Duhai, Nenek…
Irfan Nugroho
Suatu sore ketika duduk di sekitar stadion Manahan, Solo, seorang nenek renta menghampiri dan menjajakan makanan ringan yang saya pikir anak muda zaman sekarang akan enggan untuk mencicipinya.
Namun, seperti itulah kenyataan. Betapa banyak orang tua yang justru lupa (atau enggan) untuk memperbanyak bekal mereka untuk kehidupan akhirat daripada sekedar mencari bekal untuk kehidupan duniawi yang tinggal sebentar saja.
Program “Orang Pinggiran” pun sering menyuguhkan profil seorang nenek atau kakek yang senantiasa bekerja keras membanting tulang namun lupa dengan urusan akhirat.
Dalam budaya Jawa, kekhawatiran yang berlebihan jika anak atau cucu mengalami kehidupan yang sempit di dunia kemudian membuat beberapa orang tua rela menjalani ‘puasa weton’ – yakni puasa ketika hari kelahiran sang anak.
Pensiun pun kadang masih menjadi momok bagi beberapa kalangan yang berprofesi sebagai pegawai negeri dengan dalih tak kan ada lagi pemasukan tambahan ataupun keengganan untuk berbagi dengan mertua atau saudara karena kentalnya aroma individualisme di tengan masyarakat kota.
Padahal jika mau sebentar menikmati untaian sejarah masa tua para ulama pendahulu umat ini, kita akan senantiasa dibuat takjub dengan tawakkal mereka setelah ikhtiar mereka, dengan jaminan penjagaan Allah kepada mereka setelah ikhtiar mereka dalam menjaga Allah.
Tak nampak sama sekali di benak Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah bayang-bayang akan jatuh miskin lantaran kesibukkannya berdakwah, menulis buku, dan mempelajari beribu-ribu kitab hingga masa tuanya. Bahkan, beliau pun ngotot untuk membaca buku di akhir-akhir waktu hayatnya.
Tak heran pun ketika seorang ulama besar, Imam Ahmad Bin Hambal, kemudian sesumbar bahwa beliau telah menuntut ilmu “sejak bisa menulis” hingga “masuk ke liang kubur,” (baca buku “Gila Baca Ala Ulama” halaman 38).
Dari merekalah kemudian harusnya kita menyadari bahwa sabda Rasulullah, “Jagalah Allah maka Allah akan menjagamu,” (HR Tirmidzi) adalah benar.
Mereka pulalah yang benar-benar yakin bahwa shalat adalah sebab diluaskannya pintu rezeki karena mereka yakin akan kebenaran firman Allah, “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kami lah yang memberi rezeki kepadamu,” (Tahaa: 132).
Mereka pulalah yang benar-benar paham bagaimana seharusnya bertawakkal seperti sabda Rasulullah, “Andaikata engkau sekalian itu suka bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal (tawakkal setelah ikhtiar), sesungguhnya Allah akan memberikan rezeki padamu sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada burung,” (HR Tirmidzi).
Dan dari mereka pulalah kita yakin bahwa firman Allah, “Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan),” (Al-Anfaal: 60) adalah 100 persen benar.
Duhai nenek, kulitmu tak lagi kencang dan rambutmu pun telah beruban, maka tak perlu lagi kau habiskan seluruh waktumu untuk mengkhawatirkan sempitnya kehidupan duniawimu.
Duhai nenek, luangkan minimal lima waktu dalam sehari untuk mengejar akhiratmu. Gunakan sepertiga malammu untuk senantiasa bermunajat kepada Allah karena di siang harinya engkau masih terlalu bernafsu mencari dunia meski dunia sudah tidak lagi memerlukanmu. (15 Dzulqa’dah 1432 H).