Apakah Ibnu Hajar al-Asqallani membolehkan perayaan Maulid Nabi?
“Inilah prinsip dasar Islam terkait para ulama mujtahid: “Sesiapa yang berupaya keras untuk mencari kebenaran dan menguji suatu hujjan, maka ia akan mendapat dua pahala jika dirinya benar, dan satu pahala jika dirinya membuat kesalahan, yaitu pahala atas upayanya dan kerja kerasnya,” (Majmu’ Fataawa Ibnu Baaz: 6/89).
Pada dasarnya, merayakan Maulid Nabi adalah sebuah inovasi. Tidak ada riwayat dari umat Islam di zaman dahulu, dari ketiga generasi terbaik. Meski demikian, di dalamnya terdapat perkara-perkara yang baik dan sebaliknya. Sesiapa yang mencari kebaikan dari perayaan Maulid Nabi dan menjauhi yang sebaliknya (keburukan di dalam Maulid Nabi –pent), maka hal itu adalah inovasi yang baik, tetapi tidak dengan yang sebaliknya.
Dan beliau berkata:
Menurut saya, pendapat itu bisa saja didasarkan pada analogi yang sahih, yang membandingkan Maulid Nabi dengan Hari Asy-Syuura, yang disebutkan di dalam suatu riwayat di dalam As-Sahihain, bahwa ketika Rasulullah ﷺ datang ke Madinah, beliau mendapati umat Yahudi melakukan puasa di Hari Asy-Syuura. Beliau bertanya ke mereka tentang hal tersebut dan mereka berkata, “Inilah hari ketika Allah ﷻ menenggelamkan Firaun dan menyelamatkan Musa Alaihissalam, jadi kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah ﷻ.”
Apa yang kita pelajari dari riwayat di atas adalah bahwa menyampaikan rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang Dia berikan di satu hari tertentu, ketika Dia ﷻ memberi rahmat dan menjauhkan dari petaka, maka hal itu bisa saja dilakukan di hari yang sama setiap tahun.
Syukur kepada Allah ﷻ bisa diekspresikan dengan melakukan beberapa macam ibadah, seperti sujud syukur, puasa, bersedekah, juga membaca Quran. Rahmat seperti apa yang bisa lebih besar daripada kelahiran Rasulullah ﷺ?
Berdasarkan hal tersebut, seseorang hendaknya menentukan satu hari tertentu, persis seperti riwayat Nabi Musa Alaihissalam di Hari Asy-Syuura. Siapa saja yang tidak memperhatikan kaidah ini, tidak akan memperhatikan di hari apa dan bulan apa mereka merayakan Maulid (seperti di Jakarta perayaan Maulid Nabi bisa sampai sebulan penuh -pent). Padahal, banyak manusia yang memindahkan hari kelahiran Nabi ﷺ ke hari yang berbeda, dan inilah poin yang harus dikritisi.
Inilah yang pertama kali harus diperhatikan ketika berurusan dengan perayaan Maulid Nabi.
Terkait apa yang harus dilakukan ketika perayaan Maulid Nabi, maka harus dibatasi pada apa-apa yang bisa dipahami sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah ﷻ, selama perbuatan-perbuatan itu sejalan dengan apa-apa yang disebutkan di atas, seperti membaca Quran, memberi makanan kepada orang-orang, memberi sedekah, membaca nasyid yang berisi pujian kepada Rasul, serta mendorong manusia untuk mengurangi ketertarikan terhadap dunia, dan mendorong mereka untuk berbuat amal saleh dan berjuang untuk akhirat.
Tentang perkara-perkara lainnya, seperti mendengarkan puisi (syair) yang bersifat hiburan dan yang sejenisnya, maka bisa dikatakan bahwa: “Apa saja yang diperbolehkan, dan bisa mengundang kebahagiaan di hari itu, maka hal itu tidak ada yang salah jika hendak ditambahkan pada acara perayaan; sedangkan hal-hal yang makruh atau haram, hendaknya dihindari, juga apa-apa yang tidak sesuai,” (Al-Haawi li Al–Fataawi: 229).
“Terkait apa yang harus dilakukan ketika perayaan Maulid Nabi, maka harus dibatasi pada apa-apa yang bisa dipahami sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah ﷻ, selama perbuatan-perbuatan itu sejalan dengan apa-apa yang disebutkan di atas, seperti membaca Quran, memberi makanan kepada orang-orang, memberi sedekah, membaca nasyid yang berisi pujian kepada Rasul, serta mendorong manusia untuk mengurangi ketertarikan terhadap perkara dunia, dan mendorong mereka untuk berbuat amal saleh dan berjuang untuk akhirat.”
“Jika seorang mukalaf (terpercaya/akuntabel) hendak mencari keringanan terkait perkara yang dihadapinya, dengan mencari pendapat dari masing-masing mahzab untuk menemukan sesuatu yang sesuai dengan apa yang dia sukai atau inginkan, maka hal itu akan membuatnya menyimpang dari jalan kebenaran dan terhanyut dalam mengikuti hawa nafsu. Dengan demikian, dirinya telah melanggar apa yang telah ditetapkan, serta mengesampingkan apa-apa yang seharusnya diutamakan,” (al-Muwaafaqaat: 3/123).