Fikih Dorar: Hukum Menjenguk Orang Sakit Muslim dan Kafir
Pembaca rahimakumullah apa hukum menjenguk orang sakit muslim? Apa hukum menjenguk orang sakit kafir? Berikut adalah terjemahan dari Mausuatul Fiqhiyah Dorar Saniyah. Semoga bermanfaat. Teruskan membaca!
HUKUM MENJENGUK ORANG SAKIT
A – HUKUM MENJENGUK ORANG SAKIT MUSLIM
Menjenguk orang sakit yang beragama Islam dianjurkan,[1] dan hal ini merupakan kesepakatan dari empat mazhab fiqih: Hanafi,[2] Maliki,[3] Syafi’i,[4] dan Hanbali,[5] serta telah dinyatakan adanya ijma’ (kesepakatan ulama)[6] dalam hal ini.
DALIL DARI SUNAH
1 – Dari Al-Bara bin ‘Azib Radhiyallahu Anhu yang berkata:
Nabi ﷺ memerintahkan kami untuk melakukan tujuh hal dan melarang kami dari tujuh hal lainnya. Beliau memerintahkan kami untuk mengikuti jenazah dan menjenguk orang sakit…, (Sahih Bukhari: 1239. Sahih Muslim: 2066).
2 – Dari Abu Hurairah Radhiyallau Anhu yang mengatakan bahwa beliau mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: menjawab salam, menjenguk orang sakit…, (Sahih Bukhari: 1240. Sahih Muslim: 2612).
3 – Dari Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:
Berilah makan orang yang lapar, jenguklah orang sakit, dan bebaskan tawanan…, (Sahih Bukhari: 5373).
4 – Dari Jabir bin Abdulllah Radhiyallahu Anhuma yang berkata:
Aku pernah sakit, maka datanglah Nabi ﷺ menjengukku…, (Sahih Bukhari: 5651. Sahih Muslim: 1616).
5 – Dari ‘Urwah bahwa Usamah bin Zaid Radhiyallahu Anhu mengabarinya:
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menaiki keledai dengan pelana yang dilapisi kain dari Fadak, dan memboncengkan Usamah di belakangnya, kemudian beliau pergi menjenguk Sa’d bin ‘Ubadah sebelum terjadinya perang Badar…, (Sahih Bukhari: 5663. Sahih Muslim: 1798).
6 – Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, budak Rasulullah ﷺ, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda:
Barang siapa yang menjenguk orang sakit, ia akan selalu berada di kebun surga.” Dikatakan: “Wahai Rasulullah, apa itu kebun surga?” Beliau menjawab: “Buah-buahannya,[7] (Sahih Muslim: 2568).
7 – Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat: ‘Wahai anak Adam, Aku sakit, namun engkau tidak menjenguk-Ku.’ Ia berkata: ‘Wahai Rabb, bagaimana aku menjenguk-Mu, padahal Engkau adalah Rabb seluruh alam?’ Allah menjawab: ‘Tidakkah engkau tahu bahwa hamba-Ku yang fulan sakit, namun engkau tidak menjenguknya? Tidakkah engkau tahu bahwa jika engkau menjenguknya, engkau akan mendapati-Ku di sisinya? (Sahih Muslim: 2569).
B –HUKUM MENJENGUK ORANG SAKIT KAFIR
Diperbolehkan menjenguk orang sakit dari kalangan dzimmi (non-Muslim yang hidup dalam perlindungan Islam), terutama jika diharapkan akan memeluk Islam. Ini adalah pendapat mazhab Hanafi,[8] Syafi’i,[9] dan salah satu riwayat dari Ahmad.[10] Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibn Hazm,[11] Ibn Abd al-Barr,[12] Ibn Taymiyyah,[13] al-Syaukani,[14] dan Ibn Utsaimin,[15] serta difatwakan oleh Lajnah Daimah.[16]
DALIL DARI SUNAH
Dari Anas Radhiyallahu Anhu yang berkata:
Ada seorang anak Yahudi yang menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika ia sakit, Nabi ﷺ datang menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepalanya dan bersabda kepadanya: ‘Masuk Islamlah.’ Anak itu melihat kepada ayahnya yang ada di sisinya, maka ayahnya berkata: ‘Taatilah Abu al-Qasim (Rasulullah) ﷺ.’ Anak itu pun masuk Islam, kemudian Nabi ﷺ keluar sambil bersabda: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka, (Sahih Bukhari:1356).
