definisi Riba dan Dalilnya

Dalil dari Sunah

1 – Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

لَقَنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلهَ إِلَّا اللَّهُ

Talqin-lah orang yang (akan) meninggal (di antara) kalian dengan “La ilaha illa Allah,” (Sahih Muslim: 917).

2 – Dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu Anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، دَخَلَ الْجَنَّةَ

Siapa saja yang akhir perkataannya adalah ‘La ilaha illallah’ (Tidak ada Sesembahan yang benar selain Allah), maka dia akan masuk surga, (Sunan Abu Dawud: 3116. Musnad Ahmad: 22180).

Inilah terjemahan dari Mausuatul Fiqhiyah Dorar Saniyah Kitab Salat > Bab Janaiz > Hukum Orang Sakit dan Sekarat > Hukum Sekarat > Apa yang Sunah terhadap Orang Sekarat dan yang Bukan. Semoga bermanfaat. Wallahua’lam

Karangasem, 24 November 2024

Irfan Nugroho (Semoga Allah berikan kesembuhan untuk istrinya. Amin).

CATATAN KAKI

[1] Ibnu Al-Hajj berkata, “Mereka juga berbeda pendapat tentang menghadapkan orang sekarat ke arah kiblat, Malik rahimahullah berkata, ‘Itu bukan merupakan amalan yang dilakukan oleh orang-orang, dan dia tidak menyukai hal itu dilakukan sebagai sunnah,'” (Al-Madkhal: 3/229).

[2] Ahkam Al-Janaiz Li Al-Albani: 1/243.

[3] Idem

[4] Idem

[5] Al-Madkhal Li Ibn Al-Hajj: 3/229.

[6] Hasyiyah Al-Tahthawi: 369.

[7] Tuhfat Al-Muhtaj Li Ibn Hajar Al-Haytami: 3/94. Di dalamnya disebutkan, “Dan dianjurkan untuk memberikan air secara bertahap, bahkan wajib jika tampak tanda-tanda yang menunjukkan hajat; seperti jika dia menunjukkan reaksi positif ketika dilakukan hal itu; karena dahaga dapat membuatnya kuwalahan di saat seperti itu saking beratnya sakaratul maut.”

[8] Al-Iqna’ Li Al-Hijawi: 1/211, Kasyaf Al-Qina’ Li Al-Buhuti: 2/82.

[9] Kasyaf Al-Qina’ Li Al-Buhuti: 2/82.

[10] Tuhfat Al-Muhtaj Li Ibn Hajar Al-Haitami: 3/94.

[11] An-Nawawi berkata: “Dan perintah untuk talqin ini adalah perintah yang dianjurkan, dan para ulama sepakat tentang talqin ini,” (Syarh Al-Nawawi ‘ala Muslim: 6/219).

[12] Al-Fatawa Al-Hindiyah: 1/157. Lihat juga: Al-Durr Al-Mukhtar Li Al-Hasakafi: 2/190.

BACA JUGA:  Bolehkah Memberi Nama Yasin, Toha, Hamim

[13] Mawahib Al-Jalil Li Al-Hattab: 3/22. Lihat juga: As-Syarh As-Saghir Li Ad-Dardir: 1/561.

[14] Tuhfat Al-Muhtaj Li Al-Haytami: 3/92, Mughni Al-Muhtaj Li Al-Khatib As-Syarbini: 1/330.

[15] Syarh Muntaha Al-Iradat Li Al-Buhuti: 1/341. Lihat juga: Al-Mughni Li Ibn Qudamah: 2/335.

[16] Disebutkan dalam Al-Fatawa Al-Hindiyah: 1/157, “Dan talqin ini hukumnya dianjurkan berdasarkan ijma.” Ibn Abidin berkata, “Dalam Al-Qunya dan juga di dalam An-Nihayah dari Syarh Al-Tahawi, ‘Wajib bagi saudara-saudaranya dan teman-temannya untuk mentalqinnya.’” Dikatakan di dalam An-Nahr, “Tetapi itu adalah kiasan; karena di dalam Ad-Dirayah disebutkan bahwa itu dianjurkan berdasarkan ijma.” Lihat: Hasyiyah Ibni Abidin: 2/190. Tetapi dikatakan didalam Ad-Durr Al-Mukhtar: 2/190, “Dan talqin ini dianjurkan. Ada yang mengatakan: wajib.”

Irfan Nugroho

Hanya guru TPA di masjid kampung. Semoga pahala dakwah ini untuk ibunya.

Tema Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button