Fiqih

Marah ketika Batasan-Batasan Allah Dilanggar

Pertanyaan: Assalamualaikum Warahmatullahi Wa Barakaatuh. Saya pernah mendengar riwayat bahwa Rasulullah ﷺ hanya marah karena Allah, meskipun beliau adalah manusia yang paling kalem di situasi lainnya. Wajah beliau berubah merah karena marah dalam beberapa keadaan tertentu. Pertanyaan saya adalah, kapan kita diperbolehkan untuk menunjukkan marah yang serupa? Jazaakallahu khaira
Jawaban oleh Tim Fatwa IslamWeb, Diketuai oleh Syekh Abdullah Faqih Asy-Syinqitti
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang hak untuk diibadahi kecuali Allah, dan bahwa Muhammad ﷺ adalah hamba dan utusanNya.
Seperti yang Anda sebutkan di dalam pertanyaan, Rasulullah ﷺ tidak pernah marah untuk urusan pribadi beliau. Beliau ﷺ akan marah hanya karena Allah, kapan saja ketika batasan-batasan Allah dilanggar. Inilah kriteria bolehnya marah, dan inilah jawaban atas pertanyaan Anda, “Kapan diperbolehkan untuk menunjukkan marah yang serupa?”
Anda boleh marah ketika Anda melihat batasan-batasan Allah dilanggar. Imam Al-Bukhari Rahimahullah menulis satu bab di dalam Sahih-nya, “Boleh marah dan kasar karena Allah.” Di situ beliau mengutip banyak hadis yang menunjukkan marahnya Rasulullah ﷺ di beberapa situasi yang berbeda, serta bagaimana marahnya Rasulullah ﷺ di semua keadaan selalu hanya karena Allah. Beliau ﷺ marah pada situasi seperti itu untuk menekankan tentang keagungan perintah Allah, seperti yang dikatakan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asyqalani di dalam Fathul Bari.
Marahnya umat Islam karena Allah adalah tanda keimanan. Tidak marah (ketika batasan-batasan Allah dilanggar) adalah pemicu kemurkaan Allah. Abu Hayyan Rahimahullah meriwayatkan dari Malik bin Dinar Rahimahullah yang berkata:
“Malaikat menyuruh para malaikat untuk menghancurkan satu desa tertentu. Malaikat berkata, “Ya Rabb kami, di dalamnya adalah hambaMu yang taat.” Maka Allah Ta’ala berkata, “Awali dengan orang tersebut, karena wajahnya tidak pernah berubah (marah karena Allah) ketika dia melihat laranganku dilanggar,” (Tafsir Al-Bahr Al-Muhith).
Abu Hayyan Rahimahullah juga berkata, “Seorang ulama menulis surat kepada seorang ahli ibadah yang zuhud yang meninggalkan Madinah untuk pergi ke tengah gurun untuk tujuan beribadah. Surat itu berbunyi, ‘Engkau telah meninggalkan Madinah yang menjadi tujuan hijrah Nabi Muhammad ﷺ, dan yang di sini wahyu Allah diturunkan kepadanya, kemudian engkau tinggal di tengah gurun.’
Maka ahli ibadah itu menjawab, ‘Bagaimana saya bisa tinggal di satu tempat yang berada di bawah otoritas Anda, ketika saya tidak pernah melihat wajah Anda berubah merah dengan kemarahan karena Allah?’”
Wallahu’alam bish shawwab.
Fatwa No: 277159
Tanggal: 5 Rabiul Awal 1436 (26 Desember 2014)
Sumber: IslamWeb.Net
Penerjemah: Irfan Nugroho (Staf Pengajar di Pondok Pesantren Tahfizhul Quran At-Taqwa Sukoharjo)

BACA JUGA:  Fikih Dorar: Sunah terhadap Orang Meninggal

Irfan Nugroho

Hanya guru TPA di masjid kampung. Semoga pahala dakwah ini untuk ibunya.

Tema Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button