Pendengar yang Baik
Irfan Nugroho
Bayangkan sebuah keadaan dimana Anda sedang bersama tiga orang teman Anda, katakanlah nama mereka adalah si A dan si B.
Dalam majelis tersebut Anda bercerita tentang apa yang Anda alami pada hari kemarin yang mungkin tidak begitu penting bagi orang lain namun hal tersebut adalah sesuatu yang special bagi Anda.
Baru sekitar dua kalimat Anda keluarkan dari mulut Anda, teman Anda si A menyela, “Oh… Itu sih sama kayak yang gue alamin kemaren..!”
Lantas apa reaksi Anda terhadap si A? Mungkin Anda akan berkata dengan bahasa agak lebay, “Please dech… Biarin gue kelarin ni cerita yah? Sesuatu bangetz sich?”
Kemudian si A terdiam dan Anda mulai melanjutkan cerita Anda.
Masuk pada kalimat ke enam, si A kemudian melakukan ‘interupsi’ lagi dengan berkata, “Nah itu persis banget seperti yang gue alamin… Gue tu kemaren begini begitu begini begitu bla bla bla bla… Alhamdulilah yah, gue kemaren begini, persis kayak cerita loe barusan…”
Jika Anda orang yang tega’an, mungkin Anda akan minta dia untuk diam barang sebentar agar Anda bisa menyelesaikan cerita Anda. Ya, bukan?
Maka gambaran logis dari teguran Anda yang kedua kali ini mungkin akan berakibat si A ‘mutung’ dan mengambil handphone dari sakunya dan mulai ‘update status’ FB atau sekedar main game.
Lain halnya dengan si B yang senantiasa mendengarkan cerita Anda, meski hanya senyam-senyum, ngangguk-ngangguk, dan sekali berkata, “Subhanallah… Dahsyat sekali…”
Ya, meski si B tidak banyak bicara, namun saya yakin bahwa Anda lebih cenderung ‘suka’ terhadap perilaku si B daripada si A. Bukan begitu?
Hal ini karena tabiat manusia diciptakan dengan dua telinga dan satu mulut yang kemungkinan besar adalah dimaksudkan agar kita lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Selain itu, kecenderungan manusia adalah ingin didengar alias ingin diperhatikan. Hal sama juga berlaku pada Anda yang ingin cerita Anda didengar, dan juga berlaku pada si A yang juga ingin didengar meskipun momennya lagi tidak tepat.
Di awal-awal kedatangan Islam, orang-orang Quraish menganggap Nabi Muhammad adalah seorang yang gila.
Maka suatu saat datanglah seorang bernama Dhumad, seorang tabib yang ahli dalam ilmu kesehatan kejiwaan.
Dhumad datang ke Mekkah dan orang-orang Mekkah mengatakan kepada Dhumad bahwa “orang gila” tersebut berada di dekat Dhumad.
Dhumad pun mendatangi Nabi Muhammad dan berkata kepada beliau, “Wahai Muhammad, saya adalah orang yang ahli sakit jiwa. Tuhan menyembuhkan siapapun yang Dia kehendaki melalui tanganku. Datanglah padaku dan aku akan mengobatimu.”
Dhumad pun mulai bercerita kesana-kemari menceritakan banyak hal kepada Nabi Muhammad.
Di sisi lain, manusia paling mulia ini senantiasa mendengarkan cerita Dhumad – seseorang yang menganggap Rasul sebagai orang gila dan pada saat itu ia belum masuk Islam.
Segera ketika Dhumad selesai bercerita, Rasul pun mengatakan, “Segala puji bagi Allah, kami menyembah Allah saja dan kami memohon pertolongan hanya kepada Allah semata. Siapapun yang Allah beri hidayah, tidak ada yang dapat menyesatkannya. Siapapun yang disesatkan oleh Allah, tidak ada yang dapat memberinya hidayah. Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah.”
Dhumad pun terkagum dengan perkataan Rasul tersebut dan meminta Rasul untuk mengulanginya dan Rasul pun mengulanginya.
Dhumad pun kemudian menyatakan bahwa Rasulullah Muhammad bukanlah orang gila, dan dia pun menyatakan diri masuk Islam di depan Rasulullah saat itu juga.
Indah bukan?
Begitu pula jika Anda mau menjadi pendengar yang baik bagi teman, istri, suami, atau siapapun orangnya.
Jadilah pendengar yang baik, hadapkan wajah Anda kepadanya. Gunakan ekspresi wajah yang menyenangkan ketika mendengar ceritanya dan perhatikan dampak dari menjadi pendengar yang baik.
“Keahlian kita dalam menyimak perkataan seseorang secara seksama akan membuat mereka menyayangi kita…” Sheikh Muhammad Adib Ar-Rahman Al-Arifi. (9 Dzulqa’dah 1432 H).