Tanya-Jawab Islam: Hukuman Bagi Penghina Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
Penampakan para penghina Rasulullah, Stephanie Charbonnier (Charb), Philippe Homore, Bernard Maris, Jean Cabut, George Wolinski, dan Bernard Verlhac (Tignous) |
Pertanyaan:
Saya mendengar dari suatu rekaman bahwa siapa saja yang menghina Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam harus dibunuh meski pun dia menunjukkan tanda bahwa ia telah bertaubat. Haruskah dia dibunuh sebagai tuntutan syariat atau dikarenakan ia telah kafir? Jika taubatnya tulus, apakah Allah akan memaafkannya atau akankah dia dimasukkan ke Neraka dan taubatnya tidak berguna?
Alhamdulillah.
Jawaban oleh Sheikh Muhammad Shalih Al-Munajid
Jawaban terhadap pertanyaan ini akan diberikan dengan memaparkan dua isu berikut:
1 – Hukum tentang seseorang yang menghina Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
Para ulama secara ijma telah sepakat bahwa seorang Muslim yang menghina Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam telah jatuh ke dalam kekafiran dan kemunafikan sehingga layak dihukum mati. Kesepakatan tersebut diriwayatkan oleh lebih dari satu ulama, seperti Imaam Ishaaq ibn Raahawayh, Ibn al-Mundhir, al-Qaadi ‘Iyaad, al-Khattaabi, dan lainnya. Al-Saarim al-Maslool, 2/13-16
Hukum tersebut juga terdapat di dalam Al-Quran dan Sunnah.
Di dalam Quran sendiri dikatakan bahwa:
“Orang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)”. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu.
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah kepada mereka: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”
Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman,”
(QS At-Taubah: 64-66).
Ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa menghina Allah, ayat-Nya, dan Rasul-Nya, merupakan kekafiran, sehingga hal ini juga berlaku untuk tindakan menghina Rasulullah. Ayat ini juga mengindikasikan bahwa siapa saja yang meremehkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam juga kafir, terlepas apakah ia berbicara serius atau pun bercanda.
Di dalam Sunnah, Abu Dawud (4362) meriwayatkan dari Ali bahwa seorang wanita Yahudi terbiasa menghina Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan mengatakan hal-hal buruk tentang beliau, maka seorang pria kemudian mencekiknya hingga ia mati, dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memutuskan darah wanita tersebut halal dalam kasus tersebut.
Shaykh al-Islam Ibn Taymiyah mengatakan dalam al-Saarim al-Maslool (1/162): Hadist ini berstatus jayyid, dan ada riwayat lain yang menguatkannya dalam hadist Ibn Abbas yang akan kami kutip di bawah.
Hadist ini dengan jelas mengindikasikan bahwa diperbolehkan membunuh wanita tersebut karena dia terbiasa menghina Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.
Abu Dawud (4361) meriwayatkan dari Ibn Abbaas bahwa seorang pria buta memiliki istri yang terbiasa menghina Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan mengatakan hal-hal buruk tentang beliau. Pria tersebut lalu mengingatkannya agar tidak melakukan hal tersebut tetapi si wanita tersebut enggan menghentikannya. Seketika itu sang pria kemudian memarahinya tetapi sang wanita tidak menghiraukannya. Suatu malam, ketika si wanita mulai mengatakan hal-hal buruk tentang Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan menghinanya, suaminya langsung mengambil pedang pendek atau goloknya, lalu menusukannya ke perut dan menekannya hingga membunuh wanita tersebut. Di pagi harinya, hal tersebut kemudian disampaikan kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau lalu mengumpulkan orang-orang dan mengatakan, “Dengan menyebut asma Allah, aku minta orang yang melakukannya, yang sesungguhnya tindakan itu adalah hakku, berberdirilah!” Si pria buta itu lantas berdiri dan berkata, “Ya Rasulullah, saya adalah orang yang melakukan hal tersebut. Dia terbiasa menghina Anda dan mengatakan hal-hal buruk tentang Anda. Saya melarangnya, tetapi dia tidak mau berhenti. Dan saya memarahinya, tetapi dia tidak menghentikan kebiasaannya. Saya memiliki dua putra yang saya anggap seperti mutiara dari dia, dan dia begitu baik kepada saya. Tadi malam dia mulai menghina Anda dan mengatakan hal-hal buruk tentang Anda. Maka saya mengambil pisau dan menusukkannya ke perut dan menekannya hingga saya membunuhnya.” Lalu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Saksikanlah, darah wanita itu halal.”
