Pembatal Puasa, Syarat Wajib & Syarat Sah
Pembaca rahimakumullah, apa saja syarat wajib puasa? Apa syarat sah puasa? Apa sunah puasa? Dan apa saja pembatal puasa? Teruskan membaca matan fikih puasa menurut Mazhab Imam Ahmad bin Hambal yang diterjemahkan oleh Irfan Nugroho (Staf Pengajar Pondok Pesantren At-Taqwa Sukoharjo) dari kitab Bidayatul Mutafaqqih karya Syaikh Wahid Abdussalam Bali hafizahullah.
Syarat Wajib Puasa
Syaikh Wahid Abdussalam Bali hafizahullah di dalam Bidayatul Mutafaqqih tentang syarat wajib puasa berkata:
Syarat wajib puasa ada enam:
Syarat Wajib Puasa 1: Masuk Bulan (Ramadan)
Syaikh Khalid Mahmud Al-Juhani di dalam At-Tawsiq li Bidayatil Mutafaqqih berkata:
Tidak wajib puasa ramadan kecuali apabila sudah masuk bulan (Ramadan). Masuknya bulan Ramadan itu dengan terlihatnya hilal Ramadan. Lalu apabila terdapat uzur (sehingga hilal Ramadan tiadk terlihat), masuknya bulan Ramadan dengan menggenapkan bulan Syaban tiga puluh (30) hari.
Allah ta’ala berfirman:
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, (QS Al Baqarah 185).
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang mengatakan bahwa Nabi ﷺ bersabda:
Berpuasalah kalian karena melihat hilal. Berbukalah kalian karena melihat hilal. Apabila hilal tertutup dari kalian, genapkan jumlah bulan Syaban menjadi tiga puluh hari, (Sahih Bukhari: 1909. Sahih Muslim: 1081).
Syarat Wajib Puasa 2: Islam
Syaikh Khalid Mahmud Al-Juhani di dalam At-Tawsiq li Bidayatil Mutafaqqih berkata:
Berpuasa di bulan ramadan bagi orang Islam hukumnya wajib. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:
Diwajibkan atas kalian berpuasa, (QS Al Baqarah: 183).
Jadi, tidak wajib berpuasa atas orang kafir asli, atau orang kafir akibat murtad. Jika dia masuk Islam di dalam bulan Ramadan, dia tidak wajib memuasai hari-hari yang sudah berlalu.
Mengapa mualaf di bulan Ramadan tidak wajib qadha?
- Karena sudah banyak orang masuk Islam di zaman Nabi ﷺ dan sesudah beliau, tetapi mereka tidak diperintahkan untuk mengganti puasa Ramadan (ketika mereka belum masuk islam).
- Selain itu, kekafiran menjadikan mereka terasing dari kewajiban qadha, sehingga (tidak puasanya mereka di hari-hari sebelum mereka masuk Islam) dimaafkan.
- Argumen lain adalah karena (di dalam ibadah puasa Ramadan), setiap harinya itu adalah ibadah tersendiri.
Syarat Wajib Puasa 3: Baligh
Syaikh Khalid Mahmud Al-Juhani di dalam At-Tawsiq li Bidayatil Mutafaqih berkata:
Hukum puasa ramadan bagi anak kecil adalah tidak wajib. Hal ini berdasarkan hadis ibunda Aisyah Radhiyallahu Anha dari Nabi ﷺ yang bersabda:
Pena (pencatat amal dan dosa) diangkat dari tiga orang; 1) orang yang tertidur sampai dia bangun, 2) anak kecil sampai dia bermimpi (dewasa), 3) orang gila sampai dia berakal, (Sunan Abu Dawud: 4403).
Mengapa anak kecil tidak wajib puasa?
- Karena puasa adalah ibadah badaniyah, maka tidak wajib bagi anak-anak, seperti halnya haji. Meski demikian, dia tetap dididik untuk puasa apabila dia sudah mulai mampu menjalankan ibadah puasa (umur tujuh tahun dididik), dan dia boleh dipukul (dengan pukulan yang tidak melukai, jika sudah umur 10 tahun, mampu berpuasa, tetapi tidak mau) sehingga dia terbiasa menjalankan ibadah puasa. Ini persis seperti pendidikan salat pada anak-anak.
