Pembaca rahimakumullah, jika ragu kentut atau tidak, apa yang harus dialkukan? Apakah keluar gelembung dari dubur membatalkan shalat? Bagaimana jika kita ragu kentut atau tidak? Bagaimana hukum merasa kentut saat shalat? Teruskan membaca!
Hadits Jika Ragu Kentut
Imam Muslim meriwayatkan di dalam Sahih beliau dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
Apabila salah seorang dari kalian mendapati sesuatu di dalam perutnya, kemudian dia ragu apakah keluar sesuatu atau tidak darinya, maka hendaknya dia tidak keluar dari masjid sampai dia mendengar suara atau mendapati bau, (Sahih Muslim: 362).
Penjelasan Hadits
Tentang sabda Nabi ﷺ (وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا), yang artinya “mendapati sesuatu di dalam perutnya,” maksudnya adalah:
Seseorang mendapati ada semacam gerakan di dalam perutnya, sehingga dia mengira bahwa akibat gerakan tersebut dia telah berhadas.
Tentang sabda Nabi ﷺ (فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ), yang artinya, “kemudian dia ragu”, maksudnya adalah:
Orang itu bingung, apakah dia harus keluar dari salat akibat hadas atau tidak.
Tentang sabda Nabi ﷺ (صَوْتًا), yang artinya, “suara”, maksudnya adalah:
Suara angin yang keluar dari dubur (alias suara kentut).
Menjelaskan makna (حَتَّى يَسْمَع صَوْتًا أَوْ يَجِد رِيحًا), yang artinya, “sampai dia mendengar suara atau mendapati bau,” Imam An-Nawawi berkata:
“(sampai) dia mengetahui adanya salah satu dari keduanya (entah bau atau suara). Tidak disyaratkan untuk mendengar/mendapati keduanya secara bersamaan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.”
Pelajaran
Hikmah atau pelajaran yang bisa diambil dari hadis di atas adalah sebagai berikut:
Keragu-raguan tidak ada pengaruhnya dalam urusan taharah.[1]
(Orang yang salat) dianggap senantiasa dalam keadaan suci selama dia yakin tidak berhadas.[2]
Orang yang yakin (suci) tidak menjadi batal hanya karena ragu, padahal dia yakin dia itu suci.[3]
Wudu tidak batal kecuali dengan mendengar suara atau mendapati bau (kentut).[4]
Tentang hukum atas sesuatu, keyakinan tidak menjadi batal dengan adanya keraguan.[5]
Sesuatu itu dihukumi dengan kondisi aslinya, sampai adanya keyakinan bahwa sesuatu itu telah menyimpang dari kondisi aslinya.[6] (Contoh dalam hal ini adalah seorang suami tidak boleh menuduh istrinya selingkuh sampai sang suami yakin [dengan adanya bukti dan saksi] bahwa istrinya selingkuh)
Karangasem, 8 Maret 2023
Irfan Nugroho (Staf Pengajar PPTQ At-Taqwa Nguter Sukoharjo)
Referensi
[1] Al Mufhim Lima Asykala min Talkhisi Shahih Muslim karya Imam Abu Abbas Al-Qurtubi: 1/608
[2] Idem
[3] Mausuatul Ahadisin Nabawiah: 65083
[4] Idem
[5] Min ushulil fiqh ala manhaji ahlil hadits, karya Syaikh Zakariya bin Ghulam Qodir Al-Pakistani: 188
[6] Idem