Adab kepada Tetangga dari Kitab Sahih Adab Islamiyah
Pembaca yang semoga dirahmati Allah, berikut adalah adab kepada tetangga dalam ajaran Islam. Diterjemahkan dari Kitab Sahih Al-Adab Al-Islamiyah karya Syaikh Wahid Abdussalam Bali dengan penambahan catatan penjelasan oleh Irfan Nugroho (Staf Pengajar Pondok Pesantren Tahfizhul Quran At-Taqwa Sukoharjo)
[25] Adab dengan Tetangga:
Tidak Menyakiti Tetangga
Di dalam dua kitab Sahih dari Abi Hurairah Radhiyallahu Anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺbersabda:
“Siapa saja yang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya dia tidak menyakiti tetangganya. Siapa saja yang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya dia memuliakan tamu. Siapa saja yang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya dia mengatakan yang baik-baik saja, atau kalau dia tidak bisa mengatakan yang baik-baik, mendingan dia diam,” (Sahih Bukhari: 6018. Sahih Muslim: 47).
1. Imam Bukhari memberi judul hadis ini, “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka jangan menyakiti tetangganya,” (Fathul Bari).
2. Seperti apa aplikasinya? Imam Ath-Thabrani meriwayatkan dari Muadz bin Jabal bahwa hak tetangga antara lain:
– Jika dia berutang, berilah utang
– Jika dia minta tolong, berikan pertolongan
– Jika dia sakit, jenguklah
– Jika dia butuh, berilah
– Jika dia masih butuh, berilah lagi
– Jika dia mendapat kebaikan, berikan ucapan selamat
– Jika dia ditimpa musibah, hiburlah dia
– Jika dia mati, layatlah jenazahnya
– Jangan meninggikan bangunan melebihi bangunannya sehingga menghalangi sirkulasi udara, tanpa seizin dia
– Jangan menggangunya dengan aroma masakanmu kecuali engkau memberinya
– Jika engkau membeli buah, berilah sebagian kepada mereka
– Jika engkau tidak berniat memberinya, masukkan buah-buahan itu ke rumah secara rahasia, jangan sampai anakmu keluar membawa buah-buah itu hingga anak tetanggamu iri, (Riwayat At-Thabrani).
Ada juga tambahan, “Apabila dia melakukan kekeliruan, engkau menutupinya.”
Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Abi Hurairah Radhiyallahu Anhu yang mengatakan bahwa seorang pria berkata:
“Wahai Rasulullah, ada seorang wanita yang terkenal dengan banyak melakukan salat sunah, banyak puasa sunah dan banyak sedekah, tetapi dia menyakiti tetangganya dengan lisannya.”
Maka Rasulullah ﷺ bersabda:
“Dia di neraka.”
Kemudian lelaki itu berkata lagi kepada Rasulullah ﷺ:
“Wahai Rasulullah, ada seorang wanita yang terkenal dengan sedikit puasa, sedikit sedekah, dan sedikit salat sunahnya, dia hanya bersedekah dengan sepotong keju, tetapi dia tidak menyakiti tetangganya dengan lisannya.”
Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda:
“Dia di surga,” (Musnad Ahmad: 9675. Al-Arnauth: Hasan).
Menjaga Tetangganya dari Keburukannya
Imam Muslim meriwayatkan dari Abi Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah ﷺbersabda:
“Tidak akan masuk surga, siapa saja yang tetangganya tidak aman dari ‘bawaiq-nya’,” (Sahih Muslim: 46).
1. Bawaiq adalah jamak dari baiqah, yaitu malapetaka, musibah, dan bencana, (Syarah Nawawi ala Sahih Muslim).
2. Tidak masuk surga ada dua makna:
– Orang yang menghalalkan perbuatan buruk berupa mengganggu tetangga. Orang seperti ini kafir dan tidak akan masuk surga selama-lamanya,
– Orang yang tidak masuk surga ketika orang-orang beruntung memasuki surga. Orang ini ditunda masuk surga karena salah satu dari dua skenario; 1) dia dibalas di neraka lalu dimasukkan surga, atau 2) dia mendapat ampunan Allah kemudian langsung masuk surga tanpa mampir neraka, (Idem).
3. Haram menyakiti tetangga, baik dengan ucapan maupun perbuatan, termasuk memutar TV atau radio dengan suara keras, atau memutar bacaan Quran dengan suara keras sehingga mengganggu tetangga, atau membuang sampah di dekat pintu tetangganya, menghalangi pintu masuk ke rumahnya, atau pohon yang mangklung ke pekarangan tetangganya, (Syarah Riyadhus Shalihin li Ibni Utsaimin: 308).
