Khutbah
Khutbah Jumat Desember 2019: Mewaspadai Bahaya Laten Riya’ (Pencitraan)
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ اَلَّذِي أَتَّمَ نِعْمَتَهُ وَأَكْمَلَ لَنَا الدِّ يْنَ وَشَرَعَ لَنَا مِنَ الأَعْمَلِ الصَّالِحَاتِ أَنْوَاعًا وَأَصْنَافًا لِنَتَقَرَّبَ بِهَا إِلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ أَكْرَمُ اَكْرَ مِيْنَ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْ لُهُ الْمُصْطَفَى عَلَى جَمِيْعِ الْمُرْسَلِيْنَ, صَلَّ اللّه عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَنٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ وَسَلِّمَ تَسْلِيْمَا.
أيُّهَا النَّاس اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إلاَّ وَأنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ قال تعالى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ } [آل عمران: 102]
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعْ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا} [الأحزاب: 71-70]
فَإِنْ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ وَخَيْرَ الهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Oleh Irfan Nugroho
Jamaah Sholat Jumat yang semoga dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta’ala…
Sahabat mulia Abu Hurairah Radhiyallahuanhu menceritakan sebuah kisah dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tentang tiga orang lelaki muslim yang meninggal dunia. Satu per satu dari ketiganya dipanggil menghadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala di Yaumul Hisab, hari ketika amalan di dunia dihitung dan ditimbang.
Pria pertama dipanggil, lalu Allah menunjukkan kepadanya nikmat akhirat yang akan didapatnya lantaran ia meninggal dalam keadaan mati syahid. Sebelumnya, Allah menanyai lelaki tersebut,
فما عملت فيها؟
(Apakah yang engkau amalkan sehingga dapat memperoleh kenikmatan-kenikmatan itu?)
Maka lelaki tersebut kemudian menjawab,
قاتلت فيك حتى اسُتشهدت
(Saya berperang untuk membela agamaMu -ya Tuhan- sehingga saya terbunuh dan mati syahid)
Maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjawab,
كذبت، ولكنك قاتلت لأن يقال: جريء، فقد قيل، ثم أمر به
(Engkau berdusta tetapi sebenarnya engkau berperang itu ialah supaya engkau dikatakan sebagai seorang yang berani hingga akhirnya mereka melakukan hal tersebut).
Maka, “lelaki tersebut disuruh minggir, kemudian diseret atas mukanya sehingga dilemparkan ke dalam api neraka.”
Lalu, datanglah lelaki kedua. Semasa hidupnya, ia adalah “seorang lelaki yang belajar sesuatu ilmu agama dan mengajarkannya serta membaca al-Quran.”
Sempat diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmat akhirat yang bakal ia terima lantaran amal perbuatannya di dunia. Akan tetapi, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menanyai lelaki tersebut,
فما عملت فيها؟
(Apakah yang engkau amalkan sehingga dapat memperoleh kenikmatan-kenikmatan itu?)
Lelaki tersebut kemudian menjawab,
تعلمت العلم وعلمته وقرأت فيك القرآن
(Saya belajar sesuatu ilmu dan saya pun mengajarkannya, saya juga membaca al-Quran untuk mengharapkan keridhaanMu).
Pernyataan itu langsung disanggah oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
كذبت، ولكنك تعلمت ليقال: عالم. وقرأت القرآن ليقال: هو قارئ، فقد قيل: ثم أُمر به،
(Engkau berdusta, tetapi sesungguhnya engkau belajar ilmu itu supaya engkau dikatakan sebagai seorang yang alim, juga engkau membaca al-Quran itu supaya engkau dikatakan sebagai seorang pandai dalam membaca al-Quran hingga mereka mengatakan yang demikian kepadamu).
Maka, “lelaki tersebut disuruh minggir, kemudian diseret atas mukanya sehingga dilemparkan ke dalam api neraka.”
Hingga akhirnya datanglah pria ketiga yang semasa hidupnya adalah “seorang lelaki yang telah dikaruniai kelapangan hidup oleh Allah dan diberi pula berbagai macam harta benda.”
