Penjelasan Hadist Keenam Bab Ikhlas dalam Niat Kitab Riyadhus Shalihin #2
Diriwayatkan dari Abu Ishaq Sa’ad bin Abu Waqqash Malin bin Uhaib bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay Al-Qurasyi As-Zuhri Radhiyallahu Anhu (beliau salah seorang dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga), ia berkata:
Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam menjengukku ketika haji Wada’ karena aku sakit keras. Kemudian saya berkata, “Yaa Rasulullah! Sesungguhnya sakitku sangat keras seperti yang engkau lihat, sedangkan aku ini seorang hartawan dan hanya mempunyai seorang anak perempuan saja yang akan mewarisi hartaku. Bolehkah saya mengeluarkan sedekah dua pertiga dari harta saya?”
Beliau menjawab, “Tidak!” Aku bertanya lagi, “Bagaimana kalau separuhnya?” Maka beliau menjawab, “Tidak boleh!” Aku bertanya lagi, “Bagaimana kalau sepertiganya?” Beliau menjawab, “Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya maka itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada orang lain. Tidaklah kamu menafkahkan suatu nafkah dengan tujuan untuk mendapat keridhaan Allah, maka kamu akan mendapat pahala dari nafkahmu itu, sekalipun sesuap makanan yang kamu masukkan ke dalam mulut istrimu.”
Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah! Apakah saya akan tertinggal (masih tetap hidup) sesudah sahabat-sahabat saya (meninggal dunia)?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya kamu tidak akan tertinggal supaya kamu mengerjakan suatu amal dengan tujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah sehingga dengan amal itu derajatmu akan bertambah. Atau barangkali akan diakhirkan ajalmu sehingga banyak kaum yang mengambil manfaat darimu dan ada pula beberapa kaum lain yang menderita kerugian karenamu.”
Nabi bersabda, “Ya Allah…! Sempurnakanlah hijrah sahabat-sahabatku dan janganlah Engkau kembalikan mereka ke tempat yang mereka tinggalkan. Kasihan Saad bin Khaulah, yang selalu disayangkan oleh Rasulullah karena dia mati di Mekkah,” (Muttafaq Alaihi).
Penjelasan Hadist oleh Sheikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Dalam hadist ini terdapat banyak pelajaran:
Pertama, di antara kebiasan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam adalah menjenguk orang sakit, maka dari itu beliau juga menjenguk Sa’ad bin Abu Waqash Radhiyallahu Anhu. Dalam menjenguk orang sakit, terdapat banyak faidah, baik bagi yang menjenguk maupun bagi yang dijenguk (yang sakit). Penjenguk telah menunaikan hak saudaranya yang Muslim, karena di antara hak saudara Muslimmu adalah menjenguknya ketika dia sakit.
Kedua, jika seseorang menjenguk orang sakit berarti dia mendekati buah surga hingga pulang.
Ketiga, hal itu menjadi peringatan bagi penjenguk tentang nikmat kesehatan yang diberikan Allah kepadanya, karena ketika dia melihat orang sakit itu dan melihat sakit yang menimpanya, kemudian dia melihat dirinya dalam keadaan sehat wal afiat, maka dia akan tahu bahwa Allah telah memberinya nikmat kesehatan, karena sesuatu itu diketahui dengan lawannya.
Keempat, menjenguk orang sakit bisa mempererat rasa cinta kasih, karena jika seseorang menjenguk orang sakit, maka jengukannya ini akan selalu diingat dalam hati orang yang sakit itu dan setiap kali ingat dia akan semakin tambah cinta kepadanya. Fenomena seperti ini tampak jika orang yang sakit itu sembuh dari penyakitnya, lalu bertemu denganmu maka dia akan berterima kasih kepadamu dan Anda dapati hatinya masih terkesan dengan jengukan Anda tersebut.
Adapun bagi orang yang dijenguk, juga mendapatkan banyak faidah, karena jengukan itu akan menjadikannya tenang, lapang dada, menghilangkan keresahan dan kegalauan dari penyakit. Kadang-kadang orang yang menjenguk itu juga memberikan nasihat-nasihat yang baik, agar bertaubat, membantunya menyelesaikan hutang dan sebagainya sehingga jengukan itu memberikan faidah bagi yang dijenguk.
Maka dari itu para ulama berkata, “Orang yang menjenguk orang sakit sebaiknya menghiburnya, seperti mengatakan, “Masya Allah, kami kelihatan baik hari ini dan sebagainya.” Tidak pas kalau misalnya mengatakan, “Kamu sudah sembuh,” karena bisa jadi pada hari itu dia lebih parah dari kemarin. Tetapi hendaknya mengatakan, “Kamu kelihatan membaik hari ini.” Karena seorang mukmin adalah baik di segala keadaannya, jika ditimpa musibah dia baik dan jika mendapat kebahagiaan dia juga tetap baik.”
Ajal telah ditentukan jika memang ajal orang yang sakit itu datang. Jika dia masih punya kekayaan dunia, maka biarkan harta itu ada dan jangan dihabiskan.