- Karena anak-anak itu dianggap belum memiliki akal (belum paham) tentang waktu (puasa), apalagi karena akalnya belum sempurna juga kemampuan fisiknya belum terlihat dan bisa berbeda-beda. Maka, penetapan syariat pada anak ditentukan dengan adanya tanda-tanda zahir, yaitu tanda-tanda baligh.
Syarat Wajib Puasa 4: Berakal
Syaikh Khalid Mahmud Al-Juhani di dalam At-Tawsiq li Bidayatil Mutafaqih berkata:
Syarat wajib puasa selanjutnya adalah berakal. Jadi, tidak wajib puasa atas orang gila. Hal ini berdasarkan hadis Aisyah yang disebutkan di atas.
Apakah orang gila wajib qadha? Syaikh Khalid Al-Juhani berkata, “Jika masa gilanya panjang, dan terdapat kesulitan (untuk menghitung jumlah hari dia gila selama ramadan) sehingga tidak wajib qadha. Jadi dalam hal ini, mereka dimaafkan.
Faidah:
Apabila orang kafir masuk Islam, atau orang gila kembali waras, atau anak kecil menjadi dewasa di dalam bulan Ramadan, mereka wajib puasa di hari-hari berikutnya bulan tersebut.
Mengapa? Karena mereka telah berubah menjadi orang wajib syariat (ahli khitob/orang yang terkena perintah syariat), sehingga mereka masuk menjadi ahli khitob dengan hal-hal tersebut.
Jadi, mereka tidak wajib mengqadha atas apa yang sudah berlalu, karena di masa sebelumnya, mereka belum menjadi mukallaf. Alhasil, mereka tidak wajib qadha, seperti qadha ramadan di masa lalu (atau qadha shalat di masa lalu).
Apabila tanda-tanda itu terjadi di siang hari, mereka wajib:
- menahan diri (dari pembatal puasa) di sisa hari tersebut, dan
- mengganti puasa untuk hari itu (di luar bulan Ramadan).
Mengapa? Karena mereka mendapati sebagian waktu ibadah, sehingga:
- wajib bagi mereka mengganti hari tersebut, seperti halnya ketika mereka mendapati sebagian waktu salat.
- Wajib bagi mereka menahan diri (puasa) sebagai bentuk penghormatan terhadap bulan Ramadan.
Apabila seorang anak sedang menjalankan puasa, lalu dia berubah menjadi dewasa pada siang hari itu, dia wajib menyempurnakan puasanya hari itu, karena dia telah menjadi ahli wajib (orang yang mendapat kewajiban puasa), maka wajib baginya menyempurnakan (puasa), seolah-olah dia sebelumnya melakukan puasa sunah kemudian bernazar untuk menyempurnakannya.
Syarat Wajib Puasa 5: Mampu
Syaikh Khalid Mahmud Al-Juhani berkata:
Tidak wajib puasa bagi orang tua yang kesulitan melakukan ibadah puasa. Juga tidak wajib puasa bagi orang sakit yang tidak ada harapan untuk sembuh. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, (QS Al Baqarah 286).
Wajib bagi orang seperti ini untuk memberi satu porsi makanan kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang tidak dia puasai. Hal ini berdasarkan firman Allah:
Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin, (QS Al Baqarah 184).
Imam Ibnu Mundzir berkata, “Para ulama telah ijma (sepakat) bahwa orang tua renta adalah satu dari dua golongan yang dinilai tidak mampu berpuasa, sehingga mereka boleh berbuka,” (Al-Ijma: 153).
Apabila mereka tidak mampu membayar fidyah, ya sudah mereka tidak apa-apa kalau tidak membayar fidyah. Dalilnya adalah ayat yang pertama (Al Baqarah 286).