Ia dihadapkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan diperlihatkan calon-calon kenikmatan syurgawi yang akan ia peroleh setelah Yaumul Hisab kelak. Akan tetapi, Allah menginterogasi pria tersebut terlebih dahulu,
فما عملت فيها ؟
(Apakah yang engkau amalkan sehingga dapat memperoleh kenikmatan-kenikmatan itu?)
Pria itu pun lantas menjawab,
ما تركت من سبيل تحب أن ينفق فيها إلا أنفقت فيها لك
(Tiada suatu jalanpun yang Engkau cinta kalau jalan itu diberikan nafkah, melainkan sayapun menafkahkan harta saya untuk jalan tadi karena mengharapkan keridhaanMu).
Pernyataan itu pun disanggah oleh Allah yang berfirman,
كذبت، ولكنك فعلت ليقال: جواد، فقد قيل، ثم أُمر به
(Engkau berdusta, tetapi engkau telah mengerjakan yang sedemikian itu supaya dikatakan: “Orang itu amat dermawan sekali” hingga mereka mengatakan yang demikian kepadamu)
Dan akhirnya, pria ketiga ini pun “disuruh minggir terus diseret atas mukanya sehingga dilemparkanlah ia ke dalam api neraka.”
Jamaah Shalat Jumat yang semoga senantiasa dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta’ala…
Hadist tersebut di atas adalah Hadist Qudsi riwayat Imam Muslim, yang kami kutip dari Kitab Riyadhus Shalihin nomor 1617.[i]
Jihad adalah amalan yang teramat sangat mulia. Keutamaannya telah mahsyur di kalangan umat, mulai dari janji pahala yang besar (QS An-Nisa: 74), diberi kelebihan daripada mereka yang duduk-duduk tidak berjihad (QS An-Nisa: 95-96), surga (HR Muslim, No. 1884),[ii] serta ia adalah amal perbuatan yang paling utama setelah iman kepada Allah (HR Muslim, No. 83).[iii]
Tiada pula yang akan menyangkal perihal banyaknya pahala dan keutamaan dari menuntut ilmu, belajar Quran serta mengajarkannya. Tiada yang menentang keshahihan hadist, “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya,” (HR Bukhari, dalam Riyadhus Shalihin, Hadist No. 993)[iv] juga hadist lain yang menyebutkan bahwa setiap huruf dari Al-Quran yang kita baca bernilai 10 kebaikan (HR Tirmidzi dalam Riyadhus Shalihin, Hadist No. 996).[v]
Dan, tiada pula yang akan menyangkal keutamaan sedekah dan infaq di jalan Allah. Banyak ulama dan juru dakwah yang menyampaikan hal tersebut untuk memotivasi kita untuk melakukan hal tersebut.
Akan tetapi, semua amalan tersebut menjadi sirna oleh karena adanya riya’. Yang mati karena berjihad jadi sia-sia karena ada riya’ di dalam hatinya ketika beramal. Yang mati dengan status sebagai orang berilmu, ahli al-Quran, ahli sedekah dan dermawan juga sia-sia karena amalnya ketika di dunia tak bisa terlindungi dari bahaya laten riya’.
Jamaah shalat Jumat yang semoga senantiasa dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta’ala…
Al-Alamah Sheikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mendefinisikan riya’sebagai, “Seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan sebaik-baiknya, dengan tujuan agar dilihat oleh orang lain,” (Al-Utsaimin, 2010: 592).[vi] Begitu pula dengan Sheikh Ahmad Farid Hafizhahullah yang menyebut riya’ sebagai, “Mencari kedudukan di hati manusia dengan memperlihatkan perilaku yang baik,” (Farid, 2007: 193).[vii] Dulu di Indonesia sering dikenal istilah pamer sebagai padanan kata dari riya’. Tetapi kini, ada istilah yang lagi nge-trend di kalangan media, yang mana istilah tersebut adalah sama dengan riya’, yakni pencitraan, atau kalau dalam bahasa Inggris disebut “Image building.”