Memuliakan tetangga
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abi Syuraih Al-‘Adawi Radhiyallahu Anhu yang mengatakan bahwa dia mendengar dengan telinganya sendiri dan dia melihat dengan matanya sendiri ketika Nabi ﷺ bersabda:
“Siapa saja yang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya dia memuliakan tetangganya. Siapa saja yang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya dia memuliakan tamunya dengan hadiah.”
Kemudian Syuraih bertanya kepada Nabi ﷺ:
“Apa yang dimaksud dengan hadiah (kepada tamu), Ya Rasulallah?”
Maka Rasulullah ﷺ bersabda:
“Menjamunya siang dan malam, selama tiga hari. Apa-apa yang kamu berikan di hari ke-4 dan seterusnya akan dianggap sebagai sedekah untuk tamu tersebut. Siapa saja yang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya dia mengatakan yang baik-baik saja, atau kalau tidak bisa yang mendingan diam,” (Sahih Bukhari: 6019).
1. Perintah memuliakan tamu itu berbeda-beda, sesuai perbedaan individu dan kondisi, (Fathul Bari)
2. Hukum menjamu tamu ada 3: 1) fardhu ain (wajib), 2) fardhu kifayah (kolektif), 3) mustahab (sunah), menyesuaikan kondisi si tamu, (Idem).
3. Imam Syafii dan Muhammad bin Al-Hakam berpendapat wajibnya menjamu tamu bagi orang kota maupun orang desa, (Syarah Nawawi ala Sahih Muslim bab Anjuran Menghormati Tetangga dan Tamu…).
Imam Muslim meriwayatkan dari Abi Syuraih Al-Khuzai bahwa Nabi ﷺbersabda:
“Siapa saja yang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya dia berbuat ihsan kepada tetangganya,” (Sahih Muslim: 48).
Memperhatikan Tetangga
Di dalam Ash-Shahihain dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺbersabda:
“Tidak henti-hentinya Jibril mewasiatkan kepada diriku tentang tetangga, sampai-sampai aku mengira bahwa tetangga juga bakal mendapat jatah warisan,” (Sahih Bukhari: 6015).
1. Tetangga di sini mencakup muslim, kafir, ahli ibadah, orang fasik, sahabat, musuh, warga asing, warga pribumi, yang memberi manfaat, yang memberi madarat, kerabat, orang yang tidak memiliki hubungan kekeluargaan, orang yang dekat rumahnya, dan orang yang jauh rumahnya, (Fathul Bari).
2. Syaikh Abu Muhamamd bin Abi Jamrah (gurunya Ibnu Hajar) berkata, “Memelihara tetangga adalah kesempurnaan iman. Dulu orang jahiliah menjaga hal ini. Wujud berwasiat tentang tetangga adalah dengan memberi berbagai kebaikan kepadanya sesuai kemampuan (memberi hadiah, salam, wajah ceria, perhatian, menolong, menasihati), serta menolak berbagai gangguan terhadapnya,” (Idem).
Memberi Hadiah Makanan dan yang Semisal
Imam Muslim meriwayatkan dari Abi Dzar Radhiyallahu Anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺbersabda:
“Apabila engkau memasak sayur berkuah, maka perbanyaklah airnya, lalu lihatlah jumlah keluarga tetanggamu dan berilah sebagian kepada mereka dengan cara yang baik atau patut,” (Sahih Muslim: 2625).
CATATAN:
1. Hendaknya bagi setiap orang yang diberi keluasan rezeki oleh Allah agar menyisihkan sebagian rezekinya untuk tetangganya dengan cara yang baik, (Syarah Riyadhus Shalihin li Ibni Utsaimin: 307).
2. Bukan terbatas pada masakan yang berkuah. Makanan yang tidak berkuah pun disunahkan untuk dibagikan kepada tetangga, (Idem).
Imam At-Tirmizi meriwayatkan suatu hadis yang beliau sendiri mengatakan bahwa hadis itu hadis yang hasan dari Mujahid bahwa seekor kambing disembelih di rumah Abdullah bin Amr, kemudian ketika dia datang, dia berkata:
“Apakah kalian sudah memberi hadiah kepada tetangga kita yang Yahudi itu? Hendaknya kalian memberi hadiah kepada tetangga kita yang Yahudi itu, karena aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tak henti-hentinya Jibril memberi wasiat kepadaku tentang tetangga, sampai-sampai aku mengira bahwa tetangga juga bakal mendapat jatah warisan,” (Sunan At-Tirmizi: 1943. At-Tirmizi: Hasan Garib. Al-Albani: Sahih).