Syarat Wajib Puasa 6: Mukim
Syaikh Khalid Mahmud Al-Juhani berkata di dalam At-Tawsiq li Bidayatil Mutafaqqih tentang wajibnya puasa bagi orang yang mukim:
Puasa Ramadan bagi orang yang sedang safar hukumnya tidak wajib. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu anha bahwa Hamzah bin Amru Al-Aslami berkata kepada Nabi ﷺ:
Apakah saya harus berpuasa ketika sedang safar?
Rasulullah ﷺ bersabda:
Jika kamu mau, ya puasa. Jika kamu mau, tidak usah puasa, (Sahih Bukhari: 1943. Sahih Muslim: 1121).
Berbuka ketika safar adalah lebih utama bagi orang yang mendapati adanya kesulitan dalam perjalanannya. Hal ini berdasarkan hadis Jabir bin Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
Bukan termasuk kebaikan apabila seseorang tetap berpuasa ketika safar, (Sahih Bukhari: 1946. Sahih Muslim: 1115).
Mengapa orang yang bepergian dan mengalami kesusahan lebih utama untuk tidak berpuasa? Karena rukhshah safar adalah sesuatu yang disepakati, maka dia lebih utama, seperti utamanya qashar salat ketika dalam perjalanan.
Jadi, apabila musafir sudah sampai di tempat tujuannya, tidak boleh baginya untuk tidak berpuasa, karena uzur yang sebelumnya dia miliki sudah tidak berlaku, persis seperti hukum qashar shalat.
Inilah enam syarat wajib puasa dalam Mazhab Hambali, sebagaimana diringkaskan oleh Syaikh Wahid Abdussalam Bali hafizahullah dalam kitabnya Bidayatul Mutafaqih.
Syarat Sah Puasa
Apa saja syarat sah puasa? Tentang hal ini, Syaikh Wahid Abdussalam Bali hafizahullah berkata:
Syarat sah puasa ada enam:
Syarat Sah Puasa 1: Islam
Syaikh Khalid Mahmud Al-Juhani berkata:
Tidak sah puasanya orang kafir. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:
Dan yang menghalang-halangi infak mereka untuk diterima adalah karena mereka kafir (ingkar) kepada Allah dan Rasul-Nya, (QS At Taubah 54).
Dan sungguh, semua amal di dalam agama Islam hanya bisa sah dengan adanya iman dari pelakunya. Hal ini didasarkan pada firman Allah ta’ala:
Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi, (QS Az Zumar 65).
Maksud dari QS Az Zumar 65 tersebut adalah bahwa apabila kamu (Nabi Muhammad ﷺ atau umatnya) menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, amalmu akan batal (tidak sah), juga tidak akan menghasilkan pahala, dan kamu tidak akan mendapat balasan kecuali seperti balasan yang diterima oleh orang-orang yang berbuat syirik.
Syarat Sah Puasa 2: Berakal
Di antara syarat sah puasa adalah berakal. Syaikh Khalid Mahmud Al-Juhani berkata:
Tidak sah puasanya orang yang gila. Hal ini berdasarkan hadits Ali dan Aisyah dari Nabi ﷺ yang bersabda:
Pena (pencatat amal dan dosa) diangkat dari tiga orang; 1) orang yang tertidur sampai dia bangun, 2) anak kecil sampai dia bermimpi (dewasa), 3) orang gila sampai dia berakal, (Sunan Abu Dawud: 4403).
Jadi, puasanya orang gila atau orang yang sedang hilang akalnya adalah tidak sah. Mengapa? Karena tidak ada tujuan, maka tidak ada niat (sedangkan niat adalah salah satu syarat sahnya puasa).
Syarat Sah Puasa 3: Tamyiz
Di antara syarat sah puasa adalah tamyiz. Jadi, puasanya anak kecil yang belum tamyiz adalah tidak sah. Jadi, anak kecil yang belum baligh, asalkan dia sudah tamyiz dan melakukan puasa, dia akan mendapatkan pahala. Lalu apabila dia tidak berpuasa, dia tidak apa-apa, karena dia belum baligh. Ingat, ada perbedaan antara baligh dengan tamyiz.
