Fiqih

Bolehkah Mendoakan Keburukan untuk Orang Jahat

 

Pertanyaan: Assalamu’alaikum, Tuan. Saya dan anggota keluarga saya sedang mengalami banyak masalah dari suami adik saya. Dia selalu menghina dan menzalimi kami dengan bahasa yang sangat buruk. Dia bahkan meminta teman-temannya untuk memukul saya dan kakak saya. Dia juga menzalimi ibu saya di hadapan saya dengan bahasa yang sangat menghina. Mohon bantu saya, saya begitu resah. Saya tidak berbuat apa-apa kepadanya dan tidak membalas kezalimannya terhadap ibu saya. Sebaliknya, di dalam hati saya terus berdoa agar dia mati dan menderita setiap hari. Mohon jelaskan ke saya, apakah doa saya seperti ini benar atau salah. Dan jika salah, maka jelaskan kepada saya alasannya. Dan jika salah, lalu apa tindakan yang tepat? Baarakallahu fiik

 
Jawaban oleh Tim Fatwa IslamWeb, diketuai oleh Syekh Abdullah Faqih Asy-Syinqiti
Segala puji hanya bagi Allah, Raab semesta alam. Saya bersaksi bahwa tiada Illah yang hak untuk diibadahi kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.
 
Oleh karena pria itu adalah saudara ipar Anda, maka sudah seharusnya Anda menanggapi kezalimannya dengan kebaikan, karena hal ini akan memberi pengaruh yang besar bagi orang yang berakal untuk menghentikan kezaliman dan ketidakadilannya. Allah berfirman:
 
 وَلَا تَسۡتَوِي ٱلۡحَسَنَةُ وَلَا ٱلسَّيِّئَةُۚ ٱدۡفَعۡ بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ فَإِذَا ٱلَّذِي بَيۡنَكَ وَبَيۡنَهُۥ عَدَٰوَةٞ كَأَنَّهُۥ وَلِيٌّ حَمِيمٞ ٣٤
 
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia,” (QS Fussilah [41]: 34).
 
Dengan memaafkan dan bersikap sabar, maka pahala Anda akan lebih besar. Allah berfirman:
  فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ ٤٠
“…., maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah,” (QS Asy-Syuura: 40).
 
 Allah juga berfirman:
 وَلَمَن صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَٰلِكَ لَمِنۡ عَزۡمِ ٱلۡأُمُورِ ٤٣
“Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan,” (QS Asy-Syuura [42]: 43).
 
 Allah juga berfirman:
  وَإِن تَعۡفُواْ وَتَصۡفَحُواْ وَتَغۡفِرُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ١٤
“…dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS At-Taghabun [64]: 14)
 [Quran 64:14]
 
Tentang mendoakan kecelakaan untuk orang zalim, maka hal itu boleh. Dalilnya adalah firman Allah :
 
 ۞لَّا يُحِبُّ ٱللَّهُ ٱلۡجَهۡرَ بِٱلسُّوٓءِ مِنَ ٱلۡقَوۡلِ إِلَّا مَن ظُلِمَۚ وَكَانَ ٱللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا ١٤٨
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,” (QS An-Nisa [4]: 148)
 
Ibnu Katsir di dalam Tafsir-nya berkata: “Ibnu Abbas berkata tentang tafsir ayat tersebut: Allah tidak menyukai bila seseorang mendoakan keburukan bagi orang lain, kecuali jika dirinya dizalimi, maka Allah memperbolehkan dia untuk mendoakan kejelekan bagi orang yang telah menzaliminya. Inilah tafsir firman Allah: “Kecuali oleh orang yang dianiaya.” Meski demikian, jika dia bersabar, maka itu lebih baik.”
 
Juga, tidak ada yang salah dengan memohon kematian (bagi orang yang berbuat zalim), sebagaimana disebutkan bahwa Rasulullah mendoakan keselamatan bagi orang yang terzalimi dan mendoakan kecelakaan bagi mereka yang berbuat zalim terhadap orang lain.
 
Abu Hurairah Radhiyallahuanhu berkata: Ketika Rasulullah bangun dari Rukuk di rekaat terakhir, beliau mengucapkan:
 
 اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ، وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ، اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ، وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ
Ya Allah, selamatkan Ayyash bin Abi Rabi’ah. Ya Allah, selamatkan Salamah bin Hisyam. Ya Allah, selamatkan Walid bin Walid. Ya Allah, selamatkan penduduk Mekah yang terzalimi. Ya Allah, tambahkan azabmu bagi Bani Mudhar dan kirimkan kepada mereka bencana kelaparan selama bertahun-tahun seperti masa paceklik Nabi Yusuf Alaihissalam,” [HR Al-Bukhaari: 804 dan Muslim].
 
Badrudin Al-Aini di dalam Syarah Al-Bukhari berkata:
 
“Hadis ini adalah dalil yang membolehkan mendoakan keburukan bagi pelaku kezaliman dengan kematian dan mendoakan keselamatan atas umat Islam.”
 
