Penutupan Masjid dan Penghentian Syi’ar Agama lantaran Pandemi
Siapa yang paling bahagia dengan penutupan masjid dan peniadaan shalat berjamaah dan beberapa syi’ar Islam termasuk hari raya kurban haji dll?
Jelas kelompok ghazwul fikri yang sudah ribuan tahun mereka mencari cara menjauhkan ummat ini dari syi’arnya dan sekarang kesempatan itu datang. Bukan mereka yg memfatwakan, tapi para representative Islam sendiri.
Terlepas orang Islam akan kontroversial terhadap hal ini yg pasti merekalah yg paling bahagia. Dan kalau ada orang Islam juga bahagia masjid ditutup ya tahu sendiri hukumnya.
Ditutup sampai berapa lama? Sampai pandemi berakhir.
Baik, kalau pandeminya berakhir 10 tahun lagi?
Dalam kajian fikih ada kaidah ( إذا ضاق الأمر اتسع، وإذا اتسع ضاق) (urusan ini kalau dia menyempit maka jadi luas, tapi kalau dia meluas maka jadi nyempit).
Panjang penjelasannya, tapi ringkasnya gini. Masalah mudharat dan maslahat memang jadi pertimbangan dalam syariah, tapi bukan aji mumpung.
Makanya untuk kaidah ini As-Suyuthi dalam kitab Al-Asybah wan Nazah`ir menjelaskan beberapa nash Asy-Syafi’i ketika ditanya beberapa masalah sehingga muncullah kaidah di atas.
Masalah pertama bagaimana kalau seorang wanita kehilangan walinya dalam perjalanan dan dia dinikahkan oleh seseorang. Ketika ini ditanyakan oleh Yunus bin Abdil A’la ke Asy-Syafi’i maka dia menjawab, “Yaah, kalau sudah susah begitu urusan maka akan dicari jalan mudahnya.” Maksudnya jadi sah perwalian itu.
Kedua, bagaimana kalau ada orang bawa air dari bejana yang terbuat dari kotoran binatang yg telah kering, najis dong. Tapi kalau dalam keadaan sempit bolehkah berwudhu dari bejana itu? Maka Asy-Syafi’i menjawab, (إذْ ضَاقَ الْأَمْرُ اتَّسَعَ) (kalau urusannya dah menyempit begitu maka jadi meluas). Artinya dalam keadaan darurat begitu jadi boleh wudhu dari bejana model begituan.
Ketiga, kalau ada lalat hinggap di tinja, lalu dia terbang dan hinggap di pakaian orang gimana shalatnya? Maka Imam Asy-Syafi’i berusaha mengalihkan dulu, “Siapa tahu pada saat terbang itu kakinya jadi kering dari tinja itu. KAlaupun tidak maka urusan itu kalau menyempit akan meluas.”
Maka dari sini muncul kaidah yang dikemukakan oleh Abu Hamid Al-Ghazali dalam Al-Ihya` (كُلُّ مَا تَجَاوَزَ عَنْ حَدِّهِ انْعَكَسَ إلَى ضِدِّهِ) (semua yang melampaui batasnya maka akan berubah menjadi lawannya). Artinya yg tadinya halal karena darurat akan jadi haram kalau batas daruratnya sudah terlampaui. Sedangkan yg tadinya haram karena darurat juga jadi halal kalau batasnya sudah terlampaui.
Dalam kasus penutupan masjid dan itu haram, bisa saja dianggap halal tapi harus jelas batasannya. Yaitu memang sementara dan memang bahaya tersebut sudah bisa dipastikan terjadi di sana bila tidak dilakukan dan tak ada cara lain.
Dalam hal ini kita punya yurisprudensi, yaitu kasus wabah pernah terjadi di masa salaf, yaitu wabah tha’un yg jelas menular dan mematikan. Tapi belum ada satupun informasi bahwa saat itu mereka meniadakan shalat berjamaah, jum’at di masjid, malah yg ada sebagaimana pernah saya posting SS dari kitab Tarikh Islam Adz-Dzahabi tahqiq Tadmuri jilid 5 hal. 66-67 di mana shalat Jum’at tetap dilaksanakan meski jumlah yg hadir hanya 7 orang karena yang lain telah wafat akibat tha’un.
Bayangkan sebahaya itu sy’iar Islam tetap jalan.
Nah bagaimana kalau bahayanya tidak seperti itu.
Hal lain yg harus jadi pertimbangan adalah kaidah
الميسور لا يسقط بالمعسور
“Yang mudah tidak bisa gugur lantaran adanya yang sulit”
Praktinya, kalau memang berbahaya ber-shaf rapat, kan masih bisa ber-shaf jarang dgn prokes, tanpa harus menutup masjid? Toh di pasar dan di mall serta di tempat kerja masih bisa dilakukan. Apa kantor, mall dan pasar lebih mulia dan penting daripada masjid?
Juga shalat Jum’at misalnya, kalau memang bahaya bila terlalu banyak jmaah, maka tidak harus ditiadakan dong?! Tetap bisa diadakan dgn jumlah terbatas yg penting syi’ar Islam ini tetap ada.
Mau nulis lebih panjang lagi, tapi teringat bahwa ini hanya muka buku, bukan isi buku.
Anshari Taslim.
Sabtu malam Ahad, 3 Juli 2021.