Jamaah shalat Jumat rahimatulullah…
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menyebut riya’ sebagai syirik kecil (HR Ahmad, No. 428/429, dalam Adz-Dzahabi, 2007: 18-19).[viii] Riya’ disebut syirik kecil karena ia berpotensi menyetarakan ridha manusia, atau perhatian manusia, atau simpati manusia dengan ridha Allah. Setiap amal ibadah dan kebaikan yang seharusnya ditujukan hanya untuk meraih ridha Allah, justru dinodai dengan keinginan, syahwat, atau nafsu untuk meraih perhatian manusia, ridha manusia, simpati manusia, dukungan kelompok, atau suara rakyat ketika pemilihan umum.
Saudaraku jamaah shalat Jumat yang semoga dirahmati Allah…
Ikhlas, atuamengesakan Allah, atau tidak menyetarakan, menyamakan, atau menduakan suatu makhluk ciptaan dengan Allah Rabb semesta alam, adalah satu dari dua syarat diterimanya amal ibadah, yakni ikhlas karena Allah dan benar sesuai petunjuk syariat Islam.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam Surat Al-Kahfi ayat 110 menjelaskan dua syarat diterimanya amal:
فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًۭا صَٰلِحًۭا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya,” (QS Al-Kahfi: 110).
فَلْيَعْمَلْ عَمَلًۭا صَٰلِحًۭ
“Mengerjakan amal yang saleh,” artinya menjalankan peribadatan atau amal kebaikan dengan cara ‘yang sesuai dengan syari’at Allah” (Katsir, 2014: 608).[ix]
وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا
“Tidak menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Allah” artinya tidak membuat tandingan bagi Allah dalam peribadatan. Artinya, tidak menetapkan tujuan lain dalam beribadah kecuali hanya untuk meraih ridha Allah semata.
Shalat zuhur hanya akan diterima jika ia dilaksanakan empat rakaat, pada waktu yang ditentukan, dengan syarat-syarat sah yang terpenuhi, dan yang paling utama, niat pelaksanaannya pun harus semata karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jika kedua syarat di atas terpenuhi, in sya Allah amalan shalat zuhur akan diterima oleh Allah.
Akan celaka jika shalat zuhur yang dilaksanakan empat rakaat, pada waktu yang ditentukan, dan dengan syarat-syarat sah yang telah terpenuhi itu justru ternoda dengan niatan ingin diliput media massa sebagai pencitraan, atau hanya karena ingin berdiri sejajar dengan pimpinan di kantor atau perusahaan. Naudzubillahi min dzalik…
Inilah yang disebut oleh Allah dengan “kecelakaan” bagi orang yang shalat, yakni orang yang lalai dan orang yang memiliki nafsu riya’ ketika mengerjakanya.
.ٱلَّذِينَ هُمْ يُرَآءُونَ .ٱلَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ .فَوَيْلٌۭ لِّلْمُصَلِّينَ
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai terhadap shalatnya, yaitu orang yang menampak-nampakkan (riya’),” (QS Al-Ma’un: 4-6).
Sungguh ngeri ancaman Allah. Kita yang berjihad, berilmu, hafizul Quran, dermawan, dan bahkan senantiasa melaksanakan shalat, semua itu bisa saja berujung sia-sia, ditolak oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala jika ada riya’, sum’ah, atau pencitraan, di dalam pelaksanaannya.
Selain sia-sianya amal, atau ditolak amal ibadahnya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala hingga hanya berbuah capai dan lelah, ada pula beberapa dampak buruk dari bahaya laten riya’ atau pencitraan seperti:
1. Penyakit nifak
Riya’ banyak dijumpai oleh beberapa dari kita yang memiliki penyakit nifak. Inilah sifat yang dikenal dengan bermuka dua. Ketika sendiri kita enggan melakukan ketaatan, ketika dilihat orang, kita bersemangat melakukan kebaikan.
