(MP3 Ceramah/Kajian) Sifat Thaifah Mansurah: Mengikuti Salafush Shalih dalam Memahami Al-Quran dan As-Sunnah
Sheikh Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah dalam Meneliti Hadist |
Oleh Ust Mas’ud Izzul Mujahid, Lc
Melanjutkan kajian bulan lalu tentang sifat-sifat Thaifah Mansurah, Ust Mas’ud Izzul Mujahid yang seharusnya membahas tentang sifat ketiga, kali ini justru kembali menekankan tentang pentingnya sifat thaifah mansurah yang pertama, yakni: senantiasa mengikuti salafush shalih dalam memahami dan mengamalkan Quran dan sunnah.
Menurut beliau, bulan-bulan sekitar November dan Desember sering diwarnai oleh banyaknya penyimpangan dalam mengartikan apa itu ‘salaf’ dan bagaimana kelompok yang ‘mengaku salaf’ itu melakukan penyimpangan dalam masalah aqidah.
Sebagaimana prinsip thaifah mansurah yang memahami Islam berdasarkan pemahaman para salafush shalih, berdasarkan metode salafush shalih, maka memahami Islam bukan layaknya seperti menerapkan rumus matematika seperti 1+1=2. Bukan!
Akan tetapi, ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabiin memiliki metode khusus dalam melihat realita dengan perspektif salaf, yakni seperti yang diungkapkan oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah bahwa menerapkan syariat Islam harus mengikuti tiga prinsip:
1. Shahih dalilnya
2. Jika dalilnya shahih, istidlal (pendalilannya) harus benar, dan
3. Dalil yang shahih dan istidlal yang benar harus sesuai dengan kasus yang sedang dikaji.
Para ulama dari kalangan salafush shalih pun juga memiliki kebiasaan mengumpulkan semua dalil yang berkaitan, lalu menimbang mana yang pas dan mana yang tidak, mana yang mayoritas dan mana yang minoritas, serta runtutan proses lainnya yang berlaku dalam pengambilan suatu keputusan terhadap suatu kasus.
Kenapa beliau membahas kembali sifat thaifah mansurah yang pertama? Karena ada sekelompok yang mengaku bermanhaj salaf (hingga masyarakat dan sebagian dari mereka sendiri menamakan kelompok ini ‘salafiyun’ atau ‘sururiyun’ dsb) tetapi serampangan dalam melabeli setiap pemimpin sebagai “ulil amri.”
Dalil yang mereka gunakan (QS An Nisa: 59) adalah shahih karena berasal dari Quran, sedang hadist-hadist yang mereka pakai juga shahih menurut para ulama. Akan tetapi, tidak pas jika menerapkan kedua hal tersebut pada sosok pemimpin suatu negara yang dipilih tidak sesuai dengan kaidah syar’i. Padahal yang disebut “ulil amri” tentu menuntut syarat-syarat tertentu sesuai syariat hingga seseorang layak disebut ‘ulil amri’ yang wajib ditaati.
Simak lebih lanjut seperti apa penuturan beliau tentang hal itu. Selamat menikmati!