Keikhlasan dan Kejujuran para Salaf #2
Oleh Abdul Aziz Nashir Al-Julail & Baha’udin Fatih Aqil
Dari Muhammad bin Malik bin Daigham, dari tuanku, Abu Ayyub, ia berkata, “Suatu hari Abu Malik pernah berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Ayyub, waspadailah bahaya nafsumu terhadap dirimu sendiri. Sungguh, aku melihat bahwa kedudukan orang-orang mukmin di dunia tidak pernah berakhir. Demi Allah, jika akhirat tidak mendatangkan kebahagiaan bagi orang mukmin, sungguh ada dua perkara yang sudah terkumpul di dalam dirinya, yakni kedudukan di dunia, dan kesengsaraan di akhirat.’
Abu Ayyub berkata, ‘Aku pun bertanya, ‘Ayahku menjadi tebusannya, bagaimana mungkin akhirat tidak mendatangkan kebahagiaan bagi orang mukmin, padahal ia sudah berlelah-letih untuk Allah?’
Abu Malik menjawab, ‘Wahai Abu Ayyub, bagaimana mungkin amalnya diterima? Dan bagaimana mungkin dia bisa selamat? Betapa banyak orang yang telah menganggap bahwa dirinya telah berbuat baik, berkurban dengan baik, berniat baik, dan beramal baik, tetapi ketika dikumpulkan pada hari kiamat, semuanya dicampakkan ke wajahnya (tidak diterima),'” (Dalam Shifatush Shafwa: 3/360).
Imam Adz Dzahabbi meriwayatkan, dari Ahmad, dari Hammad, dari Ayyub, ia berkata, “Aku pernah mendapati ada orang di sini sembari mengatakan, ‘Apabila sudah diputuskan Allah, apabila sudah ditakdirkan Allah…’ Orang itu juga mengatakan, ‘Hendaklah seseorang bertakwa kepada Allah Azza Wa Jalla. Jika ia zuhud, hendaklah kezuhudannya tidak menyusahkan manusia. Sungguh, orang yang menyembunyikan kezuhudannya itu lebih baik daripada orang zuhud yang menampakkan kezuhudannya,” (Dalam Siyar A’laamin Nubalaa’: 6/19).
Dari kitab “Aina Nahnu Min Akhlaqish Salaaf”