Dalil untuk hal ini adalah hadis Ali dan Aisyah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
Pena (pencatat amal dan dosa) diangkat dari tiga orang; 1) orang yang tertidur sampai dia bangun, 2) anak kecil sampai dia bermimpi (dewasa), 3) orang gila sampai dia berakal, (Sunan Abu Dawud: 4403).
Syarat Sah Puasa 4: Niat
Syarat sah puasa selanjutnya adalah niat. Jadi, puasa tidak sah kecuali dengan niat sejak malam. Hal ini berdasarkan adis Umar bin Khattab yang mengatakan bahwa beliau mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
Semua amal tergantung pada niatnya, (Sahih Bukhari: 1. Sahih Muslim: 1907).
Juga berdasarkan sebuah riwayat dari Hafsah bahwa Nabi ﷺ bersabda:
Tidak ada puasa bagi orang yang tidak berniat sebelum fajar, (Sunan An-Nasai: 2336. Sunan Abu Dawud: 2454. Jami At-Tirmizi: 730).
Niat Puasa Wajib, Kapan?
Setiap hari menuntut adanya pembaruan niat. Ibnu Mundzir berkata, “Para ulama telah sepakat bahwa siapa saja yang berniat puasa Ramadan setiap malam, puasanya telah sempurna,” (Al-Ijma: 146).
Mengapa berniat setiap malam?
- Karena puasa Ramadan adalah puasa fardu, maka menuntut adanya niat sejak malam, setiap malamnya, persis seperti qadha Ramadan.
- Karena setiap harinya merupakan ibadah tersendiri, tidak bersambung antara yang satu dengan yang lainnya. Apabila puasa di suatu hari rusak/batal, puasa di hari lainnya tidak ikut rusak/batal. Persis seperti puasa qadha.
Kapan waktu niat puasa Ramadan? Jawabnya adalah kapan saja selama di malam hari, maka itu sah. Malam hari dihitung sejak azan magrib hingga azan subuh. Hal ini dalilnya adalah hadis Hafshah.
Untuk puasa sunah, sah hukumnya untuk menghadirkan niat di siang hari. Hal ini berdasarkan hadis Aisyah ummul mukminin yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pada suatu hari bersabda:
Apakah kalian memiliki makanan?
Kemudian pada istri nabi pun menjawab tidak. Lantas beliau bersabda:
Kalau begitu saya akan berpuasa, (Sahih Muslim: 1154).
Niat puasa sunah bisa kapan saja di siang hari, dan itu sah, asalkan sebelum zuhur.
Syarat Sah Puasa 5: Berhentinya Haid
Termasuk syarat sah puasa adalah berhentinya darah haid. Jadi, tidak sah puasanya wanita yang sedang haidh. Dalilnya adalah hadis Abu Said Al-Khudri yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
Bukankah wanita itu kalau sedang menstruasi, dia tidak salat dan tidak puasa? (Sahih Bukhari: 304).
Syarat Sah Puasa 6: Berhentinya Nifas
Termasuk syarat sah puasa adalah terputusnya darah nifas, atau darah setelah melahirkan. Jadi, wanita yang sedang nifas, apabila dia berpuasa, puasanya tidak sah.
Mengapa? Karena nifas itu seperti haidh. Jadi, hukum nifas itu di-qiyas-kan dengan haidh.
Maka, kapan saja seorang wanita berhenti nifas atau haid di malam hari, kemudian dia berniat puasa, lalu dia mandi (meskipun) di siang hari, puasanya itu sah.
Hal ini berdasarkan hadis Ummu Salamah yang berkata:
Rasulullah ﷺ pernah mendapati waktu subuh dan beliau dalam kondisi junub setelah bersenggama dengan istri beliau, kemudian beliau mandi dan berpuasa, (Sahih Bukhari: 1926. Sahih Muslim: 1109).
Haid dan nifas terkandung di dalam makna hadis ini.
Demikian ringkasan matan fikih mazhab Hambali tentang apa saja syarat sah puasa, sebagaimana ditulis oleh Syekh Wahid Abdussalam Bali hafizahullah dalam kitabnya Bidayatul Mutafaqqih.