(Dishahihkan oleh Al-Albaani dalah Shahih Abi Dawud, 3655)
Dari sana terlihat bahwa sang wanita tersebut adalah seorang kafir, bukan seorang muslim, karena seorang muslim tidak akan pernah melakukan hal tersebut. Jika dia adalah seorang muslim, dia hanya dihukumi munafik karena tindakannya, tuannya pun tidak diperkenankan untuk melindunginya, tidak baik pula bagi sang tuan untuk menjaganya dan harus memarahinya.
An-Nasa’i meriwayatkan (4071) bahwa Abu Barzah Al-Aslami mengatakan: Seorang pria berbicara kasar kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq dan saya bilang kepadanya, “Bolehkah saya membunuhnya?” Abu Bakr lantas memarahi saya dan mengatakan, “Hal itu tidak berlaku untuk semua orang kecuali Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam,” (Shahih an-Nasa’i, 3795)
Perlu dicatat di sini bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memiliki hak untuk membunuh siapa saja yang menghina beliau dan berbicara kasar kepadanya, termasuk Muslim atau kafir.
Isu kedua adalah, jika seseorang yang menghina Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bertaubat, apakah taubatnya diterima atau tidak?
Para ulama sepakat bahwa jika seseorang bertaubat secara tulus dan mengaku menyesal atas apa yang ia kerjakan, taubatnya akan membawa kebaikan baginya di hari kebangkitan dan Allah akan mengampuninya.
Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat apakah taubatnya akan diterima di dunia sehingga pelakunya menjadi bebas dari hukuman di dunia.
Imam Malik dan Imam Ahmad adalah ulama yang berpendapat bahwa taubatnya tidak diterima di dunia, dan bahwa dia harus dibunuh meski dia telah bertaubat.
Mereka mendasarkan keputusannya kepada Sunnah dan pemahaman yang lurus terhadap hadist tersebut:
Di dalam Sunnah, Abu Dawud (2683) meriwayatkan bahwa Saad bin Abi Waqash mengatakan: “Pada hari penaklukan Mekkah, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memberi jaminan keamanan kepada semua orang kecuali kepada empat pria dan dua wanita, dan beliau menyebutkan nama-nama mereka, termasuk Ibn Abi Sarh… Terkait Ibn Abi Sarh, dia datang bersama Uthmaan ibn Affaan ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memanggil semua orang untuk berbaiat kepadanya. Ibn Abi Sarh lantas muncul dan berdiri di depan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Kepada Rasulullah dia berkata, “Ya Rasulullah, terimalah baiat dari Abdullah ini.” Beliau lantas menaikkan pandangannya, lalu memandangnya tiga kali. Beliau sempat menolaknya, lalu menerima baiatnya setelah permohonan ketiga. Lalu beliau berpaling kepada para sahabatnya dan bersabda: “Tidak adakah di antara kalian orang yang paham (isyaratku tadi) lalu bangkit mendatangi orang ini untuk membunuhnya saat (kalian) melihat aku menahan tanganku untuk membai’atnya?” Mereka berkata, “Kami tidak tahu apa yang ada di hati Anda, ya Rasulullah. Mengapa engkau tidak memberi isyarat kepada kami dengan mata?” Beliau bersabda, “Tidak pantas bagi seorang Rasul untuk membunuh seseorang dengan isyarat matanya.”
(Dishahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih Abu Dawud, 2334).
Hal ini jelas mengindikasikan bahwa dalam kasus ini, untuk seorang munafik yang telah menghina Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallah, tidak ada kewajiban untuk menerima taubatnya, justru dipersilakan untuk membunuhnya meski dia telah bertaubat.
Abdullah bin Saad (ibn Abi Sarh) adalah salah satu dari mereka yang karenanya Al-Quran diturunkan. Sering ia berlaku munafik, mengklaim telah mengikuti apa yang diwahyukan Allah meski semua itu hanyalah kebohongan. Ya, ia berbohong kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan hal itu adalah salah satu jenis penghinaan. Lalu ia kembali menjadi seorang Muslim dan menjadi seorang Muslim yang baik, semoga Allah meridhainya. Al-Saarim, 115.
