Kapan Jenazah Seseorang Tidak Dishalati?
Pertanyaan:
Ketika ada seseorang meninggal dunia, dalam keadaan seperti apa shalat jenazah tidak boleh dilaksanakan untuk jenazah tersebut sebelum jenazah itu dikuburkan?
Jawaban oleh Tim Fatwa IslamQA, di bawah pengawasan Syekh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid
Alhamdulillah…
Salat jenazah adalah fardhu kifayah, yang harus dilakukan untuk siapa saja yang meninggal dan secara Zahir masih muslim, meskipun dia melakukan dosa-dosa besar (kecuali mati dalam keadaan syirik, atau murtad).
An-Nawawi Rahimahullah berkata:
Melaksanakan shalat jenazah untuk seorang mayat adalah fardhu kifayah tanpa ada perbedaan pendapat di antara kami, yang artinya, ada konsensus ulama di dalamnya.
Akhir kutipan. al-Majmoo‘, 5/167
Tidak ada dalil syar’i yang menyatakan bahwa ada pengecualian dalam hal pelaksanaan salat jenazah untuk setiap muslim, kecuali seseorang yang mati syahid karena terbunuh di medan perang.
Ibn al-Qayyim Rahimahullah berkata:
Shalat jenazah tidak dilaksanakan untuk seseorang yang mati syahid karena terbunuh di medan perang, karena Rasulullah tidak melaksanakan salat jenazah untuk jenazah syuhada Perang Uhud, dan tidak diketahui bahwa beliau melaksanakan salat jenazah untuk mereka yang syahid ketika berperang bersama beliau. Hal yang sama juga dilakukan oleh generasi setelah beliau, para Khulafaur Rasyidin, gubernur mereka dan komandan mereka.
Akhir kutipan dari Zaad al-Ma‘aad, 3/217
Tentang janin yang keguguran, kalau janin itu belum berusia empat bulan, tidak ada salat jenazah untuk janin tersebut karena belum dianggap sebagai manusia dan ruhnya pun belum ditiupkan ke dalamnya. Kalau janin itu keguguran setelah empat bulan kehamilan, maka salat jenazah dilakukan untuknya.
Lajnah Daimah Arab Saudi berkata:
Kalau janin belum mencapai empat bulan, maka tidak dimandikan dan salat jenazah tidak dilakukan untuknya. Dia tidak diberi nama dan tidak ada aqiqah untuknya, karena ruh belum ditiupkan ke dalamnya.
Akhir kutipan dari Fataawa al-Lajnah ad-Daa’imah, 8/408
Ada beberapa individu yang keadaannya tidak jelas bagi orang lain, jadi orang berpikir bahwa individu tersebut adalah muslim dan mereka menyalatinya, padahal individu tersebut bukan muslim, bisa murtad atau munafik.
Shaykh Ibn ‘Uthaymeen Rahimahullah berkata:
Seseorang yang murtad, apapun jenisnya, tidak diperlakukan sama dengan orang yang kafir asli. Orang murtad harus kembali kepada Islam. Kalau dia kembali menjadi muslim, semua beres dan itu bagus. Kalau dia tidak kembali menjadi muslim, maka dia harus dieksekusi (dibunuh) sebagai orang kafir. Dia tidak dikubur dengan orang Islam lainnya dan salat jenazah tidak dilakukan untuknya.
Akhir kutipan dari Fataawa Noor ‘ala ad-Darb, 14/6
Tentang orang munafik, yaitu orang yang menyembunyikan kekafiran sedang luarnya nampak seperti muslim, kalau dia dikenal sebagai orang munafik, maka salat jenazah tidak dilakukan untuknya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تُصَلِّ عَلٰٓى اَحَدٍ مِّنْهُمْ مَّاتَ اَبَدًا وَّلَا تَقُمْ عَلٰى قَبْرِهٖ ؕ اِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَمَاتُوْا وَهُمْ فٰسِقُوْنَ
Dan janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan salat untuk seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), selama-lamanya dan janganlah engkau berdiri (mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik,” [QS. At-Taubah: 84]
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:
Kalau diketahui bahwa seseorang adalah munafik, tidak boleh menyalati jenazahnya atau berdoa memohonkan ampunan bagi dirinya. Kalau tidak diketahui apa-apa tentang seseorang, maka salat jenazah hendaknya dilakukan untuk orang tersebut. Kalau seorang individu mengetahui bahwa seseorang adalah munafik, dia tidak boleh menyalati jenazahnya, tetapi mereka yang tidak tahu kalau dia munafik boleh menyalati jenazahnya.
Umar Radhiyallahuanhu tidak menyalati jenazahnya seseorang kalau Hudzaidah tidak menyalati jenazah orang tersebut, karena ketika terjadi Perang Tabuk, dia tahu siapa saja orang-orang munafik yang berencana membunuh Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
Akhir kutipan dari Minhaaj as-Sunnah, 5/160
Wallahualam bish shawwab
Fatwa No: 153492
Tanggal: 14 November 2011
Sumber: IslamQA