Oleh karena itu, tidak ada yang salah dengan mendoakan keburukan bagi kakak ipar Anda dengan cobaan yang setara dengan kezalimannya, sebagaimana Said bin Zaid mendoakan keburukan bagi wanita yang menzaliminya.
Imam Muslim (1610) meriwayatkan di dalam Sahih Muslim dari Urwah, dari ayahnya, bahwa Arwa binti Uwais menuduh Said bin Zaid telah menyerobot sebagian tanah milik Arwa binti Uwais, sehingga Arwa mengadukannya kepada Marwan bin Al-Hakam.
 
Akhirnya, Said berkata, “Bagaimana saya bisa menyerobot sebagian tanah miliknya setelah apa yang saya dengan dari Rasulullah ?”
 
Marwan bin Al-Hakam bertanya, “Apa yang kamu dengar dari Rasulullah ?”
 
Said berkata, “Saya mendengar Rasulullah bersabda:
 
مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا طُوِّقَهُ إِلَى سَبْعِ أَرَضِينَ
 
Barangsiapa mengambil sejengal tanah saudaranya dengan zhalim, niscaya Allah akan menghimpitnya dengan tujuh lapis bumi pada hari Kiamat.”
 
Marwan berkata kepadanya, “Saya tak akan menanyakan bukti lagi kepadamu setelah mendengar (sabda Rasulullah ) ini.”
 
Maka Said berkata, “Ya Allah, jika wanita itu berbohong, renggutlah penglihatannya dan bunuhlah dia di tanahnya sendiri.”
 
Urwah menambahkan, “Wanita tidak mati sampai dirinya menjadi buta, dan ketika dia sedang berjalan di pekarangannya, dia terjatuh ke dalam lubang dan mati.”
 
Meski demikian, akan lebih tepat jika Anda tidak mendoakan keburukan atas dirinya dengan kematian, apalagi jika dia memiliki banyak anak, karena kematiannya akan membuat kakak Anda menjadi janda dan anak-anaknya menjadi yatim.
 
Tentang mendoakan dia agar dihukum dengan hukuman yang lebih berat daripada kezalimannya terhadap Anda, maka hal ini adalah sebuah kezaliman. Al-Kharashi, di dalam Syarah Mukhtashar Al-Khalil, menulis:
 
Boleh mendoakan keburukan bagi pelaku kezaliman (pemimpin yang tidak adil), agar dia dicopot (dari jabatannya), terlepas dari apakah pemimpin itu menzaliminya (orang yang mendoakan keburukan tadi) atau menzalimi orang lain. Akan tetapi, akan lebih tepat jika tidak mendoakan keburukan atas seseorang yang kezalimannya tidak tersebar. Tetapi jika kezalimannya merata, maka akan lebih tepat bagi orang yang terzalimi itu untuk mendoakan keburukan atas orang yang berbuat zalim.
 
Meski demikian, dia tidak boleh berdoa agar anak-anak atau keluarga (istri dari pelaku kezaliman tersebut) mati atau agar mereka berbuat dosa, karena mendoakan orang lain agar berbuat dosa adalah dosa dengan sendirinya.
 
Dia juga dilarang mendoakan pelaku kezaliman itu agar ditimpa keburukan dengan yang lebih besar daripada yang seharusnya ia terima.
 
Ada dua pendapat tentang mendoakan seseorang agar diberi akhir kehidupan yang buruk (Suul Khatimah), dan pendapat yang paling tepat, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Naaji dan lainnya, adalah bahwa hal itu dilarang. Pendapat ini bertentangan dengan pendapat Al-Burzuli.”
 
Juga, di dalam Al-Fawaakih ad-Dawaani ala Risaalat Ibnu Abu Zaid Al-Qairawani tertulis:
 
“Al-Qaraafi berkata: Ada beberapa syarat tentang mendoakan keburukan terhadap orang yang zalim. Pertama, mendoakan orang itu agar dicopot (dari jabatannya) sehingga kezalimannya akan berhenti, dan hal ini adalah bagus.
 
“Dua, berdoa agar anak-anaknya mati, pun demikian dengan istri dan mereka yang memiliki hubungan dengannya, padahal mereka tidak melakukan kezaliman terhadap dirinya, maka hal ini dilarang karena membahayakan orang-orang yang tidak bersalah.
 
Ketiga, mendoakan orang zalim tersebut agar berbuat dosa, seperti meminum khamar, ghibah, atau menuduh orang-orang yang tidak bersalah dengan tuduhan zina, maka hal ini dilarang, karena mengharapkan orang lain berbuat dosa adalah sebuah dosa dengan sendirinya.
 
Empat, mendoakan orang yang zalim agar diberi ujian pada jasadnya, melebihi kadar ujian yang seharusnya ia terima, maka hal ini bukanlah perbuatan yang pantas, karena Allah berfirman:
 
  فَمَنِ ٱعۡتَدَىٰ عَلَيۡكُمۡ فَٱعۡتَدُواْ عَلَيۡهِ بِمِثۡلِ مَا ٱعۡتَدَىٰ عَلَيۡكُمۡۚ ١٩٤
“Oleh sebab itu, barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa,” (QS Al-Baqarah [2]: 194).
Wallahualam bish shawwab.
 
Fatwa No: 299206
Tanggal: 7 Safar 1437 (20 November 2015)
Sumber: Asy Syabakah Al-Islamiyah
Penerjemah: Irfan Nugroho

Irfan Nugroho

Hanya guru TPA di masjid kampung. Semoga pahala dakwah ini untuk ibunya.

Tema Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button