إِنَّ ٱلْمُنَٰفِقِينَ يُخَٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَٰدِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوٓا۟ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُوا۟ كُسَالَىٰ يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيلًۭا
“Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat mereka lakukan dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (ingin dipuji) di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali,” (QS An-Nisa: 142).
2. Dibongkarnya rahasia pencitraan tersebut di hadapan orang banyak
Dampak buruk lain dari penyakit riya’ adalah janji dari Allah bahwa Dia akan membongkar apa yang sesungguhnya tersembunyi di dalam dada para pengidap penyakit riya’. Sehebat apa pun keburukan disembunyikan, kelak ia akan terkuak juga.
Begitulah janji Allah dari lisan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam,
مَنْ يُسَمِّعْ يُسَمِّعِ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ
“Barangsiapa yang berbuat sum’ah (ingin didengar amalnya), maka Allah akan menyingkap hakikat dirinya. Barangsiapa yang berbuat riya’ (ingin dilihat amalnya), maka Allah akan membuka tabir kejelekannya,” (HR Muslim, No. 2987).[x]
Sheikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan frasa “membuka tabir kejelekannya,” dengan menyatakan, “Allah akan mengungkap keburukannya, mempermalukannya, dan menyebarkan aibnya kepada orang lain, sehingga mereka mengetahui bahwa orang tersebut adalah tukang riya’ (pelaku pencitraan), (2010: 605).
3. Terhalang dari mencium bau surga
Seseorang yang berkomitmen terhadap riya’ dijanjikan tidak bakal mencium bau surga, meski wangi surga itu sendiri bisa dicium dari jarak sejauh langit dan bumi. Dalam hadist shahih Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
من تعلم علمًا مما يبتغى به وجه الله عز وجل لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضًا من الدنيا، لم يجد عَرف الجنة يوم القيامة
“Barangsiapa yang menuntut ilmu yang seharusnya digunakan untuk mencari keridhaan Allah, lalu ia pelajari dengan maksud agar mendapat kenikmatan dunia, maka di hari Kiamat ia tidak akan mencium wangi surga,” (HR Abu Dawud, dalam Riyadhus Shalihin, Hadist No. 1620).[xi]
Persis seperti fragmen cerita dalam hadist yang kami sebutkan di awal khutbah. Seseorang yang hampir masuk surga karena terbiasa dengan menuntut ilmu-ilmu syar’i di dunia, ia justru diseret ke dalam neraka karena niatnya terkontaminasi oleh riya’.
Maka salah seorang salafush shalih, Bisyr Al-Hafi, pernah berkata, “Aku lebih suka mencari dunia dengan sepotong bambu daripada mencari dunia dengan agama,” (dalam Qudamah, 2010: 267).[xii]
أقول قولي هذا و أستغفر الله لي و لكم و لسائر المسلمين و المسلمات من كل ذنب فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم
Khutbah Kedua
الحمد لله على إحسانه والشكر له على توفيقه وامتنانه أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيمًا لشأنه وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه. اللهم فصل و سلم على هذا النبي الكريم وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد.
Jamaah shalat Jumat yang semoga dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta’ala…
Obat yang paling mujarab untuk penyakit riya’ adalah ikhlas karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ada pun kiat-kiat praktis seperti: 1) merahasiakan amal, 2) tidak menyebut-nyebut suatu amal yang pernah dikerjakan, 3) memperbarui niat ketika terbesit nafsu riya’, 4) mengikuti setiap amal dengan istighfar, serta 5) menghindari popularitas, maka semua itu akan senantiasa bermuara pada pelabuhan ikhlas. Semua kiat praktis tersebut adalah upaya-upaya untuk menjaga keikhlasan amal ibadah kita.