Menjaga Kehormatan dan Harta Tetangga
Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari Miqdad bin Al-Aswad Radhiyallahu Anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺpernah berkata kepada para sahabatnya:
“Apa pendapat kalian tentang zina?”
Mereka (para sahabat) menjawab:
“Allah dan RasulNya telah mengharamkan zina, dan zina akan tetap haram sampai Hari Kiamat.”
Kemudian Rasulullah ﷺbersabda:
“Sungguh, dosa seseorang berzina dengan sepuluh wanita adalah lebih ringan daripada dosa seseorang berzina dengan istri tetangganya.”
Kemudian beliau bertanya lagi kepada para sahabat:
“Apa pendapat kalian tentang mencuri?”
Para sahabat berkata:
“Allah dan RasulNya telah mengharamkannya, dan akan senantiasa haram.”
Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda:
“Dosa seseorang mencuri dari 10 rumah orang lain adalah lebih ringan daripada dosa seseorang mencuri dari rumah tetangganya,” (Musnad Ahmad: 23854. Al-Arnauth: Jayyid).
Memuliakan tetangga terdekat
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Anhuma yang berkata kepada Rasulullah:
“Ya Rasulullah. Saya memiliki dua orang tetangga. Kepada tetangga yang mana seharusnya saya memberikan hadiah?”
Kemudian Rasulullah ﷺ menjawab:
“Kepada yang paling dekat dengan pintu rumahmu,” (Sahih Bukhari: 2259).
1. Perasaan tetangga terdekat harus diperhatikan, karena tetangga terdekat adalah pihak yang tahu apa yang masuk ke rumah kita daripada tetangga yang jauh, (Rassyul Barad Syarah Adabul Mufrad: 107).
2. Tetangga terdekat adalah yang paling cepat menjawab jika ada perkara-perkara penting yang terjadi pada tetangganya, apalagi di waktu-waktu yang biasanya banyak orang lalai, itulah mengapa tetangga terdekat lebih berhak mendapat hadiah dan perhatian khusus, (Idem).
3. Pentingnya mendahulukan ilmu daripada amal. Itulah mengapa Ibunda Aisyah Radhiyallahu Anhuma bertanya tentang hukum dari suatu permasalahan sebelum bergegas dalam beramal, (Idem).
Menghadiahkan Susu kepada Tetangga
Di dalam Ash-Shahihain dari Urwah dari Aisyah Radhiyallahu Anhuma bahwa beliau berkata kepada Urwah:
“Wahai Urwah putra saudariku! Aku pernah mendapati 3 hilal dalam 2 bulan (hilal awal bulan pertama, hilal awal bulan kedua, dan hilal akhir bulan kedua yang merupakan hilal awal bulan ketiga – Fathul Bari). Selama itu pula pernah dapur Rasulullah tidak mengepul.”
Urwah pun berkata kepada Ibunda Aisyah:
“Wahai Bibi, apa yang membuat Bibi dan Nabi bisa bertahan hidup selama itu?”
Ibunda Aisyah berkata:
“Dua benda hitam, yaitu kurma dan air (warna kurma Madinah memang hitam, sedang air disebut hitam diikutkan dengan kurma karena pada dasarnya air tidak memiliki warna. Seperti orang Arab mengatakan Abyadhan (dua benda putih) yang merujuk pada susu dan air – Fathul Bari). Sampai kemudian Rasulullah memiliki tetangga dari kalangan Anshar yang mereka memiliki pemberian (manihah adalah istilah orang Arab untuk pemberian unta – Fathul Bari), lalu mereka biasa memberikan air susu kepada Rasulullah dan beliau memberi minum kepada kami,” (Sahih Bukhari: 2567).
1. Pada hadis ini terdapat anjuran untuk saling memberi hadiah meskipun sedikit, sebab hadiah yang banyak tidak dapat dilakukan dengan mudah setiap saat. Kemudian bila yang sedikit dilakukan berkesinambungan, niscaya akan menjadi banyak, (Fathul Bari)
2. Faidah lain dari hadis ini, kata Ibnu Hajar, adalah disukainya sikap saling menyayangi dan larangan membebani diri, (Idem)
3. Orang yang memiliki sesuatu hendaknya mengutamakan orang yang tidak memiliki apa-apa, (Idem)
4. Seseorang boleh menyebutkan kondisinya yang sulit setelah Allah memberi kelapangan kepadanya dengan maksud mengingat nikmat Allah dan memotivasi orang lain untuk mengikutinya, (Idem).
