Azan dan Ikamah – Definisi, Keutamaan, dan Hukum
Pembaca yang semoga dirahmati Allah ta’ala, kali ini kita akan belajar tentang azan dan ikamah. Di dalam artikel ini kita akan belajar tentang definisi, keutamaan, dan hukum azan serta ikamah. Materi didasarkan pada fikih mazhab Imam Ahmad bin Hambal, yang diambil dari kitab Syarah Bidayatul Mutafaqih karya Syaikh Ibrahim bin Fathi Abdul Muqtadir hafizahullah. Teruskan membaca!
Definisi Azan
Definisi azan secara bahasa adalah “al-I’lam” atau pemberitahuan. Ini didasarkan pada firman Allah ta’ala:
“Dan inilah suatu pemakluman dari Allah dan RasulNya kepada umat manusia di hari haji akbar,” (QS At-Taubah: 3).
Definisi azan secara istilah syar’i adalah:
“Beribadah kepada Allah azza wa jalla, dengan memberitahukan tentang masuknya waktu salat.”
Definisi ikamah secara bahasa adalah “aqamasy syai-a” (menegakkan sesuatu), maksudnya menjadikan sesuatu tadi berdiri tegak.
Sedang secara syar’i, ikamah adalah:
“Beribadah kepada Allah azza wa jalla dengan memberitahukan tentang dimulainya salat.”
Keutamaan Azan
Telah tegas di dalam As-Sunnah Al-Mubarakah tentang hadis-hadis sahih yang menjelaskan tentang keutamaan azan. Di antaranya sebagai berikut:
Dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu Anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidak ada yang mendengar suara muazin, baik manusia, jin atau apa pun dia, kecuali akan menjadi saksi pada hari kiamat,” (Sahih Bukhari: 609, Sunan An-Nasai: 644, Sunan Ibnu Majah: 723, Al-Muwatta: 153, Sunan Abu Dawud: 515, Musnad Ahmad: 9537, Ibnu Khuzaimah: 390).
Dari Muawiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu Anhuma yang mengatakan bahwa dirinya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
“Muazin adalah manusia yang paling panjang lehernya (paling mulia) di hari kiamat,” (Sahih Muslim: 387, Musnad Ahmad: 16419, Sunan Ibnu Majah: 725).
Hukum Azan
Azan hukumnya fardu kifayah, dan ini adalah pendapat yang benar menurut para ahli ilmu. Pendapat ini juga berasal dari Imam Malik, Imam Ahmad, semoga Allah merahmati mereka berdua. Jadi apabila ada satu orang yang mengumandangkan azan, sisa anggota masyarakat lainnya tidak berdosa jika meninggalkannya (tidak mengumandangkan azan).
Dari Malik bin Al-Huwairits Radhiyallahu Anhu yang mengatakan bahwa Nabi ﷺ bersabda kepadanya:
“Apabila waktu salat telah tiba, hendaknya salah seorang dari kalian mengumandangkan azan, dan yang menjadi imam hendaknya orang yang paling tua di antara kalian,” (Sahih Bukhari: 628, Sahih Muslim: 764, Jami At-Tirmizi: 205, Sunan An-Nasai: 634, Sunan Abu Dawud: 589, Sunan Ibnu Majah: 979, Musnad Ahmad: 15171, Sunan Ad-Darimi: 1253).
Nabi ﷺ memerintahkan Malik bin Al-Huwairits untuk azan. Perintah itu menunjukkan wajib (fardu kifayah), sebagaimana yang sudah diketahui, azan dan ikamah adalah fardu kifayah, baik ketika mukim maupun sedang safar, karena dua alasan:
- Bahwa Nabi ﷺ tidak mengumandangkan azan dan ikamah, baik ketika beliau sedang mukim maupun ketika beliau sedang safar, (Syarhul Mumti: 2/39).
- Nabi ﷺ memerintahkan Malik bin Al-Huwairits dan Ibnu Ammah Radhiyallahu Anhuma untuk mengumandangkan azan dan ikamah ketika safar, sebagaimana disebutkan dalam suatu hadis bahwa beliau ﷺ bersabda:
“Jika kalian dalam perjalanan, kumandangkan azan dan ikamah, dan yang menjadi imam hendaknya yang paling tua,” (Sunan At-Tirmizi: 205).