Bahtera Yang Kandas – Menilik Manfaat dan Madharat Perceraian
Oleh Ust. Tri Asmoro Kurniawan
Rasanya, tidak ada manusia waras yang menghendaki perceraian dalam keluarganya.
Begitu banyak dampak negatif yang ditimbulkan dari peristiwa ini; kekerabatan yang putus, trauma psikologis yang dalam, anak-anak yang menjadi korban, tudingan miring masyarakat sekitar, hingga hilangnya rasa percaya diri.
Pada beberapa kasus malah berakhir tragis karena didera keputusasaan berkepanjangan.
Namun, mewujudkan keluarga yang nyaman, dipenuhi cinta dan kasih sayang (sakinah, mawaddah wa rahmah) di jaman seperti ini juga semakin sulit saja.
Seperti membangun istana pasir yang indah namun mudah hancur karena pondasinya yang rapuh.
Banyak keluarga modern yang gemerlap dalam penampilan, indah dalam penglihatan, namun kehilangan visi dan arah perjalanan.
Jiwa-jiwa mereka hampa dan merana. Pencapaian materi tidak bisa memenuhi kebutuhan akan kenyamanan batin mereka.
Faktanya, angka perceraian semakin tahun semakin meningkat tajam.
Kesakralan keluarga memudar dan komitmen berperan para anggotanya melemah.
Sedikit saja menemui hal-hal yang tidak mengenakkan dan tidak diinginkan, mereka bisa bubar jalan tanpa melihat akibatnya di masa mendatang.
Banyak bahtera keluarga yang kandas di tengah perjalanan, karam di tengah lautan yang dalam.
Penyesalan berkeluarga pun seolah menjadi wacana biasa dalam keseharian.
Seringkali, suasana keluarga jauh dari harapan karena datangnya riak-riak kecil yang akhirnya menjadi badai.
Prahara yang muncul memengaruhi kualitas kenyamanan dan mengganggu keikhlasan anggota keluarga, hingga kezhaliman terjadi nyaris sepanjang hari.
Kekerasan fisik dan psikis membuat rumah tidak lagi menjadi tempat yang nyaman dan aman.
Banyak yang kemudian tidak bisa bersabar, sehingga keinginan berpisah mulai melintas dalam angan.
Banyak pria dan wanita yang arogan, hanya mengenal bahasa perintah, larangan, hardikan, caci maki, buruk dalam pergaulan dengan anggota keluarga, ringan tangan, susah bertoleransi, emosional, mudah mengeluh, sulit berkomunikasi, posesif, hingga yang egois, hanya memikirkan diri sendiri dan sulit berbagi.
Apalagi jika semua itu ditambah dengan minimnya ilmu agama dan buruknya akhlak.
Berapa banyak suami dan istri yang hidup dalam kesulitan, bergulat dengan kesengsaraan dan penderitaan.
Dalam konteks seperti ini, berbicara tentang keutuhan keluarga menjadi sangat sulit.
Seolah mahligai rumah tangga yang menentramkan hanya sekedar utopi, mimpi indah yang mustahil mewujud dalam kehidupan nyata.
Apalagi jika tidak ada itikad baik dari kedua belah untuk meminta maaf, mengalah, dan siap memperbaiki diri.
Yang ada hanya menyalahkan pasangan, memenangkan perasaan sendiri, dan tidak sabar menghadapi hal-hal yang tidak mengenakkan.
Tanpa kesanggupan untuk berkorban, mereka tidak siap menghadapi kenyataan akan rumitnya persoalan dan beratnya tanggung jawab pernikahan.
Jika para suami yang menginginkan perpisahan, maka dia bisa menjatuhkan talak kepada istri mereka.
Hal ini karena hak menjatuhkan talak ada di tangan suami.
Jika mereka tidak berkenan melanjutkan pernikahan karena satu atau banyak alasan, perceraian bisa menjadi pintu darurat yang insyaallah, memberikan solusi meski pahit.
Namun bagaimana dengan para istri yang terpenjara dalam keluarga, menderita lahir batin, sedang para suami tidak menceraikan mereka?
Karena banyak suami yang kepedean dan merasa setiap wanita yang menjadi istri mereka pasti bahagia.
Mereka berat menerima kenyataan bahwa para istri itu menderita dan meminta pernikahan mereka diakhiri. Menuduh istri mencari-cari alasan perpisahan dan itu tidak syar’i.
Dalam keadaan seperti ini, Islam membolehkan wanita mengajukan gugatan cerai kepada suami dengan memberikan ganti rugi harta.
Dengan nominal yang tidak boleh melebihi mahar yang pernah mereka terima dahulu.
Inilah yang dinamakan al-khulu’.
Apabila suami menyetujuinya, maka rusaklah akad pernikahan keduanya (faskh) dan si wanita menunggu sekali haidh agar dapat menerima pinangan orang lain, dan kemudian menikah dengannya.
Dalam al-Mughni, Ibnu Qudamah rahimahullah, menjelaskan hikmah al-khulu’, “Al-khulu’ (disyari’atkan) untuk menghilangkan dharar (kerugian) yang menimpa wanita karena jeleknya pergaulan dan tinggal bersama orang yang tidak disukai dan dibencinya.”
Sedang Ibnul-Qayyim menyatakan dalam I’lam al-Muwaqi’in, bahwa Allah mensyari’atkan al-khulu’ untuk menghilangkan mafsadat yang berat, yang menimpa pasangan suami istri dan membebaskan salah satu pihak dari pasangannya.
Namun, apabila suami tidak menerima al-khulu’ istrinya, maka si istri dapat menunjuk hakim untuk memaksa suami untuk menerima gugatan cerai tersebut.
Memberikan pertimbangan bahwa menahan istri yang sudah tidak nyaman berada di dalam tanggungannya adalah sebuah kezhaliman.
Sebagaimana Jamilah binti Ubay pernah meminta Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam untuk menceraikannya dari Tsabit bin Qais.
Kemudian Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam memintanya untuk mengembalikan maharnya dahulu, sebidang kebun.
Pada kasus ini, Jamilah bahkan mengakui kebagusan akhlak dan agama suaminya.
Hanya dia tidak bisa menjadi istri yang baik karena ada hal-hal yang membuatnya merasa tidak nyaman.
Dia takut tidak ikhlas menjalani perannya dan hal itu bisa membawanya kepada kekafiran sebab sulit menerima keberadaan suami sebagai pemimpinnya.
Untuk yang belum menikah, akan sangat baik jika lebih berhati-hati dalam memilih dan menerima lamaran calon pasangannya agar bahteranya tidak kandas dan terhempas sebab, ia sangat menyita energi. Wallahu a’lam bish shawwab! (Arrisalah)