Uncategorized

Apakah Ibnu Hajar al-Asqallani membolehkan perayaan Maulid Nabi?

Perayaan Natal & Maulid Nabi “Aku Mengasihimu, Teman” (Semarang, 16 Desember 2015)


Pertanyaan:

Apakah Ibnu Hajar al-Asqallani membolehkan perayaan Maulid Nabi? Karena banyak masayikh di sini, Aljazair, mengutip pendapat al-Asqallani yang membolehkan acara Maulid Nabi untuk mendukung pendapat bahwa perayaan Maulid Nabi adalah sesuatu yang diperbolehkan.
Jawaban oleh Tim Fatwa IslamQA, di bawah pengawasan Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid
Alhamdulillah.
Pertama: 
Perayaan Maulid Nabi adalah sebuah inovasi di dalam agama ini. Pihak yang pertama kali menyelenggarakan Maulid Nabi adalah para penguasa dinasti Ubaidi Fatimiyah. Mereka adalah kelompok menyimpang yang keluar dari Islam. Tidak ada riwayat dari umat Islam di zaman dahulu, dari tiga generasi pertama dan generasi terbaik, bahwa mereka menilai perayaan Maulid Nabi sebagai sesuatu yang dianjurkan atau dibolehkan. 
Kedua: 
Sumber utama syariat Islam adalah Quran dan Sunah. Ulama adalah pewaris Nabi ﷺ, merekalah yang mengusung panji-panji ilmu. Allah ﷻ yang membuat mereka memahami agama ini, tergantung kepada bagaimana Allah ﷻ membuat mereka mudah memahami agama ini, tetapi tidak semua yang dikatakan seorang ulama adalah benar. Ulama telah berusaha semaksimal mungkin, maka jika ia benar, ia akan mendapat dua pahala, satu untuk kerja kerasnya dan satu lagi karena kebenarannya. Dan jika ulama tersebut salah, maka ia akan mendapat pahala dari kerja kerasnya, dan kesalahannya diampuni.
Syeikh Bin Baaz Rahimahullah berkata: 

“Inilah prinsip dasar Islam terkait para ulama mujtahid: “Sesiapa yang berupaya keras untuk mencari kebenaran dan menguji suatu hujjan, maka ia akan mendapat dua pahala jika dirinya benar, dan satu pahala jika dirinya membuat kesalahan, yaitu pahala atas upayanya dan kerja kerasnya,” (Majmu’ Fataawa Ibnu Baaz: 6/89). 

Ketiga: 
As-Suyuuti Rahimahullah berkata: 
Syeikhul Islam Al-Hafiz Al-Asr Abul Fadl Ibnu Hajar pernah ditanya tentang merayakan Maulid Nabi, dan beliau menjawab: 

Pada dasarnya, merayakan Maulid Nabi adalah sebuah inovasi. Tidak ada riwayat dari umat Islam di zaman dahulu, dari ketiga generasi terbaik. Meski demikian, di dalamnya terdapat perkara-perkara yang baik dan sebaliknya. Sesiapa yang mencari kebaikan dari perayaan Maulid Nabi dan menjauhi yang sebaliknya (keburukan di dalam Maulid Nabi –pent), maka hal itu adalah inovasi yang baik, tetapi tidak dengan yang sebaliknya.  

Dan beliau berkata:  

Menurut saya, pendapat itu bisa saja didasarkan pada analogi yang sahih, yang membandingkan Maulid Nabi dengan Hari Asy-Syuura, yang disebutkan di dalam suatu riwayat di dalam As-Sahihain, bahwa ketika Rasulullah ﷺ datang ke Madinah, beliau mendapati umat Yahudi melakukan puasa di Hari Asy-Syuura. Beliau bertanya ke mereka tentang hal tersebut dan mereka berkata, “Inilah hari ketika Allah ﷻ menenggelamkan Firaun dan menyelamatkan Musa Alaihissalam, jadi kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah ﷻ.”  

Apa yang kita pelajari dari riwayat di atas adalah bahwa menyampaikan rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang Dia berikan di satu hari tertentu, ketika Dia ﷻ memberi rahmat dan menjauhkan dari petaka, maka hal itu bisa saja dilakukan di hari yang sama setiap tahun.  

Syukur kepada Allah ﷻ bisa diekspresikan dengan melakukan beberapa macam ibadah, seperti sujud syukur, puasa, bersedekah, juga membaca Quran. Rahmat seperti apa yang bisa lebih besar daripada kelahiran Rasulullah ﷺ?  

Berdasarkan hal tersebut, seseorang hendaknya menentukan satu hari tertentu, persis seperti riwayat Nabi Musa Alaihissalam di Hari Asy-Syuura. Siapa saja yang tidak memperhatikan kaidah ini, tidak akan memperhatikan di hari apa dan bulan apa mereka merayakan Maulid (seperti di Jakarta perayaan Maulid Nabi bisa sampai sebulan penuh -pent). Padahal, banyak manusia yang memindahkan hari kelahiran Nabi ﷺ ke hari yang berbeda, dan inilah poin yang harus dikritisi. 

