Uncategorized

Tuntunan Islam tentang Memberi Nama kepada Bayi


Oleh Syeikh Muhammad Suwaid

Ketika seorang bayi dilahirkan, penghormatan pertama yang diberikan kepadanya adalah memberinya nama yang baik dan julukan yang mulia. Nama yang baik akan benar-benar terpatri di dalam jiwa sejak pertama kali mendengarnya. Demikianlah yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada para hambaNya. Allah sendiri mewajibkan kepada kita agar memanggilNya dengan nama-namaNya yang mulia.
وَلِلَّهِ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰ فَٱدۡعُوهُ بِهَاۖ وَذَرُواْ ٱلَّذِينَ يُلۡحِدُونَ فِيٓ أَسۡمَٰٓئِهِۦۚ سَيُجۡزَوۡنَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ١٨٠
Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan,” (QS Al-A’raaf: 180).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga memerintahkan kita agar mensifatNya dengan sifat-sifat yang luhur. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
قُلِ ٱدۡعُواْ ٱللَّهَ أَوِ ٱدۡعُواْ ٱلرَّحۡمَٰنَۖ أَيّٗا مَّا تَدۡعُواْ فَلَهُ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ وَلَا تَجۡهَرۡ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتۡ بِهَا وَٱبۡتَغِ بَيۡنَ ذَٰلِكَ سَبِيلٗا ١١٠
Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu,” (QS Al-Isra: 110).
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam telah memilihkan nama-nama yang baik bagi putra beliau. Dan Muhammad bin Hanafiyah mengambil nama beliau sebagai bentuk penghormatan, pemuliaan dan penghormatan kepada beliau, (Abul Hasan Al-Mawardi, Nasihatul Muluk, hal. 166).
Hal itu berdasarkan riwayat Abu Ya’la di dalam Musnad Ahmad dari Muhammad bin Hanafiyah dari Ali Radhiyallahuanhu bahwa beliau meminta izin kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam jika nanti dikaruniai seorang anak akan diberi nama dengan nama beliau dan diberi julukan dengan julukan beliau. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pun mengizinkannya. Ketika anak itu lahir, maka dia diberi nama Muhammad dan julukannya adalah Abul Qasim.
Husain Asad mengatakan, “Hadist ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Timizi, Ibnu Saad dalam kitab At-Thabaqat, dan Hakim dalam Al-Mustadrak yang sekaligus menshahihkannya dan disepakati pula oleh Dzahabi.”
Abu Dawud dan Nasa’i meriwayatkan dari Abu Wahib Al-Jusyami bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Namailah (anak-anakmu) dengan nama-nama para Nabi. Sedangkan nama yang paling disukai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman, dan nama yang paling benar adalah Harits dan Hammam, sedangkan nama yang paling buruk adalah Harb dan Murrah,(Sanad hadist ini Majhul, namun hadist ini dikuatkan oleh hadist-hadist lain yang shahih. Lihat Jami’al Ushul, 1/357, ditahqiq oleh Al-Arnauth).
Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Darda Radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
Sesungguhnya kalian nanti pada hari kiamat akan dipanggil dengan nama-nama kalian sendiri dan nama-nama ayah kalian. Maka baguskanlah nama-nama kalian.”
Hadist ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab Shahihnya dengan rijal yang tsiqah. Namun di dalamnya terdapat keterputusan rawi (inqitha’).
Imam Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Nama yang paling disukai oleh Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman.”
Sedangkan Thabrani meriwayatkan secara marfu’ dari Abu Basrah, “Sebaik-baik nama kalian adalah Abdullah dan Abdurrahman serta Harits,” (Hadist shahih. Lihat Shahih Al-Jami: 3269).
Selanjutnya para sahabat pun mengamalkan hadist ini sehingga Ibnu Shalah mencatat bahwa sahabat yang memiliki nama Abdullah ada sekitar 220 orang, sedangkan Al-Iraqi mengatakan bahwa jumlah keseluruhannya mencapai 300 orang, (Syeikh Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani, Al-Manhal Al-Lathif fi Ushul Al-Hadist, hal. 194).
Adalah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memberi nama putra Abbas (Ibnu Abbas) dengan nama Abdullah.
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas mengatakan, “Ummu Fadhl bin Harits menceritakan kepadaku dengan mengatakan, ‘Ketika sedang berjalan, saya bertemu dengan Nabi ketika beliau berada di Hijir Ismail. Beliau bertanya, ‘Wahai Ummu Fadhl!” “Labbaik,” jawabku. Beliau pun bersabda, “Sesungguhnya engkau sedang mengandung jabang bayi laki-laki.”
