Mental Terjajah Orang Indonesia
Irfan Nugroho
Satu hal unik sering terlintas di benak saya ketika menyaksikan pertandingan sepak bola, terutama ketika tim nasional Indonesia sedang bertanding di kancah internasional.
Hal unik tersebut adalah adanya “mental terjajah” di antara pemain tim nasional Indonesia.
Beberapa pemain timnas Indonesia sering bermuka masam sehingga malas tersenyum pada pemain lawan, terutama ketika lawan mereka adalah tim nasional Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, atau Timor Leste.
Hal berbeda terjadi ketika timnas Indonesia bertanding melawan timnas Australia, atau pun ketika berhadapan dengan timnas Uruguay.
Di dua pertandingan tersebut, mayoritas pemain Indonesia ternyata jauh lebih murah senyum kepada pemain lawan. Bahkan ketika dijegal oleh pemain lawan pun mereka tersenyum sangat lebar.
Tidak dielakkan lagi bahwa Indonesia pernah dijajah oleh bangsa kulit putih yang disebut The Netherlands alias Belanda selama 350 tahun.
Mungkin inilah yang menjadi penyebab kenapa beberapa pemain timnas Indonesia menjadi sangat murah senyum ketika bermain melawan tim-tim berkulit putih seperti Australia, Uruguay, atau pun pemain sepakbola dari Belanda keturunan Indonesia.
Mental terjajah ini pun ternyata telah menjadi hal yang tidak asing bagi kebanyakan orang awam di Indonesia.
Sering saya mengamati anak-anak muda usia SMP atau SMA merasa senang bukan kepalang ketika bisa berfoto-ria dengan bule-bule kulit putih saat bertamasya ke Bali, Jogja, atau daerah wisata lainnya.
Oiya, saya baru ingat bahwa ternyata mental terjajah orang Indonesia bukan hanya terjadi pada orang awam saja, bahkan pada mereka yang ‘bersekolah tinggi’ (mohon dibedakan antara berpendidikan tinggi dengan bersekolah tinggi).
Pernah seorang teman seniman dari Jogja mengaku benci dengan mereka yang kuliah S2 atau S3 di Amerika dan Eropa lantaran adanya kesan ‘menjual’ data-data dari Indonesia untuk asing hanya demi gelar “master” atau “professor.”
Di lingkup dunia kerja, seorang karyawan di level dua biasanya tidak berani menegur atasannya di level satu, “Pak, sudah waktu Dzuhur nih. Gimana kalo rapatnya rehat, trus kita shalat dulu?”
Atau ketika pak boss datang maka para karyawan di level dua atau tiga pasti mulai lomba “senyum p*psodent,” namun lomba tersebut selesai ketika pak boss berlalu dan seorang ‘office boy’ sedang mengepel lantai.
Ibnu Qudamah dalam “Minhajul Qasidin” berkata, “Ketika bergaul dengan manusia, engkau harus:
1. menjaga kehormatan diri tanpa menyombongkan diri
2. merendahkan diri tapi jangan sampai menghinakan dirimu sendiri
3. menemui rekan dengan muka yang bersahabat, tanpa menunjukkan ‘mental terjajah’ atau takut.”
Nah, sosok pribadi Muslim pantang untuk memiliki mental terjajah seperti di atas.
Semoga kita masih ingat bahwa Allah pernah berfirman seperti ini:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia (karena kamu) mengajak kepada kebaikan (yang berdasarkan ajaran Islam) dan mencegah kejahatan dan (terutama karena kamu) beriman kepada Allah,” (Ali-Imran: 110). (3 September 2011/4 Syawal 1432 H)