Inilah yang pertama kali harus diperhatikan ketika berurusan dengan perayaan Maulid Nabi.  

Terkait apa yang harus dilakukan ketika perayaan Maulid Nabi, maka harus dibatasi pada apa-apa yang bisa dipahami sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah ﷻ, selama perbuatan-perbuatan itu sejalan dengan apa-apa yang disebutkan di atas, seperti membaca Quran, memberi makanan kepada orang-orang, memberi sedekah, membaca nasyid yang berisi pujian kepada Rasul, serta mendorong manusia untuk mengurangi ketertarikan terhadap dunia, dan mendorong mereka untuk berbuat amal saleh dan berjuang untuk akhirat.  

Tentang perkara-perkara lainnya, seperti mendengarkan puisi (syair) yang bersifat hiburan dan yang sejenisnya, maka bisa dikatakan bahwa: “Apa saja yang diperbolehkan, dan bisa mengundang kebahagiaan di hari itu, maka hal itu tidak ada yang salah jika hendak ditambahkan pada acara perayaan; sedangkan hal-hal yang makruh atau haram, hendaknya dihindari, juga apa-apa yang tidak sesuai,” (Al-Haawi li Al–Fataawi: 229). 


Maka, bisa dikatakan di sini: 
Jika kita menilik lebih dekat apa yang diriwayatkan dari al-Haafiz Ibnu Hajar Rahimahullah, ada beberapa hal yang perlu dicatat: 
1. Beliau jelas-jelas menyatakan bahwa perayaan Maulid Nabi bukanlah amalan generasi awal umat ini. Oleh karena itu, acara tersebut adalah sebuah inovasi. Kita tidak boleh mengesampingkan pernyataan ini (ketika mengutip) dari fatwa beliau (Ibnu Hajar al-Asqaalani)
2. Beliau juga berkata: 

“Terkait apa yang harus dilakukan ketika perayaan Maulid Nabi, maka harus dibatasi pada apa-apa yang bisa dipahami sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah ﷻ, selama perbuatan-perbuatan itu sejalan dengan apa-apa yang disebutkan di atas, seperti membaca Quran, memberi makanan kepada orang-orang, memberi sedekah, membaca nasyid yang berisi pujian kepada Rasul, serta mendorong manusia untuk mengurangi ketertarikan terhadap perkara dunia, dan mendorong mereka untuk berbuat amal saleh dan berjuang untuk akhirat.”

Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh manusia di hari ini, ketika perayaan Maulid Nabi ﷺ dan perayaan-perayaan inovatif lainnya, sering bertentangan dengan apa-apa yang telah digariskan oleh al-Haafiz seperti di dalam fatwa beliau di atas. Siapa saja yang melihat pada apa yang dilakukan oleh kebanyakan manusia di hari ini akan menyadari bahwa sebagian besar dari apa yang mereka lakukan ketika Maulid Nabi ﷺ adalah lebih dekat kepada inovasi dan amalan yang tercela. Bahkan, bisa saja di dalamnya terdapat dosa-dosa yang hina dan hal-hal lain yang terlarang. Dan hanya Allah yang Maha mengetahui!
Imam Al-Bukhari (869) dan Imam Muslim (445) meriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahuanha: 
لَوْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ الْمَسْجِدَ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ

“Jika saja Rasulullah ﷺ melihat inovasi-inovasi yang telah diperbuat para wanita (sepeninggal beliau, ketika Ibunda Aisyah mengatakan ini –pent), niscaya beliau ﷺ akan melarang mereka (para wanita -pent) mendatangi masjid sebagaimana wanita Bani Israel dilarang (mendatangi biara-biara mereka).”
Jika ini adalah perkataan Ibunda para Mukminun tentang sesuatu yang diajarkan di dalam syariat Islam, maka tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hal tersebut. Lalu, bagaimana bisa manusia mengubah syariat, sehingga beliau berkata seperti itu? Lalu, bagaimana jika perkaranya adalah sebuah inovasi, lalu berkembang, dan dimasukkan ke dalamnya tak hanya inovasi-inovasi, tetapi juga berbagai perbuatan munkar? Jelas, maksudnya?
Ada ucapan mulia dari Imam Asy-Syaatibi Rahimahullah:

Jika seorang mukalaf (terpercaya/akuntabel) hendak mencari keringanan terkait perkara yang dihadapinya, dengan mencari pendapat dari masing-masing mahzab untuk menemukan sesuatu yang sesuai dengan apa yang dia sukai atau inginkan, maka hal itu akan membuatnya menyimpang dari jalan kebenaran dan terhanyut dalam mengikuti hawa nafsu. Dengan demikian, dirinya telah melanggar apa yang telah ditetapkan, serta mengesampingkan apa-apa yang seharusnya diutamakan,” (al-Muwaafaqaat: 3/123).

Wallahu’alam bish shawwab.
Sumber:
https://islamqa.info/en/216480
Terjemah:
Irfan Nugroho
BACA JUGA:  Keikhlasan dan Kejujuran para Salaf #6

Irfan Nugroho

Hanya guru TPA di masjid kampung. Semoga pahala dakwah ini untuk ibunya.

Tema Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button