Aku berkata, “Bagaimana hal itu bisa terjadi? Apakah kaum Quraisy telah mengadakan kesepakatan untuk tidak melahirkan perempuan?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya engkau akan melahirkan apa yang saya katakan (bayi laki-laki). Maka dari itu, jika engkau melahirkannya, bawalah dia kemari!”
Maka ketika aku telah melahirkannya, aku bawa bayiku ke hadapan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan beliau kemudian menamainya Abdullah. Selanjutnya, beliau bersabda, “Bawalah dia pergi, kelak engkau akan mendapatinya sebagai orang yang pintar.” Lalu aku bawa anakku kepada suamiku, Abbas, dan aku ceritakan peristiwa tadi kepadanya. Dia pun kemudian tersenyum lantas pergi menemui Nabi.
Abbas adalah seorang yang berwajah tampan dan perawakan yang tinggi tegap. Ketika melihat Abbas, beliau bangkit untuk mengecup keningnya dan mendudukkannya di sebelah kanan beliau. Beliau lantas bersabda, “Ini adalah pamanku. Siapa yang suka silakan menganggap pamannya sebagai ayahnya.” Abbas berkata, “Bagaimana bisa begitu, ya Rasulullah?” Beliau bersabda, “Kenapa tidak aku katakan demikian, sedangkan engkau adalah pamanku dan sisa-sisa dari ayahku. Paman adalah ayah,” (Ibid).
Imam Muslim dan Abu Dawud juga meriwayatkan hadist dari Ibnu Abbas Radhiyallahuanhu bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Semalam aku dikaruniai seorang putra lalu aku beri nama dengan nama ayahku, Ibrahim.”
Imam Muslim di dalam Shahihnya meriwayatkan dari Jabir Radhiyallahuanhu bahwa dia berkata, “Salah seorang di antara kami dikarunai seorang anak lelaki lalu dia menamakannya Al-Qasim. Maka kami katakan kepadanya, “Kami tidak akan menjulukimu dengan sebutan Abul Qassim, dan kami tidak mau mengucapkan selamat kepadamu.” Dia kemudian pergi menghadap Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan menyebutkan hal tersebut. Beliau lantas bersabda, “Namai putramu dengan Abdurrahman.”
Dalam riwayat Muslim yang lain juga disebutkan bahwa Jabir berkata, “Salah seorang di antara kami dikarunai seorang anak lelaki lalu dia menamakannya Muhammad. Maka kaumnya kemudian berkata kepadanya, ‘Kami tidak akan membiarkanmu memberikan nama putramu dengan nama milik Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Dia lalu pergi dengan menggendong anaknya untuk menghadap Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Dia berkata kepada Nabi, ‘Ya Rasulullah. Aku dikaruniai seorang putra yang baru lahir. Lalu aku beri nama Muhammad. Namun kaumku mengatakan kepadaku, ‘Kami tidak akan membiarkanmu memberikan nama putramu dengan nama milik Rasulullah.”
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian bersabda, “Namai putra-putramu dengan menggunakan namaku (Muhammad), namun jangan memakai julukanku (Abul Qasim), karena sesungguhnya aku adalah Qasim (pembagi) yang membagi di antara kalian.”
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menegaskan bahwa umat-umat beriman di zaman dahulu terbiasa memberikan nama anak-anak mereka dengan nama-nama para Nabi mereka dan orang-orang shalih. Imam Muslim meriwayatkan hadist dari Mughirah bin Syu’bah bahwa dia berkata, “Ketika saya tiba di Najran, mereka menanyakan kepadaku, ‘Sungguh kamu menyebut nama ‘Wahai Saudara Harun’ dan menyebut Musa sebelum Isa dengan begini dan begitu.’
Ketika kami tiba di hadapan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, aku tanyakan hal tersebut kepadanya lalu beliau menjawba, “Sesungguhnya mereka itu terbiasa memberi nama dengan nama-nama para Nabi dan orang-orang saleh mereka yang hidup sebelum mereka.”
Hadist ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, Nasai, Abdurrahman bin Humaid, Ibnu Abi Syaibah, dan lain-lain, (Lihat Husnul Uswa, hal. 135).
Seorang sahabat mulia, Zubair bin Awwam, memilihkan nama untuk anak-anaknya dengan nama-nama para sahabat yang sudah syahid. Ini dengan harapan kiranya anak-anaknya kelak mengikuti langkah para syuhada sehingga meraih derajat syahadah di jalan Allah.
Zubair mengatakan, “Thalhah bin Ubaidillah At-Tamimi menamakan anak-anaknya dengan nama-nama para Nabi. Dia tahu bahwa tidak ada Nabi sesudah Nabi Muhammad dan aku memberi nama anak-anakku dengan nama-nama para syuhada agar kelak mereka bisa meninggal secara syahid di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