Terkait dengan pemahaman yang lurus tentang hadist tersebut di atas:
Dikatakan bahwa menghina Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memiliki dua hukum, yakni hukumnya adalah hak Allah dan hukumnya adalah hak manusia. Jika hukumnya adalah hak Allah, maka jelas di dalamnya bagaimana status penghina Rasulullah karena istihza’ merupakan penghinaan terhadap ayat-Nya, kitab-Nya, dan syariat-Nya. Jika hukumnya adalah hak manusia, ia juga sudah jelas bagaimana hukumnya orang yang menghina Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam karena hinaan kepada beliau adalah sama dengan fitnah kepada beliau. Dalam suatu kasus yang di dalamnya terlibat hak Allah dan hak manusia, hak manusia tidak lantas batal ketika si pelaku menyatakan taubat. Prinsipnya sama dengan hukuman kepada para bandit. Jika si bandit telah membunuh seseorang, maka dia harus dibunuh dan disalib. Tetapi jika ia menyatakan bertaubat sebelum ditangkap, maka adalah hak Allah untuk menghukum orang tersebut, yakni hukuman dibunuh dan disalib tidak lagi berlaku padanya, tetapi hukum terkait hak manusia, qisaas, tetap berlaku. Hal serupa juga berlaku dalam kasus menghina Rasul. Jika seorang penghina Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bertaubat, maka hak Allah dari orang tersebut tidak lagi berlaku. Akan tetapi, di sana masih ada hak Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yang harus dipenuhi meski si penghina telah bertaubat.
Jika dikatakan, “Kenapa kita tidak memaafkannya, karena sepanjang hidupnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam selalu memaafkan banyak orang yang menghina beliau dan beliau tidak membunuh mereka?” Maka jawabannya adalah:
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kadang memilih untuk memaafkan mereka yang menghina beliau, dan kadang beliau menyuruh para sahabat untuk membunuh penghina beliau jika hal tersebut memiliki manfaat yang banyak. Akan tetapi di masa kini, permaafan dari Rasulullah adalah hal yang mustahil karena beliau telah meninggal. Sehingga, eksekusi terhadap seseorang yang menghina beliau tetap menjadi hak Allah, Rasul-Nya dan seluruh kaum mukminin, dan siapa siapa saja yang layak untuk dieksekusi karena menghina Rasul, maka hukuman tersebut tetap harus dilaksanakan.
Al-Saarim al-Maslool, 2/438
Menghina Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam adalah salah satu tindakan yang sangat dilarang dalam Islam, dan tindakan tersebut bisa membuat si pelaku menjadi kufur atau jatuh ke dalam kemunafikan. Inilah konsensus para ulama, apakah hinaan tersebut dilakukan secara serius atau pun main-main. Seseorang yang menghina Rasulullah hendaknya dieksekusi meski pun ia telah menyatakan taubat, terlepas apakah ia seorang Muslim atau pun nonmuslim. Jika dia bertaubat secara sungguh-sungguh dan menyesal atas apa yang dia perbuat, maka taubat itu akan memberinya keringanan di akhirat dan Allah akan memaafkannya.
Sheikhul Islaam Ibnu Taimiyah Rahimahullah menulis buku bagus terkait hal ini, berjudul al-Saarim al-Maslool ‘ala Shaatim al-Rasool, yang harus dibaca oleh semua kaum mukmin, khususnya ketika kita banyak menjumpai kaum munafik dan ahlul bid’ah berani menghina Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam karena mereka melihat umat Islam memiliki perhatian yang kurang terhadap perkara ini dan minim upaya protektif terhadap agama Allah dan Rasulullah, dan juga karena umat Islam tidak berani menerapkan hukuman tersebut kepada orang yang menghina Rasulullah.
Wallahu’alam bish shawwab. Salam dan shalawat kepada Rasulullah Muhammad dan keluarganya serta para sahabatnya.
Terjemah: Irfan Nugroho
Sumber: http://islamqa.info/ar/22809