Asas-asas Pendidikan Indonesia dan Manifestasinya dalam Sistem Pendidikan Indonesia
Oleh: Irfan Nugroho
Pengantar
Sistem pendidikan Indonesia mengenal adanya tiga asas-asas pendidikan. Asas yang pertama adalah asas Tut Wuri Handayani (berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti ‘Jika di belakang mengawasi dengan awas’). Asas pendidikan yang kedua adalah asas ‘Belajar Sepanjang Hayat;’ sedang asas yang terakhir adalah asas ‘Kemandirian dalam Belajar.’
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan secara singkat konsep dasar ketiga asas pendidikan di Indonesia tersebut. Selain itu, penulis juga bermaksud untuk ikut menjelaskan apa saja manifestasi ketiga asas pendidikan tersebut dalam dunia pendidikan Indonesia modern.
Asas Tut Wuri Handayani
Dari kutipan tersebut kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwasanya tujuan dari pembelajaran ala Taman Siswa – dan pendidikan di Indonesia pada umumnya – adalah menciptakan “kehidupan yang tertib dan damai (Tata dan Tenteram, Orde on Vrede)” (Tirharahardja, 1994: 119). Dalam perkembangan selanjutnya, Perguruan Taman Siswa menggunakan asas tersebut untuk melegitimasi tekad mereka untuk mengubah sistem pendidikan model lama – yang cenderung bersifat paksaan, perintah, dan hukuman – dengan “Sistem Among” khas ala Perguruan Taman Siswa.
Sistem Among berkeyakinan bahwa guru adalah “pamong.” Sesuai dengan semboyan Tut Wuri Handayani di atas, maka pamong atau guru di sini lebih cenderung menjadi navigator peserta didik yang “diberi kesempatan untuk berjalan sendiri, dan tidak terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa” (Tirtarahardja, 1994: 120).
Jika menilik Sistem Pendidikan Nasional Indonesia, seperti apa yang tercantum dalam Undang-undang Nomer 23 Tahun 2003, maka konsep Tut Wuri Handayani termanifestasi ke dalam sistem KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Peran guru dalam sistem KTSP lebih cenderung sebagai pemberi dorongan karena adanya pergeseran paradigma pengajaran dan pembelajaran, dari “teacher oriented” kepada “student oriented.”
Dalam KTSP, guru bukan lagi sekedar “penceramah” melainkan pemberi dorongan, pengawas, dan pengarah kinerja para peserta didik. Dengan sistem kurikulum yang terbaru ini, para pendidik (guru) diharapkan mampu melejitkan semangat atau motivasi peserta didiknya. Hal ini lantaran proses pengajaran dan pembelajaran hanya akan berjalan lancar, efektif dan efisien manakala ada semangat yang kuat dari para peserta didik untuk mengembangkan dirinya melalui pendidikan. Maka bukan tidak mungkin, jika KTSP juga merupakan wujud manifestasi dari asas pendidikan Indonesia “Kemandirian dalam Belajar.”
Asas Kemandirian dalam Belajar
Kurikulum KTSP tentunya sangat membantu dalam agenda mewujudkan Asas Kemandirian dalam Belajar. Prof. Dr. Umar Tirtarahardja (1994) lebih lanjut mengemukakan bahwa dalam Asas Kemandirian dalam Belajar, guru tidak hanya sebagai pemberi dorongan, namun juga fasilitator, penyampai informasi, dan organisator (Tirtarahardja, 1994: 123). Oleh karena itu, wujud manifestasi Asas Kemandirian dalam Belajar bukan hanya dalam berbentuk kurikulum KTSP, namun juga dalam bentuk ko-kurikuler dan ekstra kurikuler – sedang dalam lingkup perguruan tinggi terwujud dalam kegiatan tatap muka dan kegiatan terstruktur dan mandiri.
Dalam bukunya “Contextual Teaching and Learning” Elanie B. Johnson (2009) berpendapat bahwa dalam Pembelajaran Mandiri, seorang guru yang berfaham “Pembalajaran dan Pengajaran Kontekstual” dituntut untuk mampu menjadi mentor dan guru ‘privat’ (Johnson, 2009: 177). Sebagai mentor, guru yang hendak mewujudkan kemandirian peserta didik diharapkan mampu memberikan pengalaman yang membantu kepada siswa mandiri untuk menemukan cara menghubungkan sekolah dengan pengalaman dan pengetahuan mereka sebelumnya. Sebagai seorang guru ‘privat,’ seorang guru biasanya akan memantau siswa dalam belajar dan sesekali menyela proses belajar mereka untuk membenarkan, menuntun, dan member instruksi mendalam (Johnson, 2009).
Lebih lanjut Johnson mengungkapkan bahwa kelak jika proses belajar mandiri berjalan dengan baik, maka para peserta didik akan mampu membuat pilihan-pilihan positif tentang bagaimana mereka akan mengatasi kegelisahan dan kekacauan dalam kehidupan sehari-hari (Johnson, 2009: 179). Dengan kata lain, proses belajar mandiri atau Asas Kemandirian dalam Belajar akan mampu menggiring manusia untuk tetap “Belajar sepanjang Hayatnya.”
Asas Belajar sepanjang Hayat
Jika diterapkan dalam sistem pendidikan yang berlaku saat ini, maka pendekatan yang sangat mungkin digunakan untuk mencapai tujuan ini adalah melalui pendekatan “Pembalajaran dan Pengajaran Kontekstual.” Sedang dalam konteks pendidikan di Indonesia, konsep “Pembelajaran dan Pengajaran Kontekstual” sedikit banyak telah termanifestasi ke dalam sistem Kurikulim Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Selain KTSP – yang notabene merupakan bagian dari pendidikan formal, maka Asas Belajar sepanjang Hayat juga termanifestasi dalam program pendidikan non-formal, seperti program pemberantasa buta aksara untuk warga Indonesia yang telah berusia lanjut, dan juga program pendidikan informal, seperti hubungan sosial dalam masyarakat dan keluarga tentunya.
Daftar Pustaka:
- Johnson, Elanie B. PH. D., (2009): Contextual Teaching and Learning; Mizan Media Utama, Bandung.
- Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. (2005): Pengantar Pendidikan. Rineka Cipta, Jakarta.
nice post..read my article here http://blackkarisma.blogspot.com/2009/09/eacher-as-students-facilitator.html