Pembaca rahimakumullah, siapa yang mengatakan bahwa sembelihan orang murtad haram? Yuk baca dulu dengan teliti kata ulama dalam terjemahan fatwa di bawah ini.
Pertanyaan:
Wahai Syaikh, ada seorang teman yang ayahnya murtad (keluar dari agama islam). Apa hukum memakan daging yang disembelih oleh sang ayah tersebut? Harap diketahui bahwa teman saya ini belum mandiri, atau belum mampu mencari makan dan minum sendiri.
Jawaban oleh tim fatwa Asy-Syabakah Al-Islamiyah, diketuai oleh Syaikh Abdullah Al-Faqih Hafizahullah
Segala puji hanya milik Allah, Rab semesta alam. Saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang hak untuk diibadahi kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.
Sembelihan orang murtad tidak halal untuk dimakan (haram), kecuali bagi orang yang dalam kondisi terpaksa, maka boleh bagi orang yang dalam kondisi terpaksa untuk memakan bangkai.
Catatan penerjemah:
Bangkai di sini maksudnya daging segar sembelihan orang murtad. Disebut bangkai karena haram, bukan karena dagingnya sudah membusuk. Kalau daging sembelihan orang murtad sudah busuk, akan bertambah lagi tingkat keharamannya karena akan membahayakan bagi badan orang yang memakannya.
Apabila sang anak termasuk orang fakir, dia boleh makan dari harta ayahnya yang kafir. Bahkan, para ulama justru mewajibkan ayah yang kafir untuk tetap menafkahi anaknya (yang muslim dan belum mampu mandiri).
Imam Al-Kasani, seorang ulama mazhab Imam Abu Hanifah, menulis di dalam Badai’u ash-Shana’i:
Seorang muslim wajib menafkahi ayah dan ibunya yang kafir dan terdaftar sebagai warga negara yang menyandang status Ahlu Dzimmah.
Pun demikian sebaliknya, orang tua kafir yang menyandang status sebagai Ahlu Dzimmah wajib memberi nafkah kepada anak-anaknya yang masih kecil, karena anak-anak kecil tersebut diberlakukan dengan hukum Islam berkat keislaman ibu-ibu mereka.
Termasuk pula (orang tua kafir ahlu dzimmah juga wajib) memberi nafkah kepada anak-anak mereka yang muslim, sudah dewasa, dan termasuk orang-orang yang diberi nafkah.
Perlu kami sampaikan bahwa hukum vonis murtad (vonis kafir/takfir) kepada seseorang secara muayyan (spesifik) hanya bisa dilakukan setelah memenuhi beberapa persyaratan yang sangat ketat, dan hal itu sudah kami jelaskan di fatwa nomor 721. Wallahu’alam bish shawwab
Fatwa No: 162931
Tanggal: 24 Ramadan 1432 (23 Agustus 2011)
Sumber: Asy-Syabakah Al-Islamiyah
Penerjemah: Irfan Nugroho (Staf Pengajar di Pondok Pesantren Tahfizhul Quran At-Taqwa Sukoharjo)
Demikian penjelasan Syaikh Abdullah Al-Faqih, mufti dan ulama ahli fikih di yayasan Asy-Syabakah Al-Islamiyah Qatar, tentang hukum sembelihan orang murtad. Semoga bermanfaat.
Dan mohon maaf, apabila menyalin tulisan ini, mohon untuk tetap mencantumkan nama situs mukminun.com ya. Terima kasih. Baarakallahu fiikum
==========
Ruling on Eating Meat Slaughtered by an Apostate
Question: Dear Sheikh, there is a brother whose father is an apostate. What is the ruling on eating the meat slaughtered by the father, knowing that the brother is unable to provide food and drink?
Answer:
What was slaughtered by the apostate is not permissible (haram) to eat, except for the one who is in need, so it is permissible for a person in urgent need to eat what is permissible from the dead meat.
And if the son is poor, then he may eat from the money of his unbelieving father. Rather, the scholars have enjoined his father to spend on him.
Al-Kasani said in Badai’u ash-Shana’i:
A Muslim is obligated to spend on his fathers and mothers from among the people of the dhimmi. The dhimmi is also obligated to spend on his young children who were given the rule of Islam through their mother’s conversion to Islam. The non-believing parents must also spend on their adult children from among the Muslims who are eligible for alimony.
We point out that the judgment of apostasy against the specific person is only after the fulfillment of several conditions that have been previously explained in Fatwa No. 721.