Sungguh indah nasihat mulia dari seorang ulama salafush shalih bernama Fudhail bin Iyadh yang menasihati kita tentang riya’:
“Hendaknya kamu tidak menyukai pujian dari manusia. Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’; sedangkan melakukan amal karena manusia adalah syirik. Ikhlas adalah apabila Allah menjaga dirimu dari keduanya,” (Adz-Dzahabi, 2007: 21).[xiii]
Semoga Allah melindungi kita dari riya’ dan syirik…
فاعلموا أن الله أمركم بأمر بدأ فيه بنفسه و ثنى بملائكته المسبحة بقدسه و ثلث بكم أيها المسلمون فقال عز من قائل إن الله و ملائكته يصلون على النبي يأيها الذين آمنوا صلوا عليه و سلموا تسليما. اللهم صل و سلم على نبينا محمد و عل آله و صحابته و من اهتدى بهديه و استن بسنته إلى يوم الدين. ثم اللهم ارض عن الخلفاء الراشدين المهديين أبي بكر و عمر و عثمان و علي و على بقية الصحابة و التابعين و تابع التابعين و علينا معهم برحمتك ي أرحم الرحمين.
اللهم إنا نسألك بكل اسم هو لك سميت به نفسك أو أنزلته في كتابك أو علمته أحدا من خلقك أو استأثرته في علم الغيب عندك أن تجعل القرآن ربيع قلوبنا و نور صدورنا و جلاء أحزاننا و ذهاب همومنا و غمومنا
اللهم اغفر للمسلمين و المسلمات و المؤمنين و المؤمنات الأحياء منهم و الأموات.
اللهم أعز الإسلام و المسلمين و أهلك الكفرة و المشركين و دمر أعداءك أعداء الدين
اللهم أصلح لنا ديننا الذي هو عصمة أمرنا و أصلح لنا دنيانا التي فيها معاشنا و أصلح لنا آخرتنا التي إليها معادنا و اجعل اللهم حياتنا زيادة لنا في كل خير و اجعل الموت راحة لنا من كل شر
اللهم أعنا على ذكرك و شكرك و حسن عبادتك
اللهم إنا نسألك الهدى و التقى و العفاف و الغنى و حسن الخاتمة
اللهم اغفر لنا و اوالدينا و ارحمهم كما ربونا صغارا
ربنا هب لنا من أزواجنا وذرياتنا قرة أعين و احعلنا للمتقين إماما
ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا و هب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب. ربنا آتنا في الدنيا حسنة و في الآخرة حسنة و قنا عذاب النار
عباد الله إن الله يأمركم بالعدل و الإحسان و إيتاء ذى القربى و ينهى عن الفحشاء و المنكر و البغي يعظكم لعلكم تذكرون فاذكروا الله العظيم يذكركم و اسألوه من فضله يعطكم و لذكر الله أكبر و الله يعلم ما تصنعون
[i] http://sunnah.com/riyadussaliheen/18/107
[ii] http://sunnah.com/muslim/33/175
[iii] http://sunnah.com/muslim/1/155
[iv] http://sunnah.com/riyadussaliheen/9/3
[v] http://sunnah.com/riyadussaliheen/9/9
[vi] Al-Utsaimin, Muhamamd bin Shalih. 2010. Syarah Riyadhus Shalihin Jilid 4. Penerjemah: Azhar Syef, et.al. Jakarta: Darus Sunnah Press. Hal. 592.
[vii] Farid, Ahmad. 2007. Gizi Hati. Penerjemah: Muhammad Suhadi. Solo: Aqwam. Hal. 193.
[viii]Adz-Dzahabi, Imam. 2007. Dosa-Dosa Besar. Penerjemah: Abu Zufar Imtihan Asy-Syafi’i. Solo: Pustaka Arafah. Hal. 18-19.
[ix] Katsir, Ibnu. 2014. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah: Tim Pustaka Ibnu Katsir. Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir. Hal. 608.
[x] http://sunnah.com/muslim/55/60
[xi] http://sunnah.com/riyadussaliheen/18/110
[xii] Qudamah, Ibnu. 2010. Minhajul Qasidin – Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk. Penerjemah: Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Hal. 267
[xiii]Adz-Dzahabi, Imam. 2007. Dosa-Dosa Besar. Penerjemah: Abu Zufar Imtihan Asy-Syafi’i. Solo: Pustaka Arafah. Hal. 21.