Sunah-sunah Puasa
Pembaca mukminun.com rahimakumullah, setelah mengetahui syarat wajib puasa dan syarat sah puasa, yang mana keduanya merupakan urusan yg wajib, kini kita akan mempelajari apa saja sunah-sunah puasa.
Syaikh Wahid Abdussalam Bali hafizahullah menulis di dalam kitabnya Bidayatul Mutafaqih:
Sunah-sunah puasa ada enam:
Segera berbuka (jika sudah waktunya)
Mengakhirkan sahur (sebelum azan subuh)
Menambah amal-amal kebaikan.
Jika dibuat marah, dia mengatakan, “Saya sedang berpuasa.”
Berdoa ketika berbuka.
Berbuka dengan kurma basah, jika tidak ada dengan kurma kering, jika tidak ada dengan air.
Inilah di antara sunah-sunah puasa menurut Mazhab Hambali sebagaimana yang ditulis oleh Syekh Wahid Abdussalam Bali hafizahullah di dalam kitabnya Bidayatul Mutafaqih.
Pembatal Puasa
Pembaca yang semoga dirahmati Allah, apa saja pembatal puasa? Di dalam kitabnya Bidayatul Mutafaqih, Syaikh Wahid Abdussalam Bali hafizahullah ketika membahas tentang beberapa pembatal puasa beliau menulis:
Pembatal puasa ada tujuh.
Makna Pembatal Puasa
Pembatal puasa adalah hal-hal yang bisa merusak puasa, atau menjadikan puasa yang sebelumnya sah menjadi tidak sah karena melakukan pembatal puasa.
Dalam menentukan apakah puasa seseorang batal atau tidak, apabila dia sudah melakukan pembatal puasa, dituntut untuk memenuhi tiga unsur:
- Adz-Dzikru atau dia dalam kondisi ingat
- Al-Ikhtiyar atau dia dalam kondisi bisa memilih, lanjut melakukan pembatal puasa atau tidak, bukan dalam keadaan terpaksa
- Al-Ilmu atau dia mengetahui ilmunya, bahwa ini itu adalah pembatal puasa.
Orang yang melakukan pembatal puasa, dan memenuhi tiga syarat di atas, wajib baginya qadha. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda:
Siapa yang muntah secara sengaja, dia wajib qadha, (Sunan Abu Dawud: 2380).
Pembatal Puasa 1: Makan atau Minum secara Sengaja
Makan dan minum secara sengaja adalah pembatal puasa. Hal ini didasarkan pada firman Allah ta’ala:
Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar, (QS Al Baqarah 187).
Jadi, Allah membolehkah seseorang untuk melakukan keduanya (makan/minum) sampai tiba waktunya, yaitu azan subuh, kemudian Allah memerintahkan untuk berpuasa dari keduanya hingga malam (azan magrib), karena hukum sesuatu antara sebelum dan sesudah waktunya itu berbeda.
Hal ini didasarkan pada hadis Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
Allah azza wa jalla berfirman, “Setiap amal Bani Adam adalah miliknya, kecuali puasa, karena puasa adalah milikKu (milik Allah) dan Aku (Allah) yang akan memberi balasannya.”
Sebab orang yang berpuasa telah menahan syahwatnya dan tidak makan (di siang hari) karena Aku (Allah), (Sahih Muslim: 1151).
Sikap Orang Puasa Jika Digoda
Imam Ibnu Mundzir berkata:
- Tidak ada perselisihan di kalangan ulama bahwa Allah azza wa jalla mengharamkan atas orang yang berpuasa di siang hari bulan puasa untuk berbuat rafats. Rafats di sini maksudnya jima, makan, dan minum.
- Para ulama juga sudah sepakat bahwa tidak apa-apa bagi orang yang sedang berpuasa menelan air liur yang biasa mengalir dari sela-sela gigi yang tidak bisa dihindari, (Al-Ijma: 148 dan 151).
Orang yang melakukan pembatal puasa tanpa uzur, entah itu dengan makan makanan atau sesuatu yang bukan makanan seperti kerikil atau biji-bijian, karena itu juga termasuk kategori makan, puasanya batal, karena tidak ada bedanya antara makan/minum yang sedikit maupun banyak.