Kesimpulan dari Dalil:
Hal ini termasuk pergaulan yang baik yang bertujuan untuk menarik simpati mereka, mengajak mereka kepada Islam, dan membuat mereka tertarik kepadanya, (Fatwa Lajnah Daimah – Al-Majmuatul Ula: 24/138). Wallahua’lam
Karangasem, 11 November 2024
Irfan Nugroho (Persiapan mengantar adik ujian CPNS ke Jogja, semoga doa-doa baik adiknya dikabulkan Allah. Amin)
CATATAN KAKI
[1] Para ulama sepakat tentang disyariatkannya menjenguk orang sakit dan keutamaannya. Ibnu Hazm berkata: “Mereka sepakat bahwa menjenguk orang sakit adalah keutamaan.” (Maratib al-Ijma’, hal. 157). An-Nawawi berkata: “Para ulama sepakat tentang keutamaan menjenguk orang sakit.” (Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 16/124). Asy-Syaukani berkata: “Menjenguk orang sakit… disyariatkan berdasarkan ijma’.” (Nail al-Awthar, 4/22).
[2] (Al-Binayah) karya al-‘Aini (9/23). Lihat juga: (Al-Muhit al-Burhani) karya Ibnu Mazah (8/19).
[3] (Hasyiyah Al-Adawi) (2/624). Lihat juga: (Adz-Dzakhiroh) karya Al-Qarafi (13/310).
[4] (Al-Majmu’) karya An-Nawawi (5/111). Lihat juga: (Al-Bayan) karya Al-‘Imrani (3/10).
[5] (Al-Furu’) karya Ibnu Muflih (3/251). Lihat juga: (Al-Mughni) karya Ibnu Qudamah (2/334).
[6] Ibnu Abdul Barr berkata: “Menjenguk orang sakit adalah sunnah yang ditetapkan, dilakukan oleh Rasulullah SAW, diperintahkannya, dianjurkannya, dan beliau memberitakan tentang keutamaannya dengan berbagai ucapan… sehingga menjadi sunnah yang berlaku dan tidak ada perselisihan di dalamnya.” (At-Tamhid, 19/203). An-Nawawi berkata: “Menjenguk orang sakit adalah sunnah berdasarkan ijma’, baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal, dekat atau asin,” (Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 14/31).
[7] Ibnu Hajar berkata: “Dan ‘khurfah’ dengan dhammah pada huruf ‘kho’, sukunnya huruf ‘ro’, diikuti oleh huruf ‘fa’ dan kemudian ‘ha’: adalah buah ketika sudah matang; beliau menganalogikan pahala yang diperoleh dari menjenguk orang sakit dengan apa yang dipetik oleh orang yang memetik buah. Dan dikatakan bahwa yang dimaksud di sini adalah jalan, yang artinya bahwa penjenguk berjalan di jalan yang membawanya ke surga, dan penafsiran pertama lebih utama.” (Fath al-Bari, 10/113). Lihat juga: (Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 16/124). Ibnu Utsaimin berkata: “Artinya dia memetik buah-buahan surga selama dia terus duduk bersama orang yang sakit ini.” (Syarh Riyadh al-Salihin, 4/470).
[8] (Hasyiyah At-Tahthawi) (hal. 367). Lihat juga: (Tuhfah al-Fuqaha’) karya As-Samarqandi (3/344).
[9] (Al-Majmu’) karya An-Nawawi (5/112), (Mughni Al-Muhtaj) karya Al-Khatib Asy-Syarbini (1/329-330).
[10] (Kasyaf al-Qina’) karya Al-Buhuti (3/131). Lihat juga: (Ahkam Ahl Adh-Dhimmah) karya Ibnu Qayyim (1/427).
[11] Al-Muhalla: 3/403
[12] At-Tamhid: 24/276
[13] Al-Fatwa Al-Kubra: 5/545
[14] Nailul Authar: 8/77
[15] Fatwa Nur Ala Darbi: 21/5
[16] Fatwa Lajnah Daimah – Al-Majmuatul Ula: 24/138