Harus pula diingatkan agar dia senantiasa bertaubat, tetapi hendaknya tidak dikatakan secara terus terang bahwa penyakitnya sudah parah, karena bila dikatakan, mungkin dia akan ketakutan sehingga berkata kepada dirinya sendiri, “Jika sakit saya tidak berbahaya, tentu saya tidak diingatkan agar bertaubat.”
Tetapi mungkin mengajaknya bertaubat, mungkin bisa dimulai dengan menyebutkan ayat-ayat dan hadist-hadist yang memuji orang-orang yang bertaubat yang dapat mengingatkan orang sakit. Begitu juga perlu diingatkan agar berwasiat, tetapi tidak mengatakan secara langsung seperti, “Berwasiatlah kamu karena ajalmu telah dekat.” Karena bila dikatakan seperti itu, tentu hatinya akan gelisah, tetapi untuk mengingatkannya, bisa dilakukan dengan menyebutkan kisah-kisah yang menyebutkan tentangnya.
Para ulama berkata, “Jika orang yang sakit itu minta dibacakan doa, maka hendaklah dibacakan doa-doa kepadanya, lalu ditiupkan kepadanya dengan doa-doa yang diriwayatkan dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.”
Misalnya doa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam,
اللّهمَّ رَبَّ النَّسِ أَذْهِبِ الْبأْسَ, اِشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَ يُغادِرُ سَقَمًا
“Ya Allah, Tuhan Manusia, Penghilang penyakit, sembuhkan, Engkau Maha Penyembuh, tidak ada Zat Penyembuh kecuali Engkau, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.”
Atau doa beliau
رَبَّنَا اللّهُ الَّذِي فِيْ السَّمَاءِ تَقَدَّسَ اسْمُكَ أَمْرُكَ فِي السَّمَاءِ والأَرْضِ كَمَا رَحْمَتُكَ فِي السَّمَاءِ فَاجْعَلْ رَحْمَتَكَ فِي الأَرْضِ أَنْتَ رَبُّ الطَّيِّبِيْنَ اغْفِرْ لَنَا حَوْبَنَا وَخَطَايَانَا أَنْزِلْ رَحْمَةً مِنْ رَحْمَتِكَ وَشِفَاءً مِنْ شِفَائِكَ عَلَى هَذَا الْوَجَعِ فَيَبْرَأُ
“Wahai Tuhan Allah yang ada di langit, Mahasuci Nama-Mu, perintahMu mencakup langit dan bumi, sebagaimana Engkau menurunkan rahmatMu di langit, maka turunkanlah rahmatMu di bumi, ampunilah kami, kesalahan dan dosa kami, Engkaulah Tuhan orang-orang baik, turunkan rahmatMu dan sembuhkan penyakit ini, niscaya akan sembuh.”
Atau dibacakan kepadanya surat Al-Fatihah, karena surat Al-Fatihah merupakan ruqyah yang dibacakan kepada orang sakit dan kepada orang yang digigit kalajengking atau ular dan sebagainya.
Yang penting, jika seseorang menjenguk orang sakit dan dia senang bila dibacakan doa-doa, maka hendaklah dia membacakannya, supaya dia tidak meminta sendiri untuk dibacakan doa, karena Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Saya telah melihat 70.000 umatku yang masuk surga tanpa dihisab dan diazab,”
Kemudian bersabda,
“Mereka adalah orang-orang yang tidak meminta untuk diruqyah, tidak meminta orang lain untuk menempelkan besi panas (metode pengobatan kuno –edt), tidak meyakini ramalan datangnya nasib sial dan hanya kepada Allah mereka bertawakal.”
Begitu juga jika orang yang sakit itu senang bila kamu duduk lama di sisinya, maka duduklah di sampingnya berlama-lama, niscaya kamu akan mendapat kebaikan dan akan mendapatkan pahala. Hiburlah dia dan berikan kesenangan, karena mungkin dengan adanya kesenangan yang masuk ke dalam dirinya, itu menjadi sebab kesembuhannya. Karena kegembiraan yang dialami oleh orang sakit dan kelapangan dadanya merupakan sarana kesembuhan terbesar, maka berlama-lamalah duduk di sampingnya hingga kamu tahu bahwa dia telah bosan.
Adapun jika kamu melihat bahwa orang yang sakit itu merasa terbebani dengan kehadiranmu dan dia tidak senang jika kamu tinggal berlama-lama dengannya, atau dia lebih senang jika kamu pergi, supaya dia bisa tinggal bersama keluarganya, misalnya, maka janganlah kamu segera pergi begitu saja, tetapi tanyakan dulu keadaannya (basa-basi) kemudian pulanglah.
Faedah kelima dari hadist tersebut di atas adalah meneladani akhlak Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yang baik. Tidak diragukan lagi bahwa Nabi adalah manusia yang paling baik akhlaknya, karena itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis, berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. dan Sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya. dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung,” (QS Al-Qalam: 1-4).
Manusia yang paling agung akhlaknya dan paling baik budi pekertinya adalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.
Beliau selalu mengunjungi sahabat-sahabatnya dan mengucapkan salam kepada mereka. Jika melewati anak-anak kecil, maka beliau juga mengucapkan salam kepada mereka. Wallahu’alam bish shawwab.
Bersambung…