Fiqih Islam: Adab yang Perlu Diperhatikan Sebelum Buang Hajat
Oleh: Sheikh Abu Bakr Jabir Al-Jazairy
1. Mencari tempat yang jauh dari pandangan manusia
Carilah tempat yang jauh dari pandangan mereka. Karena diriwayatkan bahwasanya Rasulullah Muhammad salallahu ‘alaihi wasalam apabila beliau hendak buar air beliau pergi (ke sebuah tempat) hingga tak ada seorang pun yang melihatnya, (HR Abu Daud: 2).
2. Tidak ikut memasukkan ke dalamnya sesuatu yang ada lafadz Allah
Hal ini berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wasalam pernah memakai sebuah cincin yang ada ukirannya “Muhammadur Rasulullah” dan apabila beliau memasuki kamar kecil (WC) beliau menaruh cincinnya,” (HR Abu Daud: 19).
3. Mendahulukan kaki kirinya ketika memasuki WC dan mengucapkan doa:
“Bismillahi Allahumma Inni ‘Audzu bika minal khubutsi wal khabaaitsi”
“Dengan nama Allah, ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan,” (HR Bukhari: 1/48, 8/88).
4. Tidak mengangkat bajunya sebelum mendekati lantai (jongkok)
Hal ini berfungsi untuk menutupi auratnya, sebagaimana telah diperintahkan dalam syariat Islam.
5. Tidak membuang air besar atau kecil sambil menghadap kiblat atau membelakanginya.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi:
“Janganlah kalian menghadap kiblat atau membelakanginya sambil buang air besar atau buang air kecil,” (HR An-Nasai: 1/22, dan Ad-Daruquthni: 1/60).
6. Tidak berak atau kencing di tempat-tempat umum
Kita dilarang membuang hajat di tempat berteduhnya orang banyak, di jalan mereka, di saluran air mereka, atau di pohon mereka yang sedang berbuah.
Berkenaan dengan hal tersebut Rasulullah salallahu’alaihi wasalam bersabda, “Takutlah kalian dengan tiga hal: buang air di tempat jalannya air, di tengah-tengah jalan, dan di tempat berteduh,” (HR Abu Daud: 26, Al-Hakim: 1/67, dengan sanad Shahih).
7. Tidak berbicara ketika buang air
Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wasalam bersabda, “Apabila ada dua orang yang sedang buang air, hendaklah keduanya itu saling menutupi dirinya dari temannya, dan janganlah keduanya itu saling berbicara karena Allah membenci hal tersebut,” (Lizanul Mizan: 1429).