Guru Harus Semangat Upgrade Diri
Pembaca mukminun.com rahimakumullah, di antara adab seorang guru atau ustadz atau pengajar, menurut Imam Ibnu Jamaah dalam Tadzkiratus Sami Wal Mutamakkin adalah senantiasa bersemangat dalam menambah kebaikan (upgrade diri).
Di dalam Kitabnya, Imam Ibnu Jamaah menulis:
Bersemangat dalam meng-upgrade diri dan bersungguh-sungguh.
WASILAH UPGRADE DIRI
Kaitannya dengan ini, beliau mengatakan bahwa di antara wasilah untuk meng-upgrade diri adalah:
– membaca (untuk diri sendiri, agar diri ini paham suatu perkara),
– membacakan untuk orang lain (bisa untuk santri, atau jamaah pengajian, atau siapa saja, intinya untuk orang lain)
– menelaah (mendapati suatu ayat, lalu membaca tafsirnya; mendapati hadis lalu membaca syarahnya; atau mendapati matan lalu membaca penjelasannya, dst. Ini namanya menelaah, upaya mengetahui sesuatu secara lebih detail)
– memikirkan (mengaitkan realita dengan dalil atau syariat, sehingga tahu bagaimana harus bersikap dan beramal terhadap realita. Dalam bahasa lain, ini sering disebut dengan tafakur)
– membuat catatan (ketika ada kosakata baru, lalu memberi arti di atasnya atau di bawahnya, ini termasuk taklik)
– menghafal (menghafal ilmu, menghafal ayat, menghafal hadis, dan proses-proses sebelumnya seperti membaca, membacakan, dst., ini sangat membantu seseorang dalam menghafal)
– menulis (dan ini adalah salah satu cara menguatkan hafalan, mengikat ilmu, menyebar ilmu, dll)
– melakukan penelitian (dan ini adalah wasilah upgrade diri yang paling berat, karena hampir melibatkan semua proses di atas. Maka beberapa instansi pemerintah menggunakan penelitian sebagai prasyarat untuk naik jabatan, atau untuk meraih gelar akademik).
Inilah beberapa wasilah untuk meng-upgrade diri. Jika seorang guru bisa melazimi hal-hal di atas, kompetensi atau kapasitasnya sebagai guru atas senantiasa berkembang, alhasil kebaikannya semakin bertambah.
KAIDAH DALAM MENEMPUH WASILAH UPGRADE DIRI
Hanya saja, dalam menempuh wasilah di atas, Imam Ibnu Jama’ah menetapkan beberapa kaifiyah atau tata cara. Apa saja yang harus dilakukan dalam menempuh wasilah tersebut? Imam Ibnu Jama’ah berkata:
– Senantiasa bersemangat dalam meng-upgrade diri
– Tekun/mulazamah dalam kesungguhan dan keseriusan
– Rutin mengamalkan wirid-wirid syar’i dan ibadah-ibadah
– Menyibukkan diri dengan hal-hal yang memang menjadi tugas atau pekerjaannya, atau mengisi waktu luang dengan kesibukan yang bermanfaat (dalam hal ini adalah melakukan wasilah-wasilah upgrade diri seperti di atas).
– Tidak menyia-nyiakan sebagian waktu dalam hidupnya untuk melakukan hal-hal yang berada di luar domain/ranah seorang guru. Apa ranah atau domain seorang guru? Beliau mengatakan, “Ilmu dan amal.”
Tugas yang sangat berat. Beban yang sangat berat. Tetapi memang seperti itulah guru ideal menurut Syaikh Ibnu Jama’ah.
Membaca, membacakan untuk orang lain, menelaah, memikirkan realita, menghafalkan, memberi catatan, dan membuat penelitian. Ini semua dilakukan dengan tata cara seperti di atas. Masya Allah.
PENGECUALIAN DALAM UPAYA UPGRADE DIRI
Dari penjelasan di atas, seolah-olah Syaikh Ibnu Jama’ah ingin mengatakan, “Kalau kamu jadi guru di pesantren saya, kamu harus senantiasa membaca, baik karena disuruh atasan, maupun ketika kamu memiliki waktu luang.”
Atau, “Kamu harus senantiasa menelaah kitab, karena itu adalah tugas dari atasan, dan kalau ada waktu luang, kamu harus menelaah kitab.”
Allahu Akbar.
Syukurnya, Syaikh Ibnu Jama’ah memberi pengecualian dalam menempuh wasilah upgrade diri, yaitu:
“(Hendaknya seorang guru menempuh wasilah² upgrade diri seperti di atas, dengan cara-cara seperti yg disebutkan sebelumnya) kecuali dalam dalam keadaan yang urgen, seperti: 1) makan, 2) minum, 3) tidur, 4) istirahat karena lelah (bukan lelah karena terlalu lama istirahat, 5) memenuhi hak istri, 6) memenuhi hak tamu, 7) mencari makan, 8) sakit, 9) atau hal-hal lain yang menjadi uzur untuk menempuh upaya-upaya upgrade diri.”
Masya Allah… Inilah kompetensi seorang guru, upgrade diri dengan cara dan tata cara seperti di atas. Pengecualian hanya berlaku dalam hal-hal seperti yang disebutkan sebelumnya. Allahu Akbar.
Tak terbayang bagaimana jika Syaikh Ibnu Jama’ah menjadi kepala sekolah kita. 😁
Sebuah standar yang berat. Tetapi coba kita renungkan nasihat beliau:
“Umur orang beriman itu tidak ternilai harganya. Jadi, siapa saja yang dua harinya itu sama, berarti dia termasuk orang yang rugi.”
Bayangkan, sama itu kan artinya konsisten. Jika konsisten saja dianggap merugi, lalu bagaimana jika tidak konsisten, atau nauzubillah ternyata kita sebagai guru ternyata justru mengalami degrade, padahal harusnya upgrade.
Wallahu’alam bish shawwab
Sukoharjo, 1 Februari 2023
Irfan Nugroho, guru di Pesantren Tahfizh At-Taqwa, yang sedang mengantar anak ikut ujian seleksi murid baru MI At-Taqwa Nguter.