Utang Dalam Islam – Definisi, Hukum, Syarat, dan Kaidah
Pembaca rahimakumullah, utang dalam Islam hukumnya boleh. Hanya saja, utang memiliki syarat yang harus dipenuhi agar transaksi itu sah, juga ada kaidah penting yang tidak boleh dilanggar agar tidak menjadi haram karena mengandung unsur riba. Teruskan membaca agar paham!
Definisi Utang
Tentang pengertian utang, Syaikh Khalid Mahmud Al-Juhani di dalam kitabnya Syarah Mukhtashar Li Bidayatil Mutafaqqih menulis bahwa utang adalah:
Seseorang memberikan hartanya kepada orang lain, agar orang lain itu bisa memanfaatkannya kemudian mengembalikannya. Utang atau pinjaman juga disebut salaf.
Hukum Utang
Berutang atau meminta pinjaman hukumnya boleh. Ini didasarkan pada Quran, Sunah, dan Ijma.
Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata:
Pinjaman atau utang itu hukumnya mandub (sunah/disukai) bagi orang yang memberi utang, lalu bagi orang yang mengajukan pinjaman atau berutang, hukumnya mubah (boleh), [Al-Mughni: 4/236).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian melakukan transaksi utang piutang dalam waktu yang ditentukan, catatlah kesepakatan tersebut, [QS Al Baqarah 282].
Imam Muslim meriwayatkan di dalam Sahih-nya dari Abu Rafi Radhiyallahu Anhu yang berkata:
Bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengajukan pinjaman berupa unta muda kepada seseorang. Ketika beliau mendapat sedekah berupa unta muda cenderung dewasa, Nabi ﷺ menyuruh Abu Rafi untuk membayarkan utang Nabi ﷺ kepada pria tersebut.
Kemudian Abu Rafi kembali kepada Nabi ﷺ dan berkata:
“Saya tidak melihat unta ini sebagai unta muda, tetapi unta ini memang muda, tetapi cenderung dewasa.”
Maka Rasulullah ﷺ bersabda:
“Berikan itu kepadanya. Sungguh, manusia yg paling baik adalah yang paling baik dalam melunasi utang,” [Sahih Muslim: 1600].
Utang atau pinjaman hukumnya juga boleh berdasarkan ijma atau konsensus para ulama, sebagaimana ditulis oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (4/236):
Kaum muslimin sudah sepakat tentang bahwa utang hukumnya boleh.
Syarat Sah Utang
Syaikh Wahid Abdussalam Bali hafizahullah di dalam Bidayatul Mutafaqih mengatakan bahwa syarat sahnya utang ada dua, yaitu:
- Diketahui kadar dan sifat barang atau uang yang dipinjam
Syaikh Wahid Abdussalam Bali berkata tentang syarat sah utang (qardh):
“Diketahui kadar dan sifatnya.”
Jadi, barang atau uang yang dipinjam harus sudah sama-sama diketahui ukuran, volume, berat atau nominalnya, baik oleh orang yang berutang maupun yang diutangi. Alhasil, utang atau transaksi pinjaman tidak sah apabila tidak diketahui kadarnya.
Selain kadar, barang yang akan diutangkan juga harus diketahui sifat atau jenisnya, seperti beras, kurma, atau yang lainnya. Dengan demikian, orang yang berutang bisa tahu barang seperti apa yang harus dia kembalikan kepada orang yang dia utangi.
- Orang yang mengutangi memang berhak untuk memberikan utang
Syarat sah utang yang kedua adalah:
“Orang yang mengutangi memang berhak untuk memberikan utang.”
Maksudnya, tidak sah apabila seorang pengasuh anak yatim memberikan utang kepada orang lain dengan harta milik anak yatim yang dia asuh.
Tidak sah pula seorang nadzir wakaf yang mengutangkan kepada orang lain dengan harta wakaf yang dia kelola.
Pun demikian, tidak sah apabila harta wasiat diutangkan oleh orang yang bukan penerima wasiat, kecuali ada izin dari pemilik harta yang sah untuk mengutangkan harta tersebut.
Mengapa? Karena qardh atau utang di sini adalah akad atau transaksi yang niatnya untuk membantu (aqdu irfaqi).
Jadi, utang tidak akan sah kecuali dari orang yang memang sah atau berhak untuk mendistribusikannya, persis seperti sedekah (sedekah tidak sah jika diambil dari harta orang lain), (Al-Kasyaf: 8/135 dan Syarhul Muntaha: 3/323).
Jangan Begini Kalau Ngutangin
Pembaca rahimakumullah, utang memang boleh di dalam islam, tetapi apabila melanggar kaidah ini akan berubah menjadi riba atau haram. Apa kaidah tersebut? Syaikh Wahid Abdussalam Bali hafizahullah menulis di dalam Bidayatul Mutafaqih:
“Setiap pinjaman yang menghasilkan keuntungan karena adanya syarat di awal, itu namanya riba.”
Syaikh Khalid Al-Jauhani mengatakan bahwa dalil akan hal ini adalah ijma, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mundzir di dalam Al-Ijma Nomor 508:
“Mereka (para ulama) sudah sepakat atau ijma bahwa apabila orang yang memberi utang (salaf) mensyaratkan adanya hadiah atau bunga (misal) 10% dari total pinjaman, kemudian dia memberi pinjaman dengan ketentuan seperti itu, dan dia mengambil bunga tersebut, maka itu namanya riba.”
Dari kaidah ini bisa disimpulkan bahwa orang yang mengutangi tidak boleh membuat syarat dan ketentuan (S&K) yang menguntungkan bagi dirinya, seperti:
- Barang yang dipinjam atau diutang harus kembali dalam wujud yang lebih bagus atau lebih banyak
- Orang yang diutangi harus menjualkan barang tersebut
- Orang yang diutangi harus membeli dari orang yang mengutangi
- Orang yang diutangi harus menyewa dari orang yang mengutangi
- Orang yang diutangi harus mempekerjakan orang yang mengutangi
- Orang yang diutangi harus memberikan hadiah kepada orang yang mengutangi
- Orang yang diutangi harus bekerja kepada orang yang mengutangi
- Atau syarat dan klausul lainnya yang menjadikan si pemberi utang bisa mengambil manfaat atau keuntungan dari utang tersebut.
Dari Abdullah bin Amru bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidak halal menggabungkan transaksi utang dengan jual beli,” (Sunan At-Tirmizi: 1234).
Dari Ubay bin Ka’ab, juga Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas, Radhiyallahu Anhum, bahwa mereka melarang transaksi utang-piutang yang mensyaratkan adanya manfaat/keuntungan bagi pihak pemberi utang. Tertulis di dalam Al-Mughni:
“Karena utang itu aslinya akad bantuan dan taqarub (ibadah/mendekatkan diri kepada Allah). Jadi apabila di dalamnya terdapat syarat adanya bunga, transaksi itu sudah keluar dari sifat aslinya (bukan lagi ibadah karena ada unsur haram, bukan lagi nulung tetapi menthung). Wallahu’alam
Kitab: At-Tawsiq Li Bidayatil Mutafaqqih
Karya: Syaikh Khalid Mahmud Al-Juhani
Penerjemah: Irfan Nugroho (Staf Pengajar di Pondok Pesantren Tahfizhul Quran At-Taqwa Sukoharjo).