Salah Paham tentang Pembatasan Ibadah
Oleh Sheikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Ibadah adalah perkara tauqifiyyah. Artinya, tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyariatkan kecuali berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyariatkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak), sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak didasari oleh agama kami, maka ia tertolak,” (HR Bukhari dan Muslim).
Maksudnya, amalnya ditolak dan tidak diterima, bahkan berdosa karenanya sebab amal tersebut adalah maksiat, bukan ketaatan. Kemudian manhaj yang benar dalam pelaksanaan ibadah yang disyariatkan adalah sikap pertengahan, antara meremehkan dan malas dengan sikap ekstrim dan melampaui batas. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman kepada NabiNya Shalallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas,” (QS Hud: 112).
Ayat Al-Quran ini adalah garis petunjuk yang benar bagi langkah manusia dalam pelaksanaan ibadah, yaitu dengan beristiqamah dalam melaksanakan ibadah kepada jalan yang tengah, tidak kurang atau lebih, sesuai dengan petunjuk syariat (sebagaimana yang diperintahkan kepadamu). Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala menegaskan lagi dengan firmanNya:
“Dan janganlah kamu melampaui batas,” (QS Hud: 112).
Tughayan adalah melampaui batas dengan bersikap terlalu keras dan memaksakan kehendak serta mengada-ada. Ia lebih dikenal dengan ghuluw.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mengetahui bahwa tiga orang dari sahabatnya melakukan ghuluw dalam ibadah, di mana seseorang dari mereka berkata, “Saya akan puasa terus dan tidak berbuka,” dan yang kedua berkata, “Saya akan sholat terus dan tidak tidur,” lalu yang ketiga berkata, “Saya tidak akan menikahi wanita,” maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Adapun saya, maka saya berpuasa dan berbuka, saya sholat dan tidur, dan saya menikahi wanita. Barangsiapa tidak suka terhadap sunnahku, maka dia bukan bagian dari golonganku,” (HR Bukhari dan Muslim).
Ada dua golongan yang saling bertentangan dalam permasalahan ibadah:
Pertama, yang mengurangi makna ibadah serta meremehkan pelaksanaannya.
Mereka meniadakan berbagai macam ibadah dan hanya melaksanakan ibadah-ibadah yang terbatas kepada syiar-syiar tertentu dan sedikit, yang hanya diadakan di masjid-masjid saja. Tidak ada ibadah di rumah, di kantor, di toko, di bidang sosial, politik, juga tidak dalam peradilan sengketa dan dalam perkara-perkara kehidupan yang lainnya.
Memang masjid mempunyai keistimewaan dan harus dipergunakan untuk sholat fardhu lima waktu. Akan tetapi, ibadah juga mencakup seluruh aspek kehidupan muslim, baik di masjid maupun di luar masjid.
Kedua, yang bersikap berlebih-lebihan dalam praktik ibadah sampai pada batasan ekstrim.
Mereka menganggap yang sunnah menjadi wajib, sebagaimana mereka mengangkat yang mubah menjadi haram. Mereka menghukumi sesat dan salah orang yang menyalahi manhaj mereka, serta menyalahkan pemahaman-pemahaman yang lainnya. Padahal, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan seburuk-buruk perkara adalah yang bid’ah.