Makan/minum yang membatalkan puasa adalah makan/minum yang disengaja. Jadi siapa saja yang minum tanpa sengaja, tidak apa-apa. Hal ini didasarkan pada hadis Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
Jika seseorang lupa lalu dia makan dan minum (ketika sedang berpuasa) maka hendaklah dia meneruskan puasanya karena hal itu berarti Allah telah memberinya makan dan minum, (Sahih Bukhari: 1933).
Pembatal Puasa 2: Jimak secara Sengaja
Termasuk pembatal puasa adalah jimak atau berhubungan badan secara sengaja. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:
Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar, (QS Al Baqarah 187).
Jadi, siapa saja yang menggauli istrinya pada kemaluannya, kemudian keluar mani, wajib baginya qadha dan kafarat. Kafaratnya adalah:
- Membebaskan budak, lalu jika tidak bisa
- Berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak bisa
- Memberi makan 60 orang miskin.
Hal ini didasarkan pada hadis Abu Hurairah yang berkata:
Ketika kami sedang duduk bermajelis bersama Nabi ﷺ.
Ketika itu datang seorang laki-laki yang berkata:
Ya Rasulullah, celakalah saya.
Rasulullah ﷺ pun bertanya:
Ada apa dengan Anda?
Kemudian lelaki itu berkata:
Saya mendatangi istri saya (berhubungan badan) dan saya sedang berpuasa.
Kemudian Rasulullah ﷺ pun bersabda:
Apakah Anda memiliki budak yang bisa dibebaskan? Kemudian lelaki itu menjawab tidak. Rasulullah ﷺ pun bertanya lagi:
Apakah Anda mampu berpuasa dua bulan berturut-turut? Kemudian lelaki itu menjawab tidak. Kemudian Rasulullah ﷺ bertanya lagi:
Apakah Anda memiliki makanan untuk 60 orang miskin? Kemudian lelaki itu juga menjawab tidak. Nabi pun terdiam sejenak dan para sahabat pun terdiam. Ketika itu, Nabi ﷺ diberikan satu keranjang kurma. Lantas Nabi ﷺ bertanya:
Di mana orang yang bertanya tadi? Sontak lelaki tadi berkata, “Saya.” Kemudian Rasulullah ﷺ bertanya:
Ambillah ini, lalu bersedekahlah dengannya.
Tetapi lelaki itu berkata:
Memang ada, Ya Rauslullah, orang yang lebih fakir daripada saya?
Demi Allah, tidak ada keluarga yang tinggal diantara dua perbatasan, yang dia maksud adalah dua gurun pasir, yang lebih faqir daripada keluargaku.
Mendengar curhatan itu, Rasulullah ﷺ pun tertawa hingga terlihat gigi seri beliau, (Sahih Bukhari: 1936).
Dan apabila seseorang tidak mampu melakukan semua itu, ya sudah tidak apa-apa, karena Nabi ﷺ memerintahkan orang yang curhat kepada beliau tentang hajatnya itu untuk memakan kurma tersebut pada akhirnya.
Tidak ada kafarat untuk selain jimak, karena Nabi ﷺ tidak memerintahkan orang yang berbekam atau orang yang muntah untuk membayar kafarat.
Apabila jimak terjadi secara tidak sengaja, maka tidak wajib qadha atau kafarat. Hal ini adalah kiyas dari makan dan minum, berdasarkan hadis Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:
Sesungguhnya Allah akan menggugurkan dari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya, (Sunan Abu Dawud: 2045).
Pembatal Puasa 3: Muntah secara sengaja
Muntah secara sengaja membatalkan puasa. Muntah secara sengaja adalah mengeluarkan makanan atau minuman dari mulut. Jadi, siapa saja yang muntah secara sengaja, puasanya batal. Lalu siapa saja yang tidak sengaja muntah, dia tidak perlu mengqadha puasa hari itu. Hal ini didasarkan pada hadis Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:
Barangsiapa yang muntah tanpa disengaja ketika sedang berpuasa, maka dia tidak berkewajiban untuk mengqadha. Dan apabila dia sengaja untuk muntah, dia wajib mengqadha, (Sunan Abu Dawud: 2380).