Tidak Meremehkan Hadiah dari/kepada Tetangga meskipun Sedikit
Di dalam Ash-Shahihain dari Abi Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi ﷺbersabda:
“Wahai para muslimah! Jangan menganggap remeh pemberian kepada tetangga kalian meski hanya seujung kuku kambing,” (Sahih Bukhari: 2566).
1. Firsin arti dasarnya adalah tulang yang sedikit dagingnya. Kata ini digunakan untuk kambing sebagai perumpamaan untuk pemberian yang sedikit, (Fathul Bari).
2. Anjuran untuk memberi hadiah meski hanya sedikit. Jangan merasa sungkan atau perkewuh memberi sesuatu yang sepele atau sedikit kepada tetangga. Justru yang baik adalah memberikan yang sedikit daripada tidak sama sekali, (Idem).
3. Hadis ini juga bisa dimaknai bahwa seseorang tidak boleh meremehkan pemberian yang sedikit dari tetangganya, (Idem).
Tetangga Tidak Melarang Tetangganya Menggunakan Temboknya jika Dia Membutuhkan
Di dalam Ash-Shahihain dari Abi Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah ﷺpernah bersabda:
“Jangan sampai tetangga terhadap tetangganya melarang menyandarkan kayunya di dindingnya.”
Kemudian Abu Hurairah menambahkan:
“Mengapa aku melihat kalian berpaling dari ketentuan ini? Demi Allah, kalau sampai terjadi, akan aku lempar kayu-kayu itu di pundak-pundak kalian,” (Sahih Bukhari: 2463).
1. Imam Bukhari memberi judul hadis ini, “Tetangga tidak boleh Melarang Tetangganya untuk Menyandarkan Kayu di Dindingnya.”
2. Ada dua pendapat dalam hal ini:
– Orang yang menyandarkan kayu di dinding tetangganya tidak perlu minta izin. Kalau tetangganya menolak, boleh dipaksa oleh pemerintah setempat agar berkenan temboknya disandari kayu tetangganya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, mazhab Malikiyah, dan mazhab Syafiiah yang lama.
– Orang yang menyandarkan kayu di dinding tetangganya harus mendapat izin dari tetangganya. Ini adalah pendapat mazhab Hanafiah dan pendapat yang masyhur di kalangan mazhab Syafiiah versi baru, (Fathul Bari).
3. Ibnu Hajar berkata, “Yang memakai pendapat pertama (wajib mengizinkan tetangga menyandarkan kayu di dindingnya – red) harus dipahami dalam konteks apabila si pemilik kayu itu sangat hajat untuk menyandarkan kayunya dan tindakannya menyandarkan kayu di dinding tetangganya itu tidak membawa dampak buruk bagi pemilik dinding,” (Idem).
Mencintai Tetangga seperti Mencintai Diri Sendiri
Imam Muslim meriwayatkan di dalam Sahihnya dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi ﷺbersabda:
“Seseorang dari kalian tidak akan sempurna imannya sampai dia mencintai untuk saudaranya,” atau beliau juga mengatakan, “untuk tetangganya sebagaimana dia mencintai untuk dirinya sendiri,” (Sahih Muslim: 45).
1. Syaikh Abu Amr bin Ash-Shalah, guru Imam An-Nawawi, berkata: “Sebagian orang mengatakan bahwa menyukai kebaikan bagi saudaranya terkadang sulit diimplementasikan, padahal tidak demikian maksudnya,” (Syarah Nawawi Ala Sahih Muslim).
2. Yang dimaksud adalah “keimanan seseorang dari kalian tidak sempurna sampai dia mencintai saudaranya seislam, sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri,” (Idem).
3. Poin 2 diimplementasikan dengan “mencintai kebaikan yang didapat oleh tetangganya, sehingga dia tidak ingin merebut kebaikan itu dari saudaranya, tidak ingin mengurangi sedikit pun nikmat yang didapat saudaranya itu,” (Idem).
4. Melakukan poin 3 itu “mudah bagi orang yang hatinya selamat dan bersih, tetapi sulit bagi orang yang hatinya penuh dengki,” (Idem).