Bertolak dari kaidah inilah dia menamakan putra-putranya. Dia memberi nama Abdullah mengikuti nama Abdullah bin Jahsyi, salah seorang syuhada perang Uhud; memberi nama Mundzir mengikuti sahabat Mundzir bin Amru Al-Anshari yang berasal dari Bani Sa’idah; memberi nama Urwah mengikuti nama sahabat Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi; memberi nama Hamzah mengikuti sahabat Hamzah bin Abdul Muthalib, salah seorang syuhada Perang Uhud; memberi nama Ja’far mengikuti Ja’far bin Abi Thalib, salah seorang syuhada Perang Mu’tah; memberi nama Mush’ab mengikuti nama sahabat Mush’ab bin Umair, pembawa bendera dan salah seorang syuhada Perang Uhud; memberi nama Ubaidah, mengikuti nama sahabat Ubaidah bin Harits, salah seorang syuhada Perang Badar; memberi nama Khalid mengikuti nama sahabat Khalid bin Sa’id, salah seorang syuhada Perang Maraj As-Shifr; dan memberi nama Umar mengikuti sahabat Umar bin said, saudara kandung Khalid, yang terbunuh ketika Perang Yarmuk.
Setelah anak diberi nama, maka kedua orang tuanya diberi julukan dengan menggunakan namanya.
Abu Dawud dan Nasai meriwayatkan dari Abu Syuraih bahwa dia dijuluki Abdul-Hakam. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian bersabda kepadanya, “Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah Al-Hakam (Pemberi keputusan) dan hanya kepadaNya keputusan hukum dibuat.”
Abu Syuraih berkata, “Sesungguhnya kaumku jika berselisih pendapat mengenai sesuatu mereka datang kepadaku. Lalu aku beri keputusan di antara mereka dan akhirnya kedua kubu yang bersengketa pun ridha dengan keputusan yang aku berikan.” Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Bagus sekali kalau begitu. Lalu apakah kamu memiliki anak?”
Aku menjawab, “Saya memiliki anak yang masing-masing bernama Syuraih, Muslim, dan Abdullah.” “Lalu siapa yang tertua?” tanya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Saya menjawab, “Syuraih.” Nabi lalu bersabda, “Kalau begitu, engkau berjuluk Abu Syuraih,” (Isnad hadist ini shahih. Lihat Jami Al-Ushul: 1/373, ditahqiq oleh Al-Arnauth).Hadist ini juga diriwayatkan oleh Hakim dengan tambahan, “Lalu beliau mendoakan kebaikan untuknya dan juga untuk putranya.”
Dikatakan dalam Kitab Syahrus Sunnah bahwa Al-Hakam adalah sebutan bagi seorang hakim yang setiap memberi keputusan tidak pernah tertolak. Sifat ini tidak layak bagi selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ini berdasarkan firmanNya:
أَوَ لَمۡ يَرَوۡاْ أَنَّا نَأۡتِي ٱلۡأَرۡضَ نَنقُصُهَا مِنۡ أَطۡرَافِهَاۚ وَٱللَّهُ يَحۡكُمُ لَا مُعَقِّبَ لِحُكۡمِهِۦۚ وَهُوَ سَرِيعُ ٱلۡحِسَابِ ٤١
Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dialah Yang Maha cepat hisab-Nya,” (QS Ar-Ra’du: 41).
Bertolak dari hadist di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang diberi julukan dengan menggunakan putra tertuanya. Jika tidak mempunyai putra tertua, maka dijuluki dengan menggunakan putri tertuanya. Demikian juga halnya dengan wanita. Dia diberi kunyah (julukan) dengan menggunakan putra tertuanya, dan jika tidak memilikinya, maka dijuluki dengan menggunakan putri tertuanya,” (Syahrus Sunnah, hal. 615).
Oleh karena itu, dianjurkan untuk memberikan julukan seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau pernah memanggil anak kecil dengan menggunakan julukannya, dan bukan dengan menggunakan namanya sendiri. Beliau bercanda dengan mengatakan, “Wahai Abu Umair, apa yang sedang dilakukan oleh Nughair?” (HR Muslim).
Disadari atau tidak, dalam masalah penamaan anak ini, setan turut menggoda manusia agar diberi nama-nama yang buruk dan nama-nama yang tidak dituntunkan.
Tirmidzi meriwayatkan hadist dari Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Ketika Hawa mengandung, Iblis mengelilinginya sehingga ketika melahirkan, anaknya kemudian meninggal. Iblis lalu mengatakan, ‘Namailah anakmu dengan nama Abdul Harist, karena dengan begitu ia akan hidup.’ Hawa kemudian memberi nama ini dan akhirnya ia pun hidup. Hal itu merupakan bisikan dan perintah Setan.”
Ada beberapa nama yang dimakruhkan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, di antaranya adalah seperti yang disebutkan dalam riwayat-riwayat hadist berikut ini.
Janganlah menamai anakmu dengan nama Yasar, atau Rabah, atau Najih, atau Aflah,” (HR Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud).
“Aku benar-benar melarang seseorang untuk menamai anaknya dengan Rafi, Barakah, dan Yasar,” (HR Tirmidzi).
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam juga pernah mengubah nama-nama buruk para sahabat beliau. Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahuanha bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mengganti nama yang buruk, di antaranya mengubah nama Barrah menjadi Zainab. (Isnadnya kuat. Lihat Shahihul Jami: 4994).
Imam Muslim dan Abu Dawud meriwayatkan dari Muhammad bin Amru bin Atha bahwa dia menceritakan, “Aku beri anakku nama Barrah, lalu Zainab binti Abi Salamah berkata kepadaku bahwa Rasulullah melarang nama tersebut, padahal aku sudah terlanjut menamainya Barrah. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian bersabda, “Janganlah kamu menganggap suci diri kalian karena Allah lebih tahu tentang siapa ahli kebaikan di antara kalian.”
Para sahabat bertanya, ‘Lalu nama apa yang harus kami berikan?” Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Namakanlah Zainab.”
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam juga pernah mengganti nama Ashiyah menjadi Jamilah.
Imam Muslim dan Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mengubah nama Ashiyah menjadi Jamilah.
Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam juga mengubah nama Ashram menjadi Zur’ah. Abu Dawud meriwayatkan dari Basyir bin Maimun dari pamannya Usamah bin Ukhduri, bahwa ada seseorang yang bernama Ashram yang sedang berada di antara sekelompok orang yang datang menghadap Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau lalu bertanya kepadanya, “Siapa namamu?”Ia menjawab, “Ashram.” Beliau lalu bersabda, “Tidak, tetapi (gantilah namamu menjadi Zur’ah).”
Bagaimana memilihkan nama yang baik untuk anak?
Ada tiga pilihan di dalam memberikan suatu nama kepada anak.
1. Nama itu diambil dari nama-nama ahli agama, para nabi, dan rasul, serta hamba-hamba Allah yang saleh. Hal ini diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah yang mempunyai nama yang luhur dengan cara mencintai mereka dan menghidupkan nama-nama mereka.
Demikian juga meneladai Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam memilihkan nama untuk para kekasihNya. Atau sebagaimana yang diajarkan di dalam syariat agama, seperti yang disebutkan di dalam hadist bahwa nama yang paling dicintai Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah Abdullah dan semisalnya.
Syaikh Dahlawi Rahimahullah di dalam bukunya, Hujjatullah Al-Balighah mengatakan, “Ketahuilah bahwa tujuan syariat yang paling agung adalah menjadikan zikrullah (mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala) sebagai pendamping setia setiap hamba Allah, sehingga akan terwujud lidah-lidah yang senantiasa menyebut nama Allah.
Dalam memberikan nama anak dengan nama-nama yang baik itu juga berarti menyiarkan tauhid. Adalah bangsa Arab zaman dahulu–juga bangsa-bangsa lainnya–memberikan memberikan nama anak-anak mereka dengan nama-nama sesembahan mereka. Ketika Allah mengutus Nabi untuk menegakkan pilar-pilar tauhid, maka beliau juga mengatur pemberian nama sedemikian rupa.
Ada dua nama yang paling dicintai Allah–yaitu Abdullah dan Abdurrahman–di samping juga setiap nama yang disandarkan kepada salah satu dari nama-nama Allah karena keduanya merupakan nama-nama Allah yang paling populer dan juga tidak digunakan kepada selain Allah. Berbeda dengan selain dari keduanya.
Dengan demikian, Anda bisa mengetahui rahasia disunnahkannya memberikan nama dengan nama Muhammad dan Ahmad. Banyak kelompok yang memberikan nama anak-anak mereka dengan menggunakan nama-nama pendahulu yang agung di mata mereka. Hal itu juga mengingatkan akan agama dan juga sebagai sebuah bentuk pengakuan sebagai ahli agama.
2. Singkat, ringan diucapkan, mudah dilafalkan dan cepat diingat.
3. Mempunyai makna yang baik, sesuai dengan keadaan yang diberi nama, serta sesuai dengan kelas, agama dan martabatnya, (Lihat Nashihatul Muluk, hal. 166). Wallahu’alam bish shawwab.

BACA JUGA:  Kisah Karomah Umar bin Khattab

Irfan Nugroho

Hanya guru TPA di masjid kampung. Semoga pahala dakwah ini untuk ibunya.

Tema Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button