Ibnu Mundzir berkata, “Para ulama sudah sepakat bahwa orang yang berpuasa tidak wajib qadha apabila tidak sengaja muntah. Hasan Al-Bashri menyendiri dalam hal ini. Kata beliau, orang puasa yang tidak sengaja muntah tetap wajib untuk qadha. Meski demikian, ulama lainnya menyepakati yang pertama (tidak qadha). Para ulama juga sudah sepakat tentang batalnya puasa dari orang yang muntah sengaja,” (Al-Ijma: 149 dan 150).
Pembatal Puasa 4: Masturbasi/onani
Di antara pembatal puasa adalah al-Istimna atau on4n1 atau m4sturb4si. Al-Istimna adalah seseorang berupaya mengeluarkan mani dengan wasilah (sarana). Jadi, siapa saja yang keluar mani (akibat istimna), puasanya batal. Ini didasarkan pada hadis Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ menyampaikan hadis qudsi di mana Allah berfirman:
Orang yang berpuasa telah menahan syahwat dan makan karena Aku (Allah), (Sunan An-Nasai: 2215).
Berdasarkan hadis ini, orang yang melakukan istimna dianggap telah melakukan perbuatan yang menafikkan arti siap itu sendiri, dan itu jika dilakukan secara sengaja, berarti dia melakukannya tanpa uzur (maka batal puasanya). Apalagi dalam istimna itu mani keluar secara langsung (sengaja).
Kemudian, jika seseorang terus saja memandang (sesuatu yang haram), kemudian dia keluar mani, maka puasanya batal. Mengapa? Karena keluarnya itu akibat melakukan sesuatu yang sebenarnya bisa dihindari, tetapi dia justru melakukannya. Alhasil kondisi yang seperti ini dianggap sama dengan keluarnya mani akibat sentuhan.
Kemudian apabila seseorang secara tidak sengaja melihat sesuatu yang haram, kemudian dia berpaling, lalu akibat dia memandang sekilas dan keluar mani, puasanya tidak batal. Mengapa? 1) Karena dia tidak sengaja melihatnya, 2) dia punya semacam penyakit (ejakulasi dini) yang hanya dengan melihat barang seperti itu sekilas saja langsung keluar maninya.
Jika mani keluar akibat kepikiran (tanpa dibantu dengan sentuhan tangah atau benda lain), puasanya tidak batal.
Pembatal Puasa 5: Bertekad untuk berbuka puasa
Pembatal Puasa 5: Bertekad untuk Membatalkan Puasa
Pembaca rahimakumullah, termasuk pembatal puasa di dalam Bidayatul Mutafaqqih adalah bertekad untuk membatalkan puasa. Kata Syaikh Khalid Al-Jauhani:
Siapa saja yang berniat untuk keluar (membatalkan) dari puasa fardu, sungguh dia telah membatalkan puasanya. Hal ini didasarkan pada hadis Umar bin Khattab yang mengatakan bahwa beliau mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
Sesungguhnya semua amal itu bergantung pada niatnya, (Sahih Bukhari: 1. Sahih Muslim: 1907).
Mengapa bertekad membatalkan puasa menjadikan puasa batal?
- Karena niat puasa itu hukumnya wajib di sepanjang hari. Jadi, apabila niat puasa itu terputus di perjalanan hari tersebut, terlepas pula sebagian dari niat tersebut. Inilah yang kemudian merusak seluruh puasa tersebut karena syarat (niat) tidak terpenuhi.
- Karena niat adalah tekad yang sifatnya menentukan. Nah, apabila seseorang bertekad untuk merusak niat tersebut, itu artinya orang tersebut tidak memiliki niat alias plin-plan. Dengan demikian, orang itu seperti tidak memiliki niat (puasa).
Pembatal Puasa 6: Haid atau nifas
Pembatal puasa selanjutnya adalah haid. Jadi, kapan saja seseorang yang berpuasa mendapati adanya darah haid ketika dia sedang berpuasa, puasanya batal. Hal ini didasarkan pada hadis Abu Said Al-Khudri yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
Bukankah wanita yang haid itu tidak salat dan tidak puasa? (Sahih Al Bukhari: 304).
Selain haid, puasa seorang wanita juga batal ketika dia mendapati darah nifas pada siang hari ketika puasa, karena nifas itu seperti haid, jadi diqiyaskan kepada haid.
Melihat Darah Haid setelah Selesai Tarawih, Apakah Sah Shalatnya?
Pembatal Puasa 7: Murtad.
Pembatal puasa terakhir adalah murtad. Jadi, apabila orang yang berpuasa di siang hari bulan Ramadan murtad, baik itu dengan:
- Perkataan, atau
- Perbuatan anggota badan, atau
- Perbuatan hati.
Hukum batalnya puasa akibat murtad ini berlaku sama, entah dia kemudian nanti di hari itu kembali masuk islam, maupun tidak kembali pada islam.
Maksudnya, apabila orang yang berpuasa murtad di pukul 9 pagi, lalu pukul 10 pagi dia kembali masuk Islam, puasanya di hari itu tetap batal meskipun dia tidak makan atau minum atau pembatal puasa lainnya. Bukan hanya puasa, semua amal ibadah yang dilakukan orang tersebut di hari itu juga batal.
Hal ini didasarkan pada firman Allah ta’ala:
Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi, (QS Az Zumar: 65).
Inilah tujuh pembatal puasa menurut Syaikh Wahid Abdussalam Bali hafizahullah di dalam kitabnya Bidayatul Mutafaqih. Selanjutnya kita akan membahas hari-hari yang disunahkan untuk berpuasa.
Macam-macam Puasa Sunnah
Tentang hal ini, Syaikh Wahid Abdussalam Bali hafizahullah menulis:
Hari-hari yang disunahkan untuk berpuasa ada sembilan:
Sehari puasa, sehari tidak
Hari Arafah kecuali orang yang berhaji
Sembilan dan sepuluh Muharam
Senin dan Kamis
Enam hari di bulan Syawal
Sepuluh hari pertama Zulhijjah
Ayyamul bidh (tiga hari tiap tengah bulan)
Di sebagian besar bulan Muharam
Di sebagian besar bulan Sya’ban.
Inilah hari-hari yang disunahkan untuk berpuasa di dalamnya. Semoga kita dimudahkan Allah untuk mengamalkannya. Aamiin
Hari-hari yang Dilarang Berpuasa
Setelah tahu hari apa saja yg mustahab untuk puasa, kini kita akan belajar tentang hari-hari yang dilarang berpuasa di dalamnya. Syaikh Wahid Abdussalam Bali hafizahullah menulis:
Hari-hari yang dilarang berpuasa ada delapan:
Hari raya idul fitri dan idul adha
Hari tasyrik (11, 12, 13 Zulhijjah)
Hari syak (ragu, apakah masih bulan Sya’ban atau sudah masuk bulan Ramadan).
Hari Jumat saja
Hari Sabtu saja
Puasa Dahr, yaitu puasa setiap hari sepanjang tahun
Puasanya seorang wanita padahal suaminya ada, tanpa seizin suaminya (kecuali puasa Qadha Ramadan)
Puasa Arafah padahal dia sedang berhaji.
Inilah 8 hari yang dilarang berpuasa di dalamnya.
Penutup
Pembaca yang semoga dirahmati Allah, demikian matan fikih puasa menurut Mazhab Hambali, sebagaimana ditulis oleh Syekh Wahid Abdussalam Bali hafizahullah di dalam kitabnya Bidayatul Mutafaqih.
Kita telah belajar:
– syarat wajib puasa
– syarat sah puasa
– sunah-sunah puasa
– pembatal puasa
– hari-hari yang disunahkan berpuasa
– hari-hari yang dilarang berpuasa
Semoga bermanfaat. Kalau mau menyalin tulisan ini, sertakan alamat situs mukminun.com dan nam penerjemah